Escape
0.1, Puing Tembok Wabah dari Kampung Sawah Jakarta Bambang Asrini Widjanarko ; Penulis, Esais, dan Kurator Seni Rupa |
KOMPAS.COM, 31 Oktober 2021
DUA
seniman, yaitu arsitek Budi Pradono dan seniman stensil Farhan Siki,
bersepakat blusukan ke kampung yang padat dan heterogen di Jakarta. Di
sana, mereka membangun tembok, mecoret-coretinya dengan teks dan imej-imej
pun menghancurkannya sekaligus. Membawa
puing-puingnya ke sebuah hotel mewah, memamerkan seraya meggedor benak
kesadaran: kapankah “tembok wabah” berakhir atau takkan pernah sirna
selamanya? Juluk
karya instalasi itu Escape 0.1, sebuah fenomena pun nomena, peristiwa dan
objek-objek tentang “lautan pelarian kejiwaan ekspresi warga”, baik yang
materiil dan immaterial. Itu
semuanya, simbolisasi kesia-siaan yang mungkin sempat ada? Virus menghampiri
sepanjang waktu, dua tahun berselang sejak pandemi merebak. Kampung-kampung
yang tereksklusi, artefak-artefak berserakan atas tanda-tanda kota kosmopolit
yang pengap pun jumawa, bertaburan dan bersilang-sengkarut menelikung kita
sehari-hari. Kampung
Sawah, di Petogogan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan adalah kampung padat,
pengap, sekaligus banjir mengintai tiap tahun. Situs tempat dua seniman
memilih membangun tembok ingatan tentang warga yang kurang beruntung. Lokasinya
berjejer langsung dengan hiruk-pikuk penanda kota yang sukses. Yakni,
beberapa ratus meter di dekat kompleks segitiga emas Sudirman Central
Business District (SCBD). Kampung
yang “terancam” Kali Krukut ini, masyarakatnya bak “nelayan” tatkala musim
hujan. Air meluber dan menggenangi pemukiman warga yang berprofesi pekerja
informal, yang niscaya menjadi sistem dukungan kelangsungan kapitalisme kota
semegah Jakarta ini. Kampung
sawah adalah paras kita semua, setidaknya bertetangga dalam ingatan komunal.
Paras entitas fisik dan jiwa, manusia-manusia “yang melata dan kalah” di
Jakarta. Sementara,
menurut Farhan Siki dan Budi Pradono, warga kampung itu dipaksa memakai
masker, cuci tangan dan mengurung diri di rumah. Sebagai apa yang diniatkan
sejak mula, dalam wawancara dengan penulis. “Ini
seperti representasi dari 'komunisme baru', yang dilontarkan oleh Zizek dalam
bukunya awal 2020 lalu, Panic Pandemi tentang keniscayaan kuasa kontrol dan
kepatuhan warga," kata Budi Pradono. "Dekonstruksi
tatanan dan rekonstruksi dibangun kembali, menyebabkan warga Kampung Sawah
sejatinya paling tangguh dan sangat cepat beradaptasi. Dibanding sejumlah
perumahan warga di gated communities yang mengalami tekanan kejiwaan
berkepanjangan,” lanjut Budi Pradono. Sebagai
ilustrasi atas wawancara kedua seniman, mereka mengobservasi kampung tersebut
serta mendokumentasi peristiwa-peristiwa bahwa meski pembatasan mobilitas dan
aksesibilitas warga dalam aturan protokol kesehatan, ternyata warga kampung
ini merespons positif. Proses
penghancuran “tembok ingatan” karya seni instalasi dan objek, mengundang
warga lain untuk berpartisipasi di aksi seni ini. “Kampung
Sawah sejak lama menjadi sangat seksi dan pusat buruan bagi para politisi
sejak dahulu, tiap kali “pesta demokrasi’ dihelat. Tempat ini menjadi ajang
kontribusi program lokal di era sejumlah gubernur,” kata Budi memberi
penekanan. Dialektika tembok wabah Dua
seniman dengan caranya sendiri, mencampurkan ide-ide Sizek, realitas
sehari-hari kampung sesak dan survival itu dan kemudian dipresentasikan di
hajatan Indonesian Contemporary Art and Design 2021 di Hotel Grand Kemang. Tembok
wabah, yang sebutnya kolaborasi dari Budi Pradono x Farhan Siki x Slavoj
Zizek ini di perhelatan ICAD 2021 menyisakan puing-puing. Serpihan dinding
beton, semen, bata merah 2,2 m x 1,9m itu membawa seluruh isu tentang
tegangan-tegangan kota kosmopolit, sekaligus respons warga yang terjebak. “Kepanikan
seputar pandemi Covid-19 memberi studi kasus sempurna. Saat ini kita semua
bertanya pada diri sendiri: Kapan semuanya bisa kembali normal?," kata
Farhan Siki setengah berfilosofi. Farhan
Siki menyampaikan, selayaknya hadirnya puing-puing tembok menghantar
perenungan-perenungan. “Kita
layak bertanya tentang (yang) normal. Apa yang kita anggap biasa saja? Ini
kenormalan buat siapakah? Kepentingan apa yang dilayaninya? Dan bagaimana
menanyakan tentang kembali ke normal dengan menormalkan ekspresi kekuasaan
dan kontrol yang luar biasa di mana kita selalu dan sudah terlibat atau
menjadi korban?” ujar Budi Pradono menimpali. Seperti
sebuah dialektika yang menghantui benak kita, dialog diri berlanjut atas dua
seniman itu. “Seharusnya,
pertanyaan kita adalah mengapa kita ingin semuanya kembali ingn normal?
Sementara, tak mungkin hidup senormal dulu”. “Pandemi
ini, alih-alih menjadi bencana melemahkan mental, yang menghancurkan status
quo, memaksa kita untuk berkonfrontasi dengan normalitas yang normal dan
kemungkinan bahwa apa yang tidak normal dan nyata-nyata menjadi terobosan,
yang sebenarnya memberi peluang dan hasil lebih baik,” kata mereka. Reinterpretasi
teks-teks di buku filosof Slavoj Zizek itu, oleh mereka direlasikan dengan
dinding “dialektika -karantina” di tengah kepadatan Ibu Kota. Memberi
transmisi pesan bermakna ambigu atas pernyataan dan kenyataan. “Indikasi
dekonstruksi sekaligus rekonstruksi menjadi lahan dialog, serta kesempatan
untuk melakukan refleksi hidup kita dan realitas yang tak dapat ditampik,”
ujar Budi. Hal
yang menarik lagi, seluruh puing-puing dari wilayah itu plus video rekaman
penghancuran tembok menjadi puing pun coretan-coretan stensil di dalamnya,
seperti teks “Selamatkan Diri” dihamparkan di lantai licin. Menjadikannnya
objek-objek seolah beraura mewah bersanding dengan sejumlah karya-karya seni
lain di acara ICAD 2021. Object
Art itu dengan layar yang bergerak terus dengan gambar-gambar,
fragmen-fragmen yang tersusun tanpa narasi di kampung, tergeletak di antara
puing di lantai hotel itu membawa kekontrasan. Objek-objek
itu tetiba mencipta “chaos”, dalam waktu sama mentransmisi pesan kuat: wabah
tentu tak pandang bulu. Sesiapa
saja tak luput dan menjadi sakit, jika terinfeksi, baik mereka yang mapan
atau sedang berjuang dalam hidup. Lamat-lamat,
mungkin jika Sizek menyaksikan eksibisi puing tembok ini, bisa jadi ia
berujar: bukankah selamanya hidup kita dikontrol kuasa di luar diri, termasuk
oleh wabah pun mereka yang berdiri di atas nama besarnya? ● |