RI
dan Amerika Saling Membutuhkan
Siapa
pun Presidennya
A Tony Prasetiantono ;
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM
|
MEDIA INDONESIA,
14 November 2016
TERPILIHNYA Donald Trump merupakan kejutan
luar biasa. Menjelang pemilihan dilakukan, majalah The Economist bahkan sudah terlanjur memasang gambar karikatur
Hillary Clinton di sampul mukanya (cover
story) dengan judul yakin: America's
Best Hope. Meski demikian, majalah ekonomi terkemuka tersebut mengakui,
bahwa dukungan pemilih terhadap Donald Trump juga mulai merongrong Hillary di
saat-saat terakhir. Namun The Economist
tetap yakin bahwa Hillary tetap akan menang. Tetapi, ternyata sejarah barusan
mengatakan sebaliknya.
Analisis yang paling standar terhadap
"mazhab" (school of thought)
apa yang dianut oleh Presiden Amerika Serikat ke 45 ini adalah, dia akan
protektsionistik terhadap perekonomian domestik AS. Trump mengatakan ini
dalam berbagai kesempatan kampanye. Ini sebenarnya merupakan hal yang masuk
akal, karena dalam banyak hal AS dirasa seperti "bumper" bagi
perekonomian dunia. Ketika perekonomian dunia sedang sakit, maka harapan
pemulihannya tergantung pada AS, sebagai lokomotif dunia.
Lihatlah statistik neraca transaksi berjalan (current account) yang defisit sangat
besar US$ 488 miliar, atau ekuivalen 2,6% terhadap PDB. Defisit perdagangan (trade balance deficit) AS terutama
terjadi terhadap China. Situasi ini berbanding terbalik dengan China, yang justru
menikmati surplus neraca transaksi berjalan besar US$ 261 miliar, atau
ekuivalen 2,6 terhadap PDB. Tiga negara dengan PDB terbesar di dunia saat ini
adalah: AS (US$ 18,5 triliun), China (US$ 11,4 triliun) dan Jepang (US$ 4,7
triliun).
Kondisi perdagangan yang selama ini selalu
defisit besar ini saya duga memicu Trump untuk mengubahnya menjadi
perekonomian yang lebih protektif. Inilah yang "dijual" Trump
selama kampanye, untuk membedakannya terhadap Hillary Clinton. Perasaan ingin
mengubah situasi yang selama ini seperti mesti diterima apa adanya (given)
tersebut, rasanya kurang lebih sama dengan yang dirasakan rakyat Inggris saat
menentukan keluar dari Uni Eropa (Brexit).
Jika AS menderita defisit besar terhadap
China, maka Inggris mengalami hal serupa terhadap Jerman. Sebagai sesama
pilar Uni Eropa, Inggris merasa tidak ada manfaatnya bergabung dengan Uni
Eropa, karena justru mengalami defisit perdagangan terhadap negara-negara Uni
Eropa, terutama Jerman. Inggris pun merasa, bahwa Jermanlah negara yang
paling mendapat manfaat dari pembentukan Uni Eropa.
Namun di luar masalah deifisit neraca
perdagangan dan neraca transaksi berjalan, perekonomian AS sesungguhnya sudah
berada di jalur yang benar. Presiden Barack Obama memulai tugasnya menjadi
Presiden tatkala AS mulai teterjang krisis subprime mortgage. Delapan tahun
dia berjuang, di ujung pemerintahannya mulai menunjukkan hasil positif.
Bahkan perekonomian AS mulai membaik sejak Mei 2013, di mana penyerapan
tenaga kerja di luar sektor pertanian (nonfarm pay-roll) mulai konsisten di
atas 200.000 orang per bulan.
Inilah sederet data ekonomi makro kinerja
Presiden Obama: pertumbuhan ekonomi 1,5%, inflasi 1,3%, pengangguran 5%
(pernah 4,9% beberapa bulan yang lalu), defisit fiskal 3,2% terhadap PDB.
Yang impresif adalah indeks harga saham di Wall Street (Dow Jones Industrial
Index) mencapai 18.500, atau sudah melebihi level sebelum krisis 2008, yakni
17.000. Saat puncak krisis 2009, indeks ini bahkan terperosok sangat dalam ke
9.000. Industri mobil yang sempat hancur pada 2009, juga sudah mulai kembali
ke level normal (penjualan naik dari 9 juta unit menjadi 17 juta unit
setahun).
Respons pasar global
Perekonomian AS memang masih harus bekerja
keras lagi, terutama karena pertumbuhan ekonomi belum mencapai level ideal
untuk ukuran AS, yakni 2%. Inflasi 1,3% juga terasa terlalu rendah, sehingga
kurang menunjukkan gairah belanja dan semangat berinvestasi. Inflasi AS
seyogianya dijaga pada level 2%. Namun secara umum kinerja pemerintahan Obama
sebenarnya sudah baik, tinggal dilanjutkan Hillary Clinton saja. Tapi
sudahlah, mau apa lagi?
Yang mengejutkan adalah, indeks harga saham
New York justru mengalami rally, hingga mencatat rekor baru hingga 18.847 ini
bahkan melebihi pencapaian Obama. Padahal di saat yang sama, timbul
demonstrasi cukup signifikan di berbagai kota terhadap terpilihnya Trump.
Dollar AS juga menguat terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Rupiah sempat
terperosok ke Rp 13.800 per US$ pada Jumat pagi pekan lalu (11/11/16),
sebelum siang dan sorenya kembali menguat ke Rp 13.281 per US$.
Apa yang terjadi? Saya duga penguatan ini
diinspirasi oleh pidato kemenangan Trump, yang diikuti dengan pertemuannya
dengan Obama. Trump belum tentu akan "sebengis" sebagaimana dia
saat kampanye. Ketika kampanye, dia memang harus tampil beda, mengambil
posisi yang berbeda dari Hillary yang diposisikan sebagai
"inkumben", karena berasal dari Partai Demokrat, sebagaimana Obama.
Namun nanti ketika sudah menjadi Presiden, bisa saja Trump menmpilkan warna lain.
Kejadian ini persis sama dengan situasi Inggris sekarang. Inggris semula
begitu bersemangat keluar dari EU.
Namun, mereka bisa saja berubah. Inggris akan
dirugikan dengan Brexit, karena sebagai negara yang bukan lagi anggota EU,
Inggris tidak lagi mendapatkan kemudahan (misalnya bebas pajak) tatkala
produk-produknya harus masuk pasar Eropa. Ini akan menyulitkan daya saing
Inggris. Itulah sebabnya respons pasar negatif terhadap Brexit, di mana kurs
poundsterling pun merosot.
Situasi penguatan dollar AS dan indeks harga
saham New York saya rasa hanya bersifat sementara saja. Bagaimana pun juga,
kita belum tahu persis, apa yang akan dilakukan Donald Trump sesudah dia
melakukan serah terima jabatan Presiden dari Obama. Apakah dia akan
melaksanakan hal-hal yang diucapkannya selama kampanye? Atau dia berubah sama
sekali saat menyadari bahwa rencana-rencananya saat kampanye tersebut
ternyata tidak masuk akal dijalankan? Atau dia akan melakukan modifikasi?
Kita belum tahu.
Yang jelas, indeks harga saham di New York mendekati
18.900 menurut saya terlalu tinggi (overshot), karena tidak didukung oleh
kondisi fundamental perusahaan. Ini lebih dipicu oleh faktor sentimen belaka.
Karena itu, ke depannya sangat rawan koreksi yang disebabkan oleh profit
taking. Menguatnya kurs dollar AS juga belum tentu menguntungkan AS. Hal ini
justru menjadi penghambat rencana Kepala The Fed Janet Yellen untuk menaikkan
suku bunga ke arah level yang normal, yakni Fed fund rate (FFR) di atas 1%.
Respons pasar untuk jangka menengah dan panjang, tidaklah selalu seperti yang
saat ini terjadi. Kita tunggu saja ke depan.
Perekonomian Indonesia
Bagaimana dampaknya terhadap perekonomian
Indonesia? Sementara ini, dampak kemenangan Trump bagi kita adalah negatif,
seperti tecermin pada kurs rupiah yang melemah. Namun saya juga yakin bahwa
itu bersifat sementara. Situasi sekarang masih labil, belum berada pada
ekuilibrium jangka menengah dan panjang.
Melihat data saat ini, perasaan kita mendua
(mixed feeling). Di satu sisi, rupiah memang melemah. Namun di sisi lain,
indeks harga saham gabungan (IHSG) justru berada pada level yang baik, yakni
5.450. Indeks memang belum mencapai puncak 4.500 atau lebih tinggi. Namun di
saat kondisi fundamental belum beranjak, rasanya IHSG 4.500 sudah terbilang
bagus. Jauh lebih bagus daripada perkiraan jika Trump menang indeks terpental
ke sekitar 4.000.
Perekonomian Indonesia pada saat ini justru
sedang mendapat dua momentum positif. Pertama, harga komoditas sedang naik,
terutama batu bara. Meski sulit membayangkan harga akan kembali ke level
puncak pada 2009-2010, namun menggeliatnya harga energi cukup memberi angin
segar terhadap masa depan industri ini, yang multiplier effect-nya penting
sebagai penggerak industri-industri yang lain.
Kedua, kita sedang mendapatkan hasil bagus
dari program amnesti pajak. Berhasil diungkapkannya aset
"tersembunyi" hampir Rp 4.000 triliun merupakan basis pajak baru
yang bisa memberi kontribusi terhadap penerimaan pajak di masa mendatang.
Begitu pula dana tebusan Rp 140 triliun bisa mengurangi defisit APBN sehingga
terjaga di level 2,5% terhadap PDB. Demikian halnya repatriasi sebesar Rp 137
triliun jika bisa terus berlanjut ke level yang lebih tinggi lagi, misalnya
Rp 300 triliun bisa menjadi tambahan energi bagi cadangan devisa yang kini US$
115 miliar, untuk mengawal stabilitas dan penguatan rupiah.
Kombinasi antara membaiknya sektor riil
melalui mekanisme transmisi dari kenaikan harga komoditas dengan menguatnya
kondisi fiskal kita, diharapkan mampu memberi kekuatan perekonomian Indonesia,
jika ternyata kepemimpinan Presiden Trump nanti berimbas negatif terhadap
kita. Namun saya yakin, Indonesia dan AS masih akan melanjutkan hubungan baik
selama ini. Sehingga kita tidak terimbas dampak negatif Trump, sebagaimana
pemahaman dan analisis selama ini.
Indonesia terlalu penting bagi AS. Sebaliknya,
meski perdagangan dan investasi AS-Indonesia tidak sebesar kita dengan Jepang
dan China, namun AS memiliki banyak peran penting yang tidak mungkin kita
tepis, misalnya pada Bank Dunia, IMF dan forum-forum dunia lainnya. Kita
saling membutuhkan, siapapun Presidennya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar