Pragmatisme
AS-Tiongkok
Mira Murniasari ;
Mahasiswa Program Studi Doktor
Hubungan Internasional Southeast Asia Studies Xiamen University, Fujian,
Tiongkok
|
MEDIA INDONESIA,
15 November 2016
RAKYAT Amerika Serikat akhirnya memilih Donald
John Trump sebagai presiden ke–45 untuk menggantikan Barack Obama pada 8
November 2016. Trump membuat publik dunia khawatir karena pada saat kampanye
ia banyak melontarkan pandangan kontroversial dan tidak populis. Tak
terkecuali Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Ia sempat mengemukakan
kekhawatirannya jika Trump terpilih sebagai presiden AS, upaya dunia selama
ini untuk membangun perdamaian dan kestabilan ekonomi akan jauh dari harapan.
Namun, yang tak kalah penting dari
kekhawatiran publik dunia ialah menelaah bagaimana sebenarnya sikap dan
pandangan Tiongkok terkait dengan terpilihnya Trump. Bagaimana hubungan kedua
negara paling berpengaruh di dunia tersebut di masa mendatang.
Pada 9 November 2016, sehari pascaterpilihnya
Trump sebagai Presiden AS, Kepala Negara Tiongkok Xi Jinping langsung
memberikan ucapan selamat. Dalam ucapannya, Jinping menyatakan harapannya,
yaitu AS-Tiongkok ialah dua negara ekonomi terbesar dunia, yang punya
tanggung jawab menjaga kestabilan dan perdamaian dunia. Mereka juga harus berperan
serta mendorong perkembangan kemakmuran global, dapat membangun satu hubungan
sehat dalam jangka panjang, berjalan dalam satu koridor yang sama, saling
menghormati, dan tidak saling menciptakan konflik.
Yang tak kalah penting, Jinping mengharapkan
kedua negara bisa menggalang kerja sama yang saling menguntungkan. Selain
itu, Jinping juga mengharapkan terpilihnya Trump dapat menjadi titik awal
baru bagi kedua negara untuk membangun hubungan yang lebih baik dan maju.
Bukan itu saja, dia ingin hubungan Tiongkok-AS lebih bermanfaat bagi
kesejahte-raan rakyat kedua negara dan juga dunia.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok,
Lu Kang, bahkan mempertegas pihaknya ingin membangun hubungan lebih baik
dengan pemerintah AS yang baru. Menurutnya, terlepas dari berbagai
permasalahan yang ada di antara kedua negara, kerja sama ekonomi perdagangan
kedua negara cukup besar, mencapai US$550 miliar pada 2015, dan ditargetkan
mencapai US$1 triliun di 2024. Ditegaskan pula bahwa jika tidak bermanfaat
bagi rakyat kedua negara, tidak akan mungkin kerja sama ekonomi perdagangan
akan sebesar itu.
Tiongkok pun meyakini, siapa pun politikus
Amerika, hanya jika bertolak dari kepentingan rakyat negaranya, akan
mengambil langkah kebijakan yang bermanfaat bagi kerja sama ekonomi
perdagangan kedua negara.
Uji keharmonisan
Beberapa pihak memprediksi hubungan
Tiongkok–AS akan memanas dengan terpilihnya Trump. Namun, beberapa pakar
Tiongkok menyatakan hubungan kedua negara tidak akan mengalami perubahan
berarti.
Hubungan Tiongkok–AS di bawah kendali
Jinping–Obama yang dibangun berdasar ‘negara besar kekuatan baru’ selama ini
memang terlihat jauh dari harmonis. Konflik dan persaingan pengaruh secara
terbuka mewarnai hubungan kedua negara, terutama dalam masalah Laut China Selatan,
Dalai Lama (terkait HAM), hingga tuduhan Tiongkok telah melakukan spionase
siber.
Saat ini Tiongkok ialah negara ekonomi kuat
kedua setelah Amerika. Dengan cadangan dana yang dimiliki, Tiongkok telah
menjadi salah satu sumber utama dana AS. Bahkan, industri besar AS sangat
bergantung kepada Tiongkok, baik secara SDM maupun bahan baku. Dengan posisi
itu, akankah Trump akan terus memelihara konflik dengan Tiongkok, atau bahkan
semakin memanas?
Salah satu yang dikhawatirkan banyak pihak
dengan terpilihnya Trump ialah semakin memanasnya situasi di Laut China
Selatan. Kebijakan luar negeri Trump yang diungkapkan dalam kampanyenya ialah
melindungi dan memprioritaskan kepentingan Amerika. Laut China Selatan tentu
termasuk. Meskipun ketertarikan Trump terhadap masalah ini dinilai tidak
sekeras Hillary Clinton, keinginan dia untuk memperkuat pertahanan negaranya
cukup mengkhawatirkan. Tentara Amerika saat ini sangat memberikan perhatian
khusus terhadap masalah Laut China Selatan, bahkan siap berperang dengan Tiongkok
di sana.
Laut China Selatan ialah kepentingan inti
nasional Tiongkok. Tidak ada negara mana pun yang berhak turut campur di
dalamnya, termasuk AS. Terpilihnya Trump sebagai presiden tidak akan pernah
mampu mengubah hal tersebut atau bahkan memundurkan langkah Tiongkok meski 1
inci pun. Bagi Tiongkok, siapa pun Presiden AS, itu tidak akan mengubah arah
kebijakan luar negeri Tiongkok.
Dari hal ini, kekhawatiran berbagai pihak akan
semakin memanasnya situasi di Laut China Selatan cukup beralasan. Namun,
kepentingan terbesar AS dalam menjalin hubungan dengan Tiongkok sebenarnya
haruslah berdasar pada kepentingan inti rakyat AS karena Trump dipilih
mereka. Latar belakang Trump sebagai peng-usaha dan dinilai sebagai orang
sangat pragmatis juga diyakini akan membuat Trump mengambil langkah-langkah
yang tak kalah pragmatis dalam menjalin hubungan dengan Tiongkok karena
kestabilan hubungan kedua negara besar ini tidak hanya akan mendatangkan
keuntungan bagi mereka, tetapi juga dunia.
Jinping–Trump diharapkan dapat menjadikan dua
negara besar ini menjadi lebih dewasa. Keduanya diharapkan mampu mengatasi
setiap permasalahan sensitif dan kompleks dengan kepala dingin demi membangun
mimpi kestabilan global dan kemakmuran rakyat dunia.
Di sisi lain, penolakan Trump atas Trans Pacific Partnership (TPP)
akankah membuatnya merapat ke jaringan kerja sama bentukan Tiongkok, antara
lain Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Kita semua akan menjadi
saksi dari bagaimana perkembangan hubungan Tiongkok–AS ke depan dalam kendali
duet Jinping–Trump. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar