Pendidikan
dan Politik Kebencian
Khoiruddin Bashori ;
Psikolog Pendidikan
|
MEDIA INDONESIA,
14 November 2016
DINAMIKA politik selalu memanas jelang
pilkada. Itu biasa.
Yang luar biasa adalah situasi 'panas dalam'
yang sudah keluar menjadi demonstrasi besar disertai merebaknya ujaran
kebencian di media sosial dengan segala variasinya.
Sampai-sampai ada gurauan dari Buya Syafii
Ma'arif, "Saya dihujat karena tidak ikut menghujat."
Ujaran kebencian kini merajalela di media
sosial dan media-media komunikasi lainnya.
Sayang, penegakan hukum dalam masalah ini
terkesan masih tebang pilih.
Jika saja dilakukan dengan 'murni dan
konsekuen', tampaknya semua LP yang tersedia di negara ini tidak akan sanggup
menampungnya.
Perhatikan pasal-pasal KUHP dan peraturan
perundang-undangan lain berikut.
Seseorang yang menyatakan permusuhan di depan
umum terancam hukuman 4 tahun penjara (Ps.156).
Lihat pula Pasal 16 UU No 40/2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, barangsiapa dengan sengaja menunjukkan
kebencian atau rasa benci kepada orang lain, berdasarkan diskriminasi ras dan
etnis, ancaman hukumannya penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda paling
banyak Rp500 juta.
Pendidikan
nirkebencian
Sebenarnya salah satu variabel yang dapat
diandalkan untuk mengurangi kebencian sosial adalah pendidikan.
Penelitian menunjukkan, orang-orang yang lebih
berpendidikan pada umumnya memiliki stereotip dan prasangka yang lebih
sedikit (Rudman, Ashmore, & Gary, 2001; Sidanius, Sinclair, & Pratto,
2006).
Efek pendidikan pada pengurangan prasangka
dimungkinkan sebagian besar karena diperkenalkannya norma-norma sosial baru
di sekolah.
Norma sosial menentukan apa yang pantas dan
tidak pantas, dan kita dapat secara efektif mengubah stereotip dan prasangka
dengan mengubah norma-norma yang relevan tentang itu.
Pengalaman penulis lebih dari 10 tahun
mendampingi siswa-siswi korban tsunami dan konflik di Aceh mengonfirmasi hal
ini.
Mereka--dengan pengalaman traumatis yang
dalam, stereotip dan prasangka tinggi kepada orang luar--melalui pendidikan
dengan menghadirkan norma-norma sosial baru seperti kejujuran, martabat, dan
rasa hormat, pada akhirnya memberikan hasil sangat menggembirakan.
Sedikit demi sedikit tatapan mata permusuhan
kepada pendatang berganti menjadi jabat tangan persahabatan.
Pengaruh norma sosial memang kuat. Perubahan
keyakinan tentang kelompok luar akan dapat bertahan lama jika didukung
perubahan norma sosial.
Prasangka dan diskriminasi berkembang dalam
lingkungan tempat mereka telah menganggap hal itu adalah norma.
Namun, pandangan demikian akan mati manakala
norma-norma sosial baru yang dibangun tidak lagi memungkinkannya.
Di sinilah pentingnya penguatan norma-norma
sosial baru di lembaga-lembaga pendidikan.
Pendidikan karakter, dalam makna yang
sesungguhnya, sebetulnya merupakan jawaban efektif untuk mengeliminasi
stereotip dan diskriminasi.
Penguatan budaya sekolah nirkebencian menjadi
sangat relevan untuk dikembangkan.
Institusi pendidikan dalam berbagai tingkatan
diharapkan dapat melakukan kegiatan advokasi pendidikan damai, yaitu
pendidikan sebagai komunitas yang peduli dan saling menghargai.
Lembaga pendidikan juga perlu menyelenggarakan
pelatihan manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS).
Akan lebih bagus jika institusi pendidikan
juga menyelenggarakan kegiatan community-based learning.
CBL adalah aktivitas pembelajaran yang
berlangsung di bawah kontrol masyarakat.
Kontak lintas kategori
Salah satu alasan mengapa orang memiliki
stereotip dan berprasangka kepada kelompok luar ialah karena mereka melihat
anggota kelompok luar itu 'berbeda' dari mereka.
Kajian Mallett, Wilson, & Gilbert (2008)
menunjukkan, cara terbaik untuk mengurangi prasangka ialah dengan membantu
orang menciptakan koneksi yang lebih erat dengan anggota kelompok yang
berbeda.
Gagasan bahwa kontak antarkelompok akan
mengurangi prasangka dikenal sebagai hipotesis kontak.
Semakin sering seseorang kontak dengan
kelompok yang beraneka semakin cepat mereduksi prasangka.
Ide dari hipotesis kontak sebenarnya
sederhana.
Jika murid TK sanggup dengan gembira
berinteraksi bersama teman-temannya dari etnik yang berbeda-beda.
Tentu, memberi kesempatan kepada siswa atau
mahasiswa untuk berkunjung ke luar daerah, bahkan ke luar negeri, akan
mempunyai nilai yang tinggi bagi upaya memperkenalkan mereka kepada budaya
dan kebiasaan dari kelompok masyarakat yang berbeda-beda.
Sekolah multikultur, yang berisi siswa dengan
latar belakang etnik beragam, merupakan contoh baik bagi hipotesis kontak.
Pettigrew dan Tropp (2006) yang melakukan
meta-analisis terhadap lebih 500 studi yang meneliti efek kontak
antarkelompok pada sikap kelompok, menemukan bahwa setelah kontak sikap
terhadap kelompok yang berada menjadi lebih positif dari waktu ke waktu.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa kontak
dapat diharapkan efektif saat situasi itu menciptakan peluang yang sesuai
dengan perubahan.
Artinya kontak perlu memberikan informasi yang
menunjukkan bahwa stereotip dan prasangka yang dimiliki sebelumnya itu salah.
Membangun identitas kekitaan
Setiap pribadi pasti punya identitas, demikian
pula kelompok.
Perbedaan identitas antarpribadi maupun
kelompok merupakan sesuatu yang natural.
Masing-masing berjalan sesuai dengan ego
sendiri-sendiri.
Penelitian menunjukkan jika orang mau
mengembangkan common ingroup identity, yaitu identitas kekitaan, identitas
baru karena kontak sosial yang lebih intens antarkomunitas, stereotif dan
prasangka cenderung menurun.
Upaya demikian juga dapat disebut sebagai
rekategorisasi, karena melakukan perubahan batas antara ingroup dan outgroup.
Dengan pendekatan ini akan ada identitas
bersama yang muncul.
Dengan kata lain, jika individu dalam kelompok
yang berbeda sudah melihat diri mereka sebagai anggota dari entitas sosial
yang tunggal, kontak positif akan meningkat dan bias antarkelompok akan
berkurang (Baron & Byrne, 2000).
Sebenarnya fenomena rekategorisasi sudah
sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Sewaktu tim kesayangan kita sebagai tuan rumah
bertanding melawan kesebelasan lain, tim lain akan kita anggap sebagai
outgroup.
Di saat lain, karena tim lawan menang, lalu
tim tangguh dapat menjuarai Liga, mereka berhak mewakili Indonesia untuk
berlaga di tingkat Asia.
Tim lawan kini berubah menjadi tim 'kita'
Indonesia, karena representasi dari kita semua.
Kekuatan rekategorisasi ke yang lebih inklusif
yang dimaksudkan untuk mengurangi perasaan negatif terhadap outgroup telah
terbukti, bahkan di antara kelompok-kelompok dengan sejarah permusuhan
panjang.
Mengingat sejarah Holocaust, orang Yahudi kontemporer
kemungkinan akan merespons dengan prasangka, meskipun mereka tidak hidup pada
masa kekejaman Nazi.
Dalam sebuah penelitian, peserta Yahudi
diminta untuk menunjukkan sejauh mana mereka bersedia memaafkan Jerman karena
peristiwa di masa lalu.
Dalam kondisi di mana Jerman dan Yahudi di
tempatkan dalam kelompok yang terpisah, ternyata peserta melaporkan sulit
untuk memaafkan Jerman.
Berbeda dengan ketika dua kelompok ini
dimasukkan ke dalam satu kategori saja - manusia. (Baron & Branscombe,
2012).
Mudah-mudahan kesadaran kita sebagai 'Manusia
Indonesia' masih cukup kuat menghadapi gelombang arus politik identitas yang
semakin menguat.
Perasaan ke-kita-an sebagai sesama anak bangsa
kini sedang menghadapi 'Ujian Nasional'.
Semoga semuanya lulus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar