Politik
Luar Negeri AS ke Depan
Makmur Keliat ; Pengajar
Ilmu Hubungan Internasional FISIP
Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 10 November
2016
Perubahan
apakah yang terjadi dalam pelaksanaan politik luar negeri Amerika Serikat
setelah Barack Obama? Apakah perubahan ini membawa pengaruh terhadap hubungan
bilateral AS dengan Indonesia? Dua pertanyaan ini dapat dijawab dengan dua
kerangka analisis yang berbeda.
Pertama,
dengan memfokuskan analisis pada aspek subyektif, misalnyakeunikan karakter
dari kepemimpinan baru yang menggantikan (idiosyncratic),
platform politik luar negeri yang dikampanyekan, dan pemimpin tertinggi di
Kementerian Luar Negeri. Asumsinya, kepemimpinan baru dengan janji baru dan
tentu dipandang akan menciptakan arsitek diplomasi baru dan sekaligus membawa
perubahan dalam pelaksanaan politik luar negeri setiap negara.
Bagi
yang memakai analisis subyektif, politik luar negeri AS tentu diproyeksikan
akan mengalami perubahan besar. Politik luar negeri AS kemungkinan akan
mengikuti karakter dari presiden barunya.Sebagai misal, gaya diplomasi akan
sangat berubah jika—berdasarkan perhitungan resmi nanti—Donald Trump
memenangi pemilihan presiden itu. Pola komunikasi politik akan menjadi
”blak-blakan”, terbuka, terkesan kurang santun, dan bahkan cenderung
konfrontatif. Warna diplomasi AS dalam empat tahun ke depan kemungkinan akan
sangat berubah.
Politik
luar negeri AS juga akan diproyeksikan sejalan dengan apa yang telah
dijanjikannya dalam masa kampanye. Sebagai misal, jika benar Trump yang
memenangi pemilihan, diplomasi AS akan lebih konfrontatif dan ofensif ketika
berhadapan dengan Tiongkok. Seperti yang dijanjikannya, akan
terdapatpeningkatan anggaran pertahanan besar. Elemen soft power dalam
diplomasi kemungkinan tidak menjadi penting jika tidak terpinggirkan.
Pelaksanaan kesepakatan kerangka perdagangan Trans-Pasifik (baca: TPP) juga
diperkirakan akan menjadi tersendat. Kebijakan Pemerintah AS terhadap para
pendatang juga akan menjadi sangat restriktif.
Situasi
yang berbeda akan terjadi jika Hillary Clinton yang memenangi pemilihan.
Dalam hubungan dengan Tiongkok, Hillary akan lebih menekankan pentingnya
pengembangan kerangka kelembagaan yang dapat menyemai kepercayaan dan
meningkatkan kerja sama di sejumlah bidang. Pola kemitraan dan bukan pola
konfrontatif akan lebih dianut. Hillary juga akan lebih mengedepankan smart
power meramu unsur soft power dan hard power berdasarkan konteksnya. Sejauh
menyangkut isu imigran, perubahan yang diharapkan terjadi adalah pada
penyelesaian dokumen hukum terhadap para pendatang ilegal yang telah sejak
lama tinggal di AS.
Struktural-obyektif
Namun,
seperti yang sudah disebutkan, kerangka analisis ini bukanlah satu-satunya
untuk melihat pergeseran kebijakan luar negeri AS. Ada kerangka analisis kedua,
yaitudengan merujuk pada aspek struktural-obyektif yang terdapat baik di
tataran, nasional, maupun internasional. Diasumsikan, aspek
struktural-obyektif ini tidak dapat dengan mudah diubah oleh pemimpin baru.
Di tataran nasional,aspek struktural-obyektif itu tampak padaaturan-aturan
main kelembagaan yang telah lama terbentuk sehingga membatasi ruang gerak dan
inisiatif kebijakan dari setiap presiden baru. Misalnya, kehadiran mekanisme
checks and balances antara eksekutif dan legislatif sehingga membatasi
otoritas presiden dalam meluncurkan kebijakan- kebijakan baru.
Termasuk
dalam faktor struktural-obyektifdi tataran nasional ini adalah kehadiran
banyak national agencies yang kini bekerja di tataran internasional, seperti
Kementerian Pertahanan (Pentagon), Kementerian Perdagangan, dan intelijen
(CIA). Lembaga-lembaga ini tentu memiliki aturan prosedur dan kepentingan
kelembagaan yang berbeda satu dengan lainnya dalam memberikan input analisis
kebijakan kepada pemimpin baru dalam mengambil inisiatif kebijakan baru dalam
kegiatan diplomasi.
Di
tataran internasional, aspek struktural-obyektif itutampak dari karakter pola
hubungan antaraktor negara, terutama antarnegara besar, seperti dengan
Tiongkok, Rusia, dan Uni Eropa. Pola hubungan negara besar seperti ini tidak
mudah berubah dan memberikan kendala-kendala khusus bagi pelaksanaan politik
luar negeri setiap negara. Dalam pola dua kutub (bipolar), misalnya,
kebijakan luar negeri setiap negara lebih mudah diprediksi dibandingkan
ketika misalnya berada dalam pola hubungan banyak kutub(multipolar). Dalam
pola banyak kutub, pola hubungan koalisi dan persekutuan menjadi lebih cair
dan mudah berubah.
Karakter
kawasan yang beragam dan warisan serta masalah yang ditinggalkan pemerintahan
sebelumnya juga dapat dikategorikan sebagai aspek struktural-obyektif itu.
Sebagai misal, politik luar negeri AS terhadap kawasan Timur Tengah yang
volatile dengan kawasan Asia Tenggara biasanya berbeda karena karakter
volatile-nya yang berbeda.Karena itu, politik luar negeri AS tidaklah
tunggal, tetapi kemungkinan besar menjadi variatif.
Aspek
struktural-obyektif haruslah dijadikan pertimbangan. Bagi penulis, siapa pun
yang memimpin AS, yang perlu kita cermati dan identifikasi adalah apakah
terdapat pergeseran-pergeseran—sekecil apa pun itu—dari faktor-faktor
struktural-obyektif ini, baik di tataran nasional maupun internasional, dalam
memberikan tanggapan kebijakan di masa depan. Sikap seperti itu setidaknya
dibutuhkan untuk menghindarkan sikap optimisme yang berlebihan terkait siapa
pun yang memenangi pemilihan. Terlebih lagi kita perlu selalu mencatat
biasanya terdapat jurang antara apa yang dijanjikan dalam kampanye dan
realitas kebijakan yang kemudian muncul setelah itu.
Kepentingan
nasional
Dari
aspek geo-ekonomi, misalnya, AS masih sangat strategis bagi Indonesia.
Amerika Serikat merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia. Amerika
Serikat merupakan salah satu tujuan utama pasar ekspor Indonesia dalam lima
tahun terakhir. Secara keseluruhan, pasar AS dalam lima tahun terakhir masih
dalam kategori sepuluh besar dalam menyerap ekspor Indonesia. Amerika Serikat
terutamasangat penting untuk ekspor komoditas utama, seperti karet, gas, dan
minyak bumi. Demikian juga dari sisi investasi.
Amerika
Serikat merupakan salah satu investor utama untuk Indonesia. Perlu pula
mencatat bahwa AS masih merupakan faktor stabilisasi utama untuk aliran modal
di tataran internasional. Laporan Konferensi Perdagangan dan Pembangunan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) 2015, misalnya, menyebutkan bahwa AS
menempati posisi sebagai negara terbesar untuk pemasok aliran modal keluar
(capital outflow) dan penyerap utamanya adalah Tiongkok (capital
inflow).Faktor struktural-obyektif seperti ini tidak mudah diubah kecuali
terjadi instabilitas melalui perang.
Karena itu, yang terpenting adalah
mengidentifikasikan kepentingan nasional kita yang ingin diperjuangkan. Siapa
pun yang memimpin AS jangan sampai kepentingan nasional kita terdegradasi
dalam kompetisi kepentingan dengan sejumlah negara lain. Mungkin yang menarik
dari proses pemilihan presiden di AS adalah prosesnya yang telah berlangsung
dengan lancar dan damai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar