Kamis, 17 November 2016

Budaya Populer Kontemporer dan Budaya Baca Siswa

Budaya Populer Kontemporer dan Budaya Baca Siswa
Ahmad Baedowi ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
                                         MEDIA INDONESIA, 14 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

HAMPIR tak terelakan lagi bahwa budaya populer kontemporer yang diwakili oleh ICT (information and communication technologies/teknologi informasi dan komunikasi) beserta turunannya seperti internet, media sosial, dan media konvensional seperti televisi telah merusak sistem dan budaya belajar-mengajar di sekolah.

Jika survei dilakukan di tingkat sekolah, saya berkeyakinan hanya 5% dari penggunaan ICT yang dapat merangsang dan meningkatkan kapasitas guru dalam mengajar dan kemampuan berprestasi siswa secara akademik.

Selebihnya ialah efek negatif sebagaimana kita saksikan bahwa media sosial, misalnya digunakan untuk saling menghardik, memfitnah, mengadu domba, dan menyebarkan kebencian antarsesama anak bangsa, yang jauh dari tujuan pendidikan yang ingin menumbuhkan kebersamaan, toleransi, saling menghargai, dan mencintai perdamaian.

Penggunaan ICT dan semua bentuk turunannya jelas menurunkan minat baca siswa sampai level yang paling rendah.

Baik riset-riset internasional maupun regional terlihat bahwa tingkat literasi bangsa ini sangat rendah dan tak pernah bergerak secara revolusioner ke arah yang lebih baik.

Jika tingkat literasi rendah, sudah dapat dipastikan bahwa kemampuan akademik lainnya di bidang sains, ilmu sosial, matematika juga pasti akan sangat rendah.

Begitu kuatnya pengaruh ICT pada dunia pendidikan, sejauh ini Kemendikbud seperti abai dalam memetakan persoalan ini secara komprehensif melalui sebuah kajian dan riset yang terus-menerus sehingga dampak negatif ICT bisa diminimalisasi bahkan bersinergi secara harmonis dengan upaya peningkatan budaya baca siswa.

Padahal, jika keterampilan menjadi guru diramu dan digabungkan dengan kemampuan melakukan riset kelas secara terus-menerus, terutama di bidang ICT, dalam diri guru akan terbentuk etos profesionalisme yang selalu dinamis bergerak mengikuti perkembangan.

Suzie Fitzhugh (2012) secara gamblang menjelaskan pengalamannya bahwa understanding and managing the teaching/learning process is a challenge for researchers and teachers because it is affected by numerous variables that interact with one another.

Artinya, teknik mengamati dan observasi yang harus dikembangkan dalam proses belajar mengajar sangatlah penting.

Impossible passion

Howard Gardner, seorang psikologi pendidikan ternama, menempatkan siswa pada kemampuan yang multidimensi, yakni anak dipandang tidak memiliki bakat dan minat yang tunggal.

Dari perspektif ini seharusnya para guru di sekolah-sekolah kita mengubah pendekatan pedagogis dalam belajar mengajar dengan lebih banyak melakukan riset dan identifikasi bakat-minat siswa secara terus-menerus, tak terbatas hanya dengan mengandalkan buku teks.

Gardner menulis kecenderungan siswa saat ini karena ketergantungnnya dengan ICT sebagai impossible passion yang tak mungkin dibendung.

Namun, sejalan dengan itu para guru dan manajemen sekolah juga diminta kreatif untuk menumbuhkan minat baca siswa yang sumbernya dari buku.

Karena hingga saat ini impossible passion belum ada petunjuk praktis dan pedagodis tentang bagaimana guru seharusnya mengajarkan mereka, kecuali hanya sekadar imbauan.

Gardner (2007: 93) menyarankan pendekatan pedagogis dalam mengajarkan ICT terhadap siswa dengan pendekatan yang disebutnya sebagai multimodal literacy skills, yang tidak hanya menuntut siswa untuk lebih bijak dalam memilih dan membuka akses dunia maya, melainkan juga secara bersamaan bagaimana meningkatkan kapasitas guru dan kepala sekolah.

Tujuan dari pendekatan ini ialah bagaimana guru dan manajemen sekolah mulai memetakan kecenderungan minat siswa terhadap situs-situs dalam rangka mengetahui social landscape of teenagers, tetapi tidak buta juga dengan budaya popular yang sedang berkembang saat ini.

Para guru dan manejemen sekolah perlu melengkapi diri dengan hardware dan software yang seimbang di dalam laboratorium komputer, bahasa, dan ruang multimedia yang harus tersedia di ruang perpustakaan.

Kelengkapan dan pengaturan jadwal merupakan kata kunci lain yang harus diperhatikan pula oleh manajemen sekolah.

Kreativitas yang harus menyatu antara guru, pustakawan, antara menajemen sekolah dan laboran ketika terjadi proses belajar mengajar.

Katakankanlah disepakati bahwa siswa akan diajak untuk menonton sebuah film seperti freedom writers, pay it forward, the war, atau pirates of the caribeans, seyogianya perpustakaan sudah memiliki buku-buku tersebut.

Sebelum nonton bersama, mintalah anak-anak menyelesaikan terlebih dahulu buku-buku tersebut dengan membacanya dalam kelompok kecil 4-5 orang dengan membagi per chapter.

Jika penugasan membaca sudah selesai, berilah beberapa pertanyaan yang harus mereka isi, terutama kritik mereka yang membedakan antara isi buku dan plotting dalam film yang mereka tonton.

Film-film Indonesia saat ini juga banyak yang diangkat dari novel-novel yang bagus seperti Laskar Pelangi dan Negeri Lima Menara.

Dengan demikian, antara penggunaan ICT dan kemampuan membaca dapat terus dihubungkan dan anak tidak kehilangan minat untuk terus membaca.

Mengingat dahsyatnya pengaruh budaya populer yang berkembang saat ini, maka kreativitas guru dan manajemen sekolah juga perlu ditingkatkan kemampuannya melalui beragam pendekatan dan pelatihan yang sepadan dengan pendekatan Howard Gardner di atas.

Menjaga keselarasan antara minat dan baca dan budaya populer ICT tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan proses belajar-mengajar yang menggunakan pedagogis tradisional.

Menyatukan kemampuan ICT dengan minat baca ialah cara sekolah untuk mengintegrasikan kurikulum secara kreatif dan bertanggung jawab agar kurikulum tidak kehilangan ruhnya sebagai pedoman pengajaran yang mampu menginspirasi guru dan manajemen sekolah.

Dengan demikian, mengajar akan memiliki nilai (values) yang positif, baik bagi guru maupun siswa seperti keharusan untuk saling menghargai (respect), terbuka dan toleran (tolerance), serta nilai-nilai keadaban manusia lainnya meskipun budaya populer menyerang setiap waktu.

Konteksnya ialah mengajar itu harus selalu diisi oleh nilai-nilai kebaikan, dan dalam mengajar seorang guru harus memiliki fleksibilitas, baik dari segi perencanaan maupun penggunaan alat, bahan dan strategi pengajaran di dalam kelas.

Yang dihadapi guru adalah anak-anak yang memiliki keragaman

talenta sehingga fleksibilitas jelas kebutuhan seorang guru yang profesional.

Selamat mencoba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar