Budaya
Populer Kontemporer dan Budaya Baca Siswa
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan
Sukma Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
14 November 2016
HAMPIR tak terelakan lagi bahwa budaya populer
kontemporer yang diwakili oleh ICT (information
and communication technologies/teknologi informasi dan komunikasi)
beserta turunannya seperti internet, media sosial, dan media konvensional
seperti televisi telah merusak sistem dan budaya belajar-mengajar di sekolah.
Jika survei dilakukan di tingkat sekolah, saya
berkeyakinan hanya 5% dari penggunaan ICT yang dapat merangsang dan
meningkatkan kapasitas guru dalam mengajar dan kemampuan berprestasi siswa
secara akademik.
Selebihnya ialah efek negatif sebagaimana kita
saksikan bahwa media sosial, misalnya digunakan untuk saling menghardik,
memfitnah, mengadu domba, dan menyebarkan kebencian antarsesama anak bangsa,
yang jauh dari tujuan pendidikan yang ingin menumbuhkan kebersamaan,
toleransi, saling menghargai, dan mencintai perdamaian.
Penggunaan ICT dan semua bentuk turunannya
jelas menurunkan minat baca siswa sampai level yang paling rendah.
Baik riset-riset internasional maupun regional
terlihat bahwa tingkat literasi bangsa ini sangat rendah dan tak pernah
bergerak secara revolusioner ke arah yang lebih baik.
Jika tingkat literasi rendah, sudah dapat
dipastikan bahwa kemampuan akademik lainnya di bidang sains, ilmu sosial,
matematika juga pasti akan sangat rendah.
Begitu kuatnya pengaruh ICT pada dunia
pendidikan, sejauh ini Kemendikbud seperti abai dalam memetakan persoalan ini
secara komprehensif melalui sebuah kajian dan riset yang terus-menerus
sehingga dampak negatif ICT bisa diminimalisasi bahkan bersinergi secara
harmonis dengan upaya peningkatan budaya baca siswa.
Padahal, jika keterampilan menjadi guru diramu
dan digabungkan dengan kemampuan melakukan riset kelas secara terus-menerus,
terutama di bidang ICT, dalam diri guru akan terbentuk etos profesionalisme
yang selalu dinamis bergerak mengikuti perkembangan.
Suzie Fitzhugh (2012) secara gamblang
menjelaskan pengalamannya bahwa understanding
and managing the teaching/learning process is a challenge for researchers and
teachers because it is affected by numerous variables that interact with one
another.
Artinya, teknik mengamati dan observasi yang
harus dikembangkan dalam proses belajar mengajar sangatlah penting.
Impossible passion
Howard Gardner, seorang psikologi pendidikan
ternama, menempatkan siswa pada kemampuan yang multidimensi, yakni anak
dipandang tidak memiliki bakat dan minat yang tunggal.
Dari perspektif ini seharusnya para guru di
sekolah-sekolah kita mengubah pendekatan pedagogis dalam belajar mengajar
dengan lebih banyak melakukan riset dan identifikasi bakat-minat siswa secara
terus-menerus, tak terbatas hanya dengan mengandalkan buku teks.
Gardner menulis kecenderungan siswa saat ini
karena ketergantungnnya dengan ICT sebagai impossible passion yang tak
mungkin dibendung.
Namun, sejalan dengan itu para guru dan
manajemen sekolah juga diminta kreatif untuk menumbuhkan minat baca siswa
yang sumbernya dari buku.
Karena hingga saat ini impossible passion
belum ada petunjuk praktis dan pedagodis tentang bagaimana guru seharusnya
mengajarkan mereka, kecuali hanya sekadar imbauan.
Gardner (2007: 93) menyarankan pendekatan
pedagogis dalam mengajarkan ICT terhadap siswa dengan pendekatan yang
disebutnya sebagai multimodal literacy skills, yang tidak hanya menuntut
siswa untuk lebih bijak dalam memilih dan membuka akses dunia maya, melainkan
juga secara bersamaan bagaimana meningkatkan kapasitas guru dan kepala
sekolah.
Tujuan dari pendekatan ini ialah bagaimana
guru dan manajemen sekolah mulai memetakan kecenderungan minat siswa terhadap
situs-situs dalam rangka mengetahui social landscape of teenagers, tetapi
tidak buta juga dengan budaya popular yang sedang berkembang saat ini.
Para guru dan manejemen sekolah perlu
melengkapi diri dengan hardware dan software yang seimbang di dalam
laboratorium komputer, bahasa, dan ruang multimedia yang harus tersedia di
ruang perpustakaan.
Kelengkapan dan pengaturan jadwal merupakan
kata kunci lain yang harus diperhatikan pula oleh manajemen sekolah.
Kreativitas yang harus menyatu antara guru,
pustakawan, antara menajemen sekolah dan laboran ketika terjadi proses
belajar mengajar.
Katakankanlah disepakati bahwa siswa akan
diajak untuk menonton sebuah film seperti freedom writers, pay it forward,
the war, atau pirates of the caribeans, seyogianya perpustakaan sudah
memiliki buku-buku tersebut.
Sebelum nonton bersama, mintalah anak-anak menyelesaikan
terlebih dahulu buku-buku tersebut dengan membacanya dalam kelompok kecil 4-5
orang dengan membagi per chapter.
Jika penugasan membaca sudah selesai, berilah
beberapa pertanyaan yang harus mereka isi, terutama kritik mereka yang
membedakan antara isi buku dan plotting dalam film yang mereka tonton.
Film-film Indonesia saat ini juga banyak yang
diangkat dari novel-novel yang bagus seperti Laskar Pelangi dan Negeri Lima
Menara.
Dengan demikian, antara penggunaan ICT dan
kemampuan membaca dapat terus dihubungkan dan anak tidak kehilangan minat
untuk terus membaca.
Mengingat dahsyatnya pengaruh budaya populer
yang berkembang saat ini, maka kreativitas guru dan manajemen sekolah juga
perlu ditingkatkan kemampuannya melalui beragam pendekatan dan pelatihan yang
sepadan dengan pendekatan Howard Gardner di atas.
Menjaga keselarasan antara minat dan baca dan
budaya populer ICT tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan proses
belajar-mengajar yang menggunakan pedagogis tradisional.
Menyatukan kemampuan ICT dengan minat baca
ialah cara sekolah untuk mengintegrasikan kurikulum secara kreatif dan
bertanggung jawab agar kurikulum tidak kehilangan ruhnya sebagai pedoman
pengajaran yang mampu menginspirasi guru dan manajemen sekolah.
Dengan demikian, mengajar akan memiliki nilai
(values) yang positif, baik bagi guru maupun siswa seperti keharusan untuk
saling menghargai (respect), terbuka dan toleran (tolerance), serta
nilai-nilai keadaban manusia lainnya meskipun budaya populer menyerang setiap
waktu.
Konteksnya ialah mengajar itu harus selalu
diisi oleh nilai-nilai kebaikan, dan dalam mengajar seorang guru harus
memiliki fleksibilitas, baik dari segi perencanaan maupun penggunaan alat,
bahan dan strategi pengajaran di dalam kelas.
Yang dihadapi guru adalah anak-anak yang
memiliki keragaman
talenta sehingga fleksibilitas jelas kebutuhan
seorang guru yang profesional.
Selamat mencoba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar