Revisi Undang-Undang KPK
Indriyanto
Seno Adji ; Plt.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
|
KORAN TEMPO, 07 Juli 2015
Permasalahan revisi Undang-Undang
Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) mengemuka kembali dan menjadi isu yang
tidak saja menjadi perdebatan, tapi juga menimbulkan pro-kontra, baik
perdebatan melalui pendekatan hukum, sosial, maupun ranah politik. Perdebatan
ini muncul manakala Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan peninjauan
terhadap lima poin dalam UU KPK. Yang menonjol dan mendapat reaksi dari
publik adalah soal "penyadapan".
Menteri berpendapat diperlukan
(revisi) agar tidak menimbulkan pelanggaran HAM. Penyadapan nantinya hanya
ditujukan kepada pihak-pihak yang telah diproses pro justitia. Bahkan lembaga eksekutif saling tuding dengan badan
legislatif mengenai inisiatif perubahan revisi UU KPK ini-saat Presiden
Jokowi menolak secara tegas niat revisi ini.
Penyadapan memang bagian dari
pelaksanaan upaya paksa (dwang middelen
atau coercive force) penegak hukum.
Karena itu, badan peradilan merupakan pengawas atas pelaksanaan upaya paksa
ini, sesuai dengan amanat International
Covenant on Civil Political Rights (ICCPR).
Hal yang wajar adanya kontrol
peradilan terhadap pelaksanaan upaya paksa oleh penegak hukum terhadap
tersangka. International Covenant on
Civil Political Rights (ICCPR) menegaskan hal yang sama. Pada negara
dengan sistem common law, kontrol
tersebut dilakukan melalui lembaga Magistrate
Court, dan lembaga Rechter
Commissaris (Belanda) pada sistem civil
law. Pasal 9 ICCPR merupakan landasan perlindungan hak asasi tersangka
terhadap upaya paksa berupa penangkapan (arrested)
dan penahanan (detained) yang
diajukan sesuai dengan prinsip promptly
and speedy trial.
Lembaga kontrol badan peradilan
terhadap pelaksanaan upaya paksa atas diri tersangka inilah yang akan
menentukan keabsahan para penegak hukum dalam melaksanakan kewenangannya.
Tanpa kontrol peradilan, dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan (detournement de pouvoir) penegak
hukum.
Namun kontrol peradilan ini pun
harus dalam batas-batas kewenangan yang tidak boleh dilakukan dengan
sewenang-wenang (abus de droit),
sehingga antara lembaga kontrol dan lembaga yang dikontrol memiliki suatu
batas-batas equal and balance.
Eksistensi lembaga KPK ini memang
selalu menjadi sorotan publik, bahkan pada akhirnya menimbulkan persoalan
klasik atas penegakan hukum, manakala terjadi gesekan dengan lembaga-lembaga
negara.
KPK telah menjalankan tugas
kewenangan penegakan hukum dan beberapa kali berposisi sebagai korban
penegakan hukum dalam bingkai konstitusional politik ketatanegaraan, dan pola
gesekan selalu berakhir pada kehendak pelemahan melalui jubah revisi UU KPK.
Pola dan bingkai konstitusional ini bisa terlihat dalam bentuk dan cara
berikut ini.
Pertama, tekanan melalui mekanisme
kelembagaan eksekutif dan legislatif. Salah satu alasan diajukan suatu revisi
regulasi KPK adalah soal penyadapan. Secara historis, eksistensi kelembagan
KPK adalah bersifat khusus, luas, dan menyebar (special, wide and spread), baik regulasi maupun karakter
wewenangnya, yang tentunya berlainan dengan penegak hukum lainnya, mengingat
KPK adalah lembaga trigger mechanism.
Penyadapan (wiretapping) maupun tindakan pengawasan/pengamatan (surveillance) merupakan upaya paksa
yang dilakukan oleh KPK pada tahap penyelidikan. Dan sesuai dengan Pasal 44
UU KPK, dalam tahap penyelidikan, pasal ini memberikan kewenangan KPK untuk
menemukan bukti permulaan cukup (setidaknya dua alat bukti).
Tahap penyelidikan inilah yang
berperan dalam operasi tangkap tangan untuk dugaan perbuatan suap. Operasi
ini memerlukan setidaknya dua alat bukti yang hanya bisa dilakukan pada tahap
penyelidikan, bukan tahap penyidikan yang pro
justitia.
Harus diakui, Pasal 44 dan Pasal
12 UU KPK merupakan marwah dan bumper terdepan KPK dalam penindakan korupsi,
khususnya suap korupsi melalui operasi tangkap tangan yang 100 persen
memiliki manfaat bagi negara ini. Upaya suatu revisi penyadapan mengenai
ketentuan tersebut sama saja mencabut roh dan menghilangkan marwah KPK.
Kedua, mekanisme konstitusional
lainnya melalui kelembagaan yudikatif, yaitu membanjirnya proses dan kasus
praperadilan yang sebenarnya sebagai suatu kewajaran sepanjang tidak
dilakukan secara excessive
(berlebihan). Seperti dikatakan Prof Stephen C. Thaman, ahli hukum pidana
dari St Louis University dan Harvard Law School, "the formal preliminary investigation, the centerpiece of
inquisitorial criminal procedure, is still conducted in secrecy,"
sehingga memang tidak layak alat bukti diuji keabsahannya dengan sangkaan
unsur pidana pada proses pre trial
court, seperti halnya praperadilan.
Secara universal, investigating judge yang demikian ini
menjadi kewenangan hakim pengadilan yang melakukan pemeriksaan atas perkara
pokoknya, bukan hakim praperadilan. Pada kasus Hadi Poernomo, hakim
praperadilan menyatakan ketidakabsahan penyelidik/penyidik KPK yang non-Polri
sebagai dasar menyatakan ketidakabsahan penetapan tersangka. Hal ini juga
menuai perdebatan publik mengenai eksistensi UU KPK.
Penilaian hakim praperadilan atas
ketidakabsahan pengangkatan penyelidik dan penyidik yang nonpolisi adalah
tidak tepat karena pengangkatan penyelidik dan penyidik KPK oleh pimpinan KPK
(Pasal 43 dan Pasal 45) dalam Peraturan Komisi merupakan otoritas hakim tata
usaha negara, mengingat surat pengangkatan tersebut bersifat konkret,
individual, dan final. Dampak ini juga akan berakibat terhadap penyidik PPNS
yang dibenarkan oleh UU (pajak, lingkungan hidup, pasar modal, OJK,
kehutanan, perikanan, dan lainnya), mengingat para penyelidiknya juga
non-Polri.
Ketiga, pemberhentian sementara
pimpinan KPK sudah menjadi semacam tradisi kepemimpinan KPK melalui Pasal 32
UU KPK. Dalam hal ini, ada keterkaitan dengan sangkaan tindak pidana yang
dilakukan sebelum si person
memegang jabatan pimpinan, yang kemudian dikenal sebagai kriminalisasi
terhadap (pemimpin) KPK.
Dari dua mekanisme konstitusional,
baik melalui kelembagaan judisial maupun lembaga eksekutif-legislatif,
tampaknya yang akan terjadi bukanlah suatu penguatan kelembagaan KPK,
melainkan pelemahan dan tereduksinya kewenangan KPK secara terstruktur. Hal
ini justru dapat meniadakan kelembagaan antirasuah ini. Apa yang telah
"diperbuat" (facta) KPK,
ternyata memiliki keampuhan (kekuatan) daripada sekadar mempermasalahkan
kehendak revisi melalui "perkataan" (verbis) saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar