Jebakan Pemeringkatan
Darmaningtyas ; Penulis
Buku Melawan Liberalisasi Pendidikan
|
KORAN TEMPO, 07 Juli 2015
Para pengelola perguruan tinggi
(PT), baik negeri (PTN) maupun swasta (PTS) terjebak pada paradigma peringkat
(ranking) yang dibuat oleh lembaga pemeringkatan dunia. Pada 2015, lembaga
pemeringkatan Webometric merilis
hasil pemeringkatannya dan hanya dua PTN di Indonesia yang masuk daftar 500
PT terkemuka di dunia, yaitu UI dan ITB. Hasil pemeringkatan ini pun tak
pelak membuat Menteri Ristek dan Dikti M. Nasir gelisah, sehingga mendorong
PTN-PTS di Indonesia untuk lebih banyak mendunia.
Pemeringkatan memang telah menjadi
paradigma baru dalam pengembangan PTN/PTS di Indonesia dalam satu dekade
terakhir. Kebijakan pengembangan pendidikan tinggi kita sejak satu dekade
terakhir amat dipengaruhi oleh hasil pemeringkatan, baik yang dilakukan oleh Webometric, Times Higher Education,
maupun QS World University Rankings.
Padahal, konsep pemeringkatan itu sendiri masih debatable, terutama menyangkut kriterianya yang tidak sepenuhnya
relevan dengan kehidupan riil setiap negara. Demikian pula lembaga yang
melakukan pemeringkatan, otoritasnya dapat dipertanyakan. Webometrics Ranking of World Universities
misalnya, diinisiasi oleh grup riset Laboratorium
Cybermetrics di Spanyol. Mereka mulai mempublikasi hasil pemeringkatan
pada 2004 dan secara rutin mempublikasinya setiap dua tahun sekali.
Dasar pemeringkatan yang dipakai
oleh Webometrics adalah jurnal ilmiah yang dipublikasi melalui website.
Dengan demikian, negara-negara yang memiliki tradisi membaca-menulis dan
jaringan Internet kuat memiliki peluang untuk tampil di peringkat atas.
Sebaliknya, universitas di negara-negara yang memiliki tradisi
membaca-menulis dan jaringan Internet terbatas akan berada di urutan bawah.
Kriteria yang dipakai oleh Quacquarelly Symonds (QS) World University
Rankings lebih komprehensif, di antaranya riset, reputasi akademik,
reputasi alumnusnya dalam memasuki dunia kerja, fasilitas pendidikan yang
tersedia, penggunaan teknologi informasi untuk menunjang proses pembelajaran,
reputasi mahasiswa setiap fakultas, banyaknya fakultas yang sudah mendunia,
serta inovasi yang dihasilkannya.
Dengan demikian, di antara lembaga
pemeringkatan itu sendiri terdapat perbedaan metodologi dalam pemeringkatan,
sehingga menjadi sangat menyesatkan bila dijadikan dasar untuk menentukan
arah kebijakan pendidikan tinggi kita. Sekadar sebagai referensi untuk
melakukan perbaikan, tidak masalah, tapi bila menjadi dasar penentu
kebijakan, tentu menyesatkan, karena kebutuhan negara kita berbeda dengan
kebutuhan negara-negara maju.
Bagi bangsa Indonesia yang
memiliki keragaman geografis, ekonomi, sosial, dan budaya, juga keragaman
sumber daya alam, yang dibutuhkan adalah profesor yang mampu menuliskan
pemikirannya dalam bahasa lokal yang mudah dicerna masyarakat umum yang minim
informasi untuk kemajuan masyarakatnya. Apalah artinya mampu menulis di
jurnal internasional, sementara sebagian masyarakatnya tidak mampu
membaca-menulis? Kebutuhan untuk mencerdaskan masyarakat di kampung-kampung,
pedalaman, dan pesisir agar mereka bisa lepas dari belenggu kemiskinan,
kebodohan, dan keterbelakangan jauh lebih penting bagi PTN/PTS kita daripada
mengejar peringkat yang kriterianya belum tentu relevan dengan kehidupan riil
kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar