Pendampingan Desa
Sutoro
Eko ; Guru Desa, Perancang UU Desa
|
KOMPAS, 02 Juli 2015
Pemerintah
akan segera memobilisasi fasilitator atau pendamping untuk menjalankan
pendampingan desa, sebagai bentuk pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa.
Dalam
diskusi para pihak di berbagai ruang dan tempat, pendampingan desa berpijak
kepada dua argumen dan tujuan. Pertama, pendampingan desa merupakan tindakan
meningkatkan kemampuan desa dalam mengelola pemerintahan, pembangunan,
pemberdayaan, dan kemasyarakatan. Kedua, banyak pihak khawatir dana desa yang
diamanatkan UU desa tak efektif dan berpotensi menimbulkan korupsi
besar-besaran oleh kepala desa. Karena itu, pendampingan desa merupakan
tindakan untuk mengawal efektivitas dan akuntabilitas dana desa.
Kapasitas,
efektivitas, dan akuntabilitas harus menjadi perhatian serius dalam
pendampingan desa. Tetapi, pengutamaan ketiga aspek itu bisa membuat
pendampingan, seperti halnya pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan,
terjebak pada apa yang disebut James Ferguson (1990) sebagai "mesin anti
politik". Dalam The Anti-Politics Machine: Development,
Depoliticization, and Bureaucratic Power in Lesotho, Ferguson
menunjukkan pembangunan sebagai nilai utama telah gagal membawa kesejahteraan
rakyat. Mengapa?
Pembangunan
adalah instrumen teknis, proyek dan industri yang anti politik. Di satu sisi,
pembangunan adalah instrumen representasi ekonomi dan rekayasa sosial yang
mengabaikan representasi politik. Depolitisasi dilakukan dengan mengabaikan
realitas dan aspirasi politik, menyingkirkan rakyat dari politik, sekaligus
menggiring mereka sibuk dalam dunia sosial dan ekonomi. Di sisi lain
pembangunan dirancang canggih oleh teknokrat dan dijalankan oleh birokrat
untuk ekspansi kekuasaan birokrasi negara. Dengan demikian, mesin anti
politik mengandung depolitisasi (kebijakan, pembangunan dan rakyat) dan
ekspansi kontrol birokrasi negara.
Anti
politik
Karya
Ferguson itu tentu sudah kedaluwarsa, tetapi penting saya angkat sebagai perspektif
kritis atas jebakan teknokratis-birokratis dalam pemerintahan, pembangunan,
pemberdayaan, dan juga pendampingan desa. Belajar dari pengalaman
pendampingan program nasional
pemberdayaan masyarakat (PNPM) dan proyek-proyek sejenis selama ini, ada
sejumlah gejala operasi mesin anti politik.
Pertama,
pendampingan merupakan perangkat teknokratik untuk mengamankan uang dalam
bentuk bantuan langsung masyarakat (BLM) dan menyukseskan target artifisial
yang telah digariskan proyek. Para pendamping mengajarkan hal-hal
teknis-administratif proyek kepada orang desa mulai dari perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan sampai pelaporan proyek. Lalu masyarakat desa
tampil sebagai operator mesin pengelolaan uang dan proyek.
Kedua,
pendampingan mengedepankan partisipasi, tetapi mengandung depolitisasi
rakyat. Baik pengelolaan proyek maupun pendampingan mengabaikan edukasi
politik dan penguatan representasi politik rakyat. Pendamping tak mendidik
dan mengorganisasikan rakyat agar berdaya dalam memperjuangkan hak dan
kepentingan mereka. Sekalipun ada partisipasi, yang terjadi adalah mobilisasi
partisipasi dalam pengelolaan proyek.
Ketiga,
pendampingan digerakkan dan dikendalikan oleh mesin birokrasi dengan petunjuk
teknis operasional (PTO). Para pendamping tak hadir sebagai katalisator
perubahan, tetapi hanya menjadi mandor proyek yang harus patuh pada PTO
sehingga tak tumbuh menjadi wirausaha sosial yang kreatif dan mandiri.
Pendampingan tentu telah memberikan kontribusi besar terhadap cerita sukses
proyek PNPM, seperti infrastruktur fasilitas publik, pembesaran dana bergulir, pelembagaan
instrumen good governance dalam
pengelolaan proyek, peningkatan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan
proyek, serta kebocoran dana proyek yang mendekati titik nol. Tetapi, kesuksesan
itu hanya terbatas pada proyek, tak berdampak besar secara organik dalam
tatanan kehidupan desa.
Instrumen
good governance hanya dipakai dalam proyek, tetapi tak berdampak dalam
pemerintahan desa. Tingkat kebocoran sangat rendah bukan berarti tumbuh kultur
anti korupsi, tetapi hanya pertanda keberhasilan mengamankan dana proyek.
Terbukti masyarakat sangat gemar politik uang dalam setiap proses elektoral.
Peningkatan kemampuan hanya terjadi dalam pengelolaan proyek, tetapi
kemampuan desa secara organik dalam mengelola pembangunan tak tumbuh baik.
Wirausaha lokal tak tumbuh signifikan. PNPM hanya mampu membangun istana
pasir, sekaligus sebagai proyek yang menyenangkan, tetapi tak
menolong/berdayakan rakyat.
Propolitik
Saya
berulang kali berdiskusi tentang pendampingan desa dengan Menteri Marwan
Jafar maupun tim teknokrat-birokrat di Kementerian Desa, PDT, dan
Transmigrasi. Kami membangun sebuah pemahaman bahwa pendampingan desa bukan
perkara proyek dan teknis-manajerial yang anti politik, tetapi harus
mengandung politik. Propolitik bukan dalam pengertian mesin politik, tetapi
pendampingan desa harus mengandung jalan ideologis sesuai dengan UU desa,
representasi politik, serta
pemberdayaan, dan edukasi politik.
Pertama,
Marwan berulang kali menegaskan pendampingan desa jangan terjebak pada
proyek, tetapi harus menjadi jalan ideologis memuliakan dan memperkuat desa,
termasuk mewujudkan idealisme Nawacita di ranah desa, dengan spirit
"Desa Membangun Indonesia".
Kami menjabarkan gagasan ini dengan menegaskan bahwa pendampingan desa
bukan sekadar berurusan dengan kapasitas dan efektivitas, tetapi hendak
mempromosikan desa sebagai "masyarakat berpemerintahan" (self governing community) yang maju,
kuat, mandiri, dan demokratis.
Kedua,
pendampingan merupakan jalan perubahan yang mengandung repolitisasi rakyat.
Repolitisasi ini bukan membuat rakyat menjadi mesin politik atau mobilisasi
partisipasi, tetapi memperkuat representasi politik rakyat agar punya
kesadaran kritis dalam dunia politik dan berdaulat dalam hak dan kepentingan
mereka. Salah satu indikator kesadaran kritis adalah tumbuhnya sikap dan
tindakan orang desa menolak (anti) politik uang.
Ketiga,
pendampingan tak ditempuh dengan pembinaan (power over) melainkan pemberdayaan (empowerment). Pembinaan
adalah pendekatan dari atas yang menumbuhkan mentalitas memerintah, kontrol,
dan ekspansi birokrasi terhadap desa dan masyarakat. Sedangkan pemberdayaan
adalah pendekatan untuk memperkuat desa dan rakyat secara sosial, budaya,
ekonomi, politik.
Keempat,
setiap aktivitas desa (musyawarah desa, perencanaan dan penganggaran,
pemilihan kepala desa, dan sebagainya), yang memperoleh sentuhan
pendampingan, tak boleh terjebak pada penggunaan alat dan menghasilkan
dokumen semata tanpa ada sentuhan filosofis (roh). Pendampingan terhadap
seluruh aktivitas desa harus disertai edukasi sosial dan politik secara
inklusif dan partisipatoris. Dalam perencanaan desa, misalnya tak hanya
berhenti pada penyusunan dokumen perencanaan yang akan dijabarkan jadi agenda
proyek.
Di
balik perencanaan desa ada pembelajaran bagi orang desa membangun impian
kolektif dan mandiri mengambil keputusan politik. Demikian juga sistem
informasi desa (SID) yang kaya data, aplikasi dan disertai jaringan online.
SID tak hanya alat dan teknologi. Di balik SID ada pembelajaran bagi orang
desa untuk membangun kesadaran kritis terhadap diri mereka sendiri sekaligus
memperkuat representasi hak dan kepentingan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar