Tidak Punya Perasaan
Jakob
Sumardjo ; Budayawan
|
KOMPAS, 02 Juli 2015
Gejala
hilangnya perasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara cenderung semakin
meluas belakangan ini. Para pejabat menuntut kenaikan gaji yang sudah tinggi
agar dilipatgandakan, sementara rakyatnya setengah mati mencari uang buat
hidup hari ini. Kita pun menyimak ada anak membunuh orangtuanya sendiri, atau
sebaliknya orangtua membunuh anaknya sendiri. Gara-gara uang seharga
sebungkus rokok, orang bisa berbunuh-bunuhan.
Sementara
di belahan lain para koruptor yang tertangkap basah dengan bangga unjuk
ketawa di depan kamera. Para anggota DPR minta jatah Rp 20 miliar setiap
tahun, sementara pensiunan para guru besar hanya Rp 4 juta setiap bulan,
setara dengan UMR yang dituntut para buruh.
Lewat
laku
Tidak
ada lagi kebenaran rasa. Tenggang rasa sudah lenyap. Orang hanya mau mengenal
perasaannya sendiri, tetapi tidak peduli perasaan orang lain. Orang yang
tidak peduli perasaan orang lain itulah yang disebut tidak punya perasaan
lagi.
Yang
berkembang sekarang ini adalah kebenaran dalih pikiran, bukan kebenaran
pikiran yang sesungguhnya. Dalih pikiran itu senantiasa bersandar pada bunyi
UU dan peraturan yang dibikin manusia sendiri, yang mungkin tanpa perasaan
juga.
Bagaimana
mereka dapat menghukum sekian tahun atas seorang nenek renta yang dituduh
mencuri sekian batang kayu di hutan pemerintah? Putusan pengadilan ini
menunjukkan tidak adanya perasaan dan pikiran sekaligus, kalau dibandingkan
dengan putusan pengadilan koruptor kelas teri yang dijatuhi hukuman yang
hampir mirip.
Benar
atau tidak benar itu sama sekali bergantung pada penjelasan pikiran.
"Manusia intelektual itu adalah makhluk yang suka penjelasan,"
begitu tulis novelis Saul Bellow dalam bukunya, Mr Sammler's Planet (1969).
Meskipun novel atau karya sastra dan karya seni pada umumnya merupakan
penjelasan perasaan (pengalaman), tetapi baru diakui kebenarannya kalau ada
kritikus yang mampu menjelaskannya secara pikiran.
Sebaliknya,
pada pertengahan abad XIX, pujangga Mangkunegara IV dalam karyanya,
Wedhatama, menyebut bahwa ilmu itu terjadinya lewat laku, perbuatan. Memang
yang dimaksud adalah "ngelmu" yang berarti pengetahuan mistik,
pengetahuan rasa, bukan semata pengetahuan kebenaran pikiran.
Apa
yang dimaksud dengan "perasaan" agak berbeda dengan yang kita
maksud sekarang, yang hanya meliputi perasaan indrawi, perasaan interaktif
sesama manusia atau dengan alam, dan perasaan terdalam di hati nurani. Rasa,
dalam tradisi tua Indonesia, adalah kategori religius, perasaan yang amat
mendalam akibat pengelaman kesatuan dengan Yang Maha Esa. Laku atau rasa ini
tidak dapat dijelaskan dengan pikiran terbatas manusia.
Kandidat
doktor Susilo Kusdiwanggo dalam risetnya di masyarakat adat Ciptagelar,
Sukabumi, Jawa Barat, mendapat penjelasan dari salah seorang ketua adat
setempat. Bahwa, untuk mengetahui Tuhan, orang harus menggarap tanah dengan
benar, menanam padi dengan benar, sampai menuai padi, menyimpan, dan
menumbuknya dengan benar (sesuai adat). Selama itu Anda lakukan, Anda akan
mengenal Tuhan. Ilmu itu terjadinya lewat laku. Lewat penghayatan, lewat
pengalaman, dan lewat perasaan.
Bagi
nenek moyang bangsa Indonesia, menjumpai dan mengenal Yang Maha Esa itu
dengan melakukan kerja mereka sehari- hari. Dengan bekerja itulah terjadi
penghayatan rasa "mistik" dengan Tuhan. Setiap langkah kerja mereka
sehari-hari sesungguhnya laku ibadah. Itulah sebabnya, nenek moyang Indonesia
memiliki cara-cara tertentu untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan hidup
sehari-hari mereka, memiliki alat-alat tertentu yang telah dipolakan,
memiliki syarat jender tertentu, doa sebelum bekerja tertentu.
Tradisi
budaya religius Indonesia menyadari bahwa setiap perubahan di dunia dan dalam
hidup mereka, Tuhan senantiasa hadir merawat
prosesnya. Perubahan dari biji tumbuh menjadi benih padi adalah atas
kehendak-Nya. Perubahan dari padi menjadi beras juga atas izin-Nya. Perubahan
beras menjadi nasi atau tumpeng juga
sepengetahuan-Nya. Karena kesadaran yang demikian itu, nenek moyang kita
merasakan ketakjuban akan mukjizat kuasa Tuhan setiap hari. Mereka bukan
hanya peka rasa, tetapi juga tinggi rasa. Bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu
sungguh ajaib luar biasa dalam mengawal setiap perubahan sekecil apa pun di
alam semesta ini.
Kearifan
yang ditinggalkan
Kebenaran
itu adanya di tindakan, di penghayatan atas tindakan itu. Bukan dalam
kata-kata, juga bukan dalam pikiran. Pikiran tidak mengubah apa pun, baik
dirinya maupun dunia, kecuali telah diwujudkan dalam laku. Dalam hal ini,
mistisisme tidak harus penjelasan filosofis yang pikiran belaka, tetapi dalam
praksis yang amat pragmatis hidup sehari-hari.
Itulah
makna perasaan itu, yang gejalanya mulai ditinggalkan dan dilupakan bangsa
ini. Memang perasaan masih punya, hanya rasa yang berhubungan dengan
kepentingan dirinya sendiri, sembari menolak perasaan orang lain. Kearifan
lama di berbagai daerah budaya di Indonesia menyatakan bahwa aku tiada lain
dari kamu, aku adalah kamu sebagai aku, keadaanku adalah keadaanmu dan
keadaanmu adalah keadaanku, sudah lama hilang dari ingatan bangsa ini.
Pernyataan-pernyataan
serupa itu juga terdapat dalam banyak kitab suci umat manusia, yang
menunjukkan bahwa kearifan lokal Indonesia itu sebenarnya juga universal.
Lebih
baik tidak punya pikiran daripada tidak punya perasaan. Tidak punya pikiran
masih manusia, tidak punya perasaan bukan manusia lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar