NU Bukan Alquran Tua
Arif
Afandi ; Ketua LP NU Jatim
|
JAWA POS, 03 Juli 2015
SAAT muktamar ke-33 yang berlangsung di
Jombang, Jawa Timur, 1–5 Agustus 2015 mendatang, NU telah berusia 89 tahun.
Itu merupakan usia yang cukup tua bagi sebuah organisasi sosial keagamaan
yang didirikan para ulama pada 1926 tersebut. Lebih tua dari usia republik.
Mendahului umur negara Nusantara yang baru memproklamasikan kemerdekaannya
pada 17 Agustus 1945.
Sebagai ormas Islam yang berusia hampir
seabad, tentu banyak hal telah dilalui. Kemampuan bertahan dalam setiap
tahapan sejarah bangsa Indonesia telah membuktikan NU punya ketahanan dalam
menghadapi setiap perubahan dalam masyarakat. Perjalanan sejarah panjang NU
selama ini telah membuktikan organisasi yang didirikan KH Hasyim Asy’ari
tersebut tak lekang oleh zaman.
Akankah NU masih juga bisa mempertahankan
kebesarannya di era perubahan yang makin cepat sekarang? Mungkinkah ia bisa
berperan besar dalam mengawal warganya untuk menjaga nilai-nilai keagamaan
dalam perubahan dahsyat dunia? Bagaimana ia harus menghadapi zaman global
yang baru saat ini? Berbagai pertanyaan yang perlu jawaban.
Sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di
Indonesia, kepemimpinan NU dalam hal keagamaan tentu akan terus menghadapi tantangan.
Persoalan keagamaan tidak hanya berbicara tentang mempertahankan cara
beribadah yang berporos pada ahlussunnah wal jamaah annahdliyah, tapi juga
bagaimana nilainilai keagamaan kontekstual dengan perkembangan masyarakat.
Namun, bagaimana menambah isi tradisi
keagamaan itu dengan tema kebutuhan sehari-hari?
Kebutuhan batiniah warga nahdliyin tetap perlu
dipenuhi oleh tradisi-tradisi keagamaan NU. Namun, kebutuhan lahiriah warga
juga harus terus ditingkatkan. Menambah materi instrumen keagamaan tersebut
dengan materi ekonomi, misalnya.
Dalam hal ini, tantangan terbesar saat ini
adalah bagaimana ’’kejamaahan’’ di NU itu bermetamorfosis menjadi alat
transformasi kekinian. Forum yasinan, dibaan, dan barzanji tidak hanya
bermakna keagamaan, tapi juga media mengangkat jamaah dalam hal
kesejahteraan. Ia bisa menjadi instrumen ekonomi yang dahsyat karena berbasis
jamaah yang sudah saling percaya.
Kelompok-kelompok yasinan dan salawatan itu
didorong juga menjadi kelompok kegiatan ekonomi. Mulai kegiatan simpan pinjam
syariah sampai dengan kelompok kepemilikan saham terhadap unit bisnis.
Kelompok yang berkembang di komunitas RT, RW, dan kampung itu akan menjadi
sebuah kekuatan ekonomi yang kelak bisa berjejaring satu sama lain.
Tentu, mendorong transformasi dari jamaah
keagamaan menjadi jamaah keekonomian tersebut bukan pekerjaan gampang.
Kegiatan ekonomi sangat berbeda dengan kegiatan sosial, apalagi gerakan
politik.
Tapi, sekali lagi, ini bukan sesuatu yang
musykil. Ada sejumlah contoh yang bisa jadi best practices. Yakni, sukses
lembaga keuangan BMT (baitul mal wa
tamwil) milik Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Lembaga keuangan
tersebut berkembang pesat dengan aset yang sudah mencapai triliunan rupiah
dengan menggunakan basis relasi kejamaahan. Pengurus MWC NU Kanigoro Blitar
sukses menggunakan forum jamaah tahlil dan dibaan untuk sosialisasi
kepemilikan saham toko ritel.
Persoalannya tinggal pada komitmen NU sebagai
jamiyah untuk menjadikan modal besar jamaah ini untuk kepentingan ekonomi
warganya. Komitmen itu berupa kesediaan untuk menyediakan dan menyiapkan
sistem modern untuk menjaga kepercayaan jamaah dalam jagat ekonomi bisnis.
Misalnya, sistem keuangannya yang standar, sistem pertanggungjawaban yang
tepercaya, dan sistem jaringan bisnis yang bisa diandalkan.
Basis jamaah yang ditopang dengan sistem
manajemen modern pasti akan menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat. Manajemen
bisnis modern telah mengakui kekuatan komunitas sebagai strategi andal dalam
dunia pemasaran dan terobosan meningkatkan penjualan. NU adalah sebuah
organisasi yang berbasis komunitas yang diikat oleh keyakinan keagamaan. Juga
memiliki kelembagaan yang mapan untuk menjaga soliditas komunitasnya.
Haruskah kita merelakan kekuatan kejamaahan
tersebut untuk orang lain? Sungguh akan sangat rugi jika itu terjadi. Hanya,
untuk bisa memanfaatkan kekuatan tersebut untuk kesejahteraan jamaahnya
sendiri, diperlukan pergeseran mindset
atau cara berpikir para pengendali NU struktural. Apa itu? Kesabaran lebih
untuk memetik hasil. Juga memberi kesempatan kepada para nahdliyin yang ingin
berkhidmah di bidang ini.
Jika ini terwujud, bisa dibayangkan kekuatan
ekonomi yang akan dihasilkan dari kekuatan nahdliyin ini. Jika selama ini NU
telah menang dalam percaturan kepemimpinan keagamaan di negeri ini, pada
saatnya, NU juga harus tampil di dalam kepemimpinan ekonomi bangsa. Jika ini
terjadi, bukan mustahil juga akan lahir kepemimpinan politik yang lebih
mandiri.
Saya jadi teringat kata-kata Mahbub Djunaidi
dalam salah satu kolomnya. Tokoh NU yang juga penulis andalan tersebut
mengatakan, ’’Jangan sampai NU menjadi semacam Alquran tua. Dibaca tidak
bisa, dibuang berdosa.’’ Bayangkan, mushaf Alquran berguna sepanjang bisa
dibaca. Tapi, karena kesuciannya, kita tidak boleh membuang sembarangan meski
sudah rusak.
Tentu, kita semua juga tidak ingin NU bernasib
seperti Alquran tua: hanya dijaga sebagai sebuah jimat karena didirikan para
kiai yang kita hormati. Tapi tidak bisa memberikan manfaat bagi warga
nahdiyin yang sudah sangat besar di negeri ini. Ayo kita buktikan bahwa NU
bukan Alquran tua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar