Dana Aspirasi, Dana Politik
Adnan Topan Husodo ; Koordinator ICW
|
KOMPAS, 30 Juni 2015
Pertimbangan arif
berbagai pihak yang telah dikemukakan, baik melalui beberapa media massa
maupun langsung bertatap muka dengan DPR, tidak menyurutkan langkah politisi
Senayan untuk mengegolkan rancangan dana aspirasi sebesar Rp 20 miliar per
orang.
Dalam Rapat Paripurna
DPR, meskipun tidak dengan suara bulat-karena ada beberapa fraksi yang
menolak-usulan dana aspirasi akhirnya disahkan sebagai sebuah kebijakan DPR.
Pada tahap ini, tentu saja bukan berarti DPR serta-merta bisa menikmatinya
karena pada saat yang bersamaan, pemerintah memberi sinyal penolakan.
Tanpa restu dari
pemerintah, apa yang telah diputuskan DPR akan mentah kembali. Hal ini
setidaknya merujuk kepada ketentuan yang ada, bahwa fungsi anggaran DPR
adalah memberikan pengesahan dan persetujuan atas Rancangan Undang-Undang
(RUU) APBN. Dengan kata lain, DPR tidak dapat secara sepihak memutuskan
sesuatu yang berkenaan dengan APBN, sebagaimana yang kita lihat dalam konteks
dana aspirasi.
Tiga argumen penolakan
Arus utama penolakan
dana aspirasi setidaknya terletak pada tiga argumentasi besar. Pertama,
kecenderungan atau potensi korupsi yang semakin merajalela jika dana aspirasi
disetujui. Koalisi Kawal Anggaran, misalnya, menyebutkan dalil ini dengan
merujuk kepada kasus korupsi yang melilit anggota DPR dalam program
percepatan pembangunan infrastruktur daerah (PPID) sebelumnya. Mereka mengacu
pengalaman Filipina yang anggota senatnya banyak terjerat korupsi dana
pork-barrel, sejenis dana aspirasi yang baru saja disetujui Dewan.
Tak kurang Menteri
Dalam Negeri Tjahjo Kumolo serta beberapa politisi dari PDI Perjuangan,
seperti Budiman Sudjatmiko merujuk alasan potensi korupsi sebagai dasar menolak
dana aspirasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah mengingatkan DPR
untuk tidak tergesa-gesa mengegolkan dana aspirasi karena belum tersedianya
sistem pengelolaan yang transparan.
Kedua, klaim DPR yang
menyebutkan bahwa dana aspirasi akan mendorong pemerataan pembangunan di
daerah dianggap prematur, bahkan manipulatif. Sebaliknya, menurut kelompok
yang kontra, dana aspirasi hanya akan memperlebar jurang ketidakadilan dan
ketidakmerataan karena faktanya, basis perhitungan dana aspirasi yang pukul
rata per anggota berdasarkan perolehan kursi, konsentrasi dana aspirasi akan
terjadi di Pulau Jawa mengingat jumlah kursi terbesar DPR ada di Jawa, dengan
alokasi sebesar Rp 6,12 triliun dari 306 kursi.
Sementara, Bali-Nusa
Tenggara sebagai perbandingan, hanya bisa mendapatkan Rp 640 miliar dari 32
kursi yang tersedia. Padahal, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur
adalah dua provinsi yang masih terus berjuang untuk terhindar dari berbagai
macam persoalan, seperti kemiskinan yang parah serta tingkat kualitas
kesehatan yang buruk, ditandai dengan tingginya angka kematian bayi karena
bergizi buruk. Konsep dana aspirasi lantas dituding akan mempertegas
pendekatan pembangunan yang bias Jawa.
Ketiga, wewenang DPR
dalam menetapkan dana aspirasi secara sepihak dianggap kebablasan karena
tidak ada aturan yang memayunginya sama sekali. Perluasan wewenang DPR dalam
fungsi anggaran dituding sebagai inkonstitusional dan dipandang melanggar
atau menabrak berbagai ketentuan yang berlaku.
Dua alasan
Bisa dikatakan, semua
argumentasi yang telah diajukan untuk menolak dana aspirasi usulan DPR adalah
valid. Namun, DPR abai terhadap hal itu. Pertanyaannya, mengapa mereka ngotot
menyetujui dana aspirasi di tengah penolakan dari berbagai pihak? Ada dua
pengalaman empiris yang mungkin merupakan jawabannya.
Pertama, program
pemberantasan korupsi pada sektor penegakan hukum yang dicanangkan oleh,
khususnya, KPK telah menyasar DPR. Berbagai upaya untuk menguasai sumber daya
publik (APBN) melalui cara-cara ilegal dan korup sebagiannya kini dapat
terdeteksi penegak hukum. Tidak kurang sudah ada 75 anggota DPR yang dijerat
dengan pasal korupsi oleh KPK hingga tahun 2015. Upaya KPK ini merupakan
sebuah ancaman dari sistem koruptif yang sudah telanjur mapan.
Agenda penindakan
korupsi KPK juga barangkali secara langsung telah mempersempit ruang gerak
korupsi yang biasanya dilakukan para aktor politik untuk mendapatkan sokongan
dana politik, selain korupsi sebagai cara untuk memperkaya diri sendiri. Oleh
karena itu, cara legal perlu ditempuh untuk tetap mendapatkan sumber
pendanaan politik. Caranya melalui legalisasi berbagai usulan dan program
sebagaimana dalam kasus dana aspirasi, sepanjang ruang kontrol atas dana
tersebut secara relatif masih berada di tangan politisi secara langsung.
Kedua, dalam situasi
di mana kebutuhan untuk mendanai politik semakin besar, dan tekanan untuk
mempertahankan posisi dan kekuasaan juga tinggi, sementara pada saat yang
sama cara ilegal untuk mengakses dana publik kian sulit dilakukan, maka cara
yang paling masuk akal ditempuh adalah dengan membangun mekanisme yang
dipandang sah untuk memenuhi kebutuhan itu.
Anggaran sebesar Rp 20
miliar untuk setiap wakil rakyat yang diklaim akan digunakan untuk
kepentingan konstituen sangat mungkin sejatinya untuk menjawab tantangan baru
ini. Atas nama kepentingan konstituen, anggota DPR dapat memanfaatkan dana
aspirasi untuk memelihara pengaruh serta cengkeraman di daerah pemilihan
mereka.
Berbahaya
Implikasi pendekatan
ini sebenarnya sangat berbahaya karena akan menyebabkan kompetisi politik
menjadi tidak sehat. Anggota Dewan dari petahana akan sangat mudah maju
kembali sebagai wakil rakyat dan memenangi konstestasi karena usaha menanam
pengaruh sudah dilakukan selama lima tahun melalui penggunaan dana aspirasi.
Pada saat yang sama, saat pemilu berlangsung, mereka sangat mungkin tidak
perlu mengeluarkan anggaran sebesar sebelumnya untuk mempertahankan kursi
mereka di Senayan.
Sebaliknya, calon
anggota legislatif yang baru pertama kali maju akan mendapatkan tekanan lebih
besar untuk menyediakan dana kampanye, termasuk untuk kepentingan politik
uang.
Oleh karena itu, karena masalah utamanya
adalah pada mencari sumber pendanaan politik, cara menyelesaikannya tidak
dapat dilakukan dengan pendekatan individual sebagaimana dalam konteks dana
aspirasi. Supaya tidak chaos,
partai politik yang menjadi tempat bernaung para anggota Dewan adalah sumber
yang harus dibenahi. Karena masalahnya tetap sama, yakni akses pendanaan
politik, sudah semestinya gagasan untuk menaikkan bantuan keuangan partai
politik dibicarakan lebih serius.
Hal ini menjadi urgen
karena partai secara riil tak dapat bersandar sepenuhnya kepada sumbangan
atau donasi anggotanya. Akan lebih baik jika dana aspirasi itu dialihkan
untuk keperluan meningkatkan dana bantuan partai dari negara. Argumentasinya
sederhana, meminta partai politik lebih akuntabel sebagai organisasi akan
jauh lebih mudah daripada meminta individu-individu anggota DPR penikmat dana
aspirasi mempertanggungjawabkan pengelolaannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar