Mencari Dirigen Kebudayaan
Acep Iwan Saidi ; Dosen Desain dan Kebudayaan
di
Sekolah Pascasarjana FSRD ITB
|
KOMPAS, 30 Juni 2015
“Dicari, Dirjen
Kebudayaan", demikian judul berita yang diturunkan harian ini (Kompas,
18/6/2015). Judul ini segera menginformasikan bahwa sang dirjen yang
diidealkan belum juga ditemukan. Hal ini juga yang dikatakan Erry Riyana
Hardjapamekas, Ketua Panitia Seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi Madya
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Karena kemarin
belum mendapatkan yang sesuai harapan, kami buka seleksi lagi, membujuk lagi.
Mungkin tiga pekan lagi harus selesai," demikian Erry.
Dibonsai dalam jambangan
Proses seleksi
sedemikian kiranya bisa menjadi
representasi bahwa kebudayaan adalah ranah yang tidak mudah dicarikan
modelnya pada sosok. Siapakah seorang budayawan, pakar budaya, manajer
budaya, atau sarjana budaya, adalah pertanyaan yang sangat sulit dijawab.
Mereka tentu bukan seseorang yang hanya aktif berpikir, menulis, atau
berolah-laku di bidang-bidang tertentu yang sering dikategorikan sebagai
elemen kebudayaan itu sendiri. Jika kita sepakat dengan definisi kebudayaan
sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan karya, mereka tentu manusia
paripurna.
Halnya menjadi kian
rumit jika kita merujuk pada pengertian kontemporer bahwa kebudayaan tidak
lain adalah hal keseharian, yakni hidup itu sendiri yang renik dan kompleks (Barker, 2004). Maka, jika kementerian,
direktorat jenderal, dan apa pun nama lembaga itu diandaikan sebagai
representasi dari ranah yang dinaunginya, kebudayaan tentu ada pada semua
institusi tersebut. Anda bisa memprotes saya dengan mengatakan bahwa dalam
hal kementerian dan lembaga-lembaga lain tadi, atau dalam hal keilmuan, ini
adalah soal fokus garapan, soal spesialisasi akademik.
Baiklah. Namun, justru
di situ letak soalnya. Sejauh ini, sejak negara ini berdiri dan sejak pertama
kali institusi yang namanya pemerintah mengelolanya, kebudayaan telah
dibonsai dan ditanam pada jambangan minus pupuk. Kebudayaan diletakkan pada
sebuah sistem pembangunan yang mengabdi pada ekonomi belaka.
Di situ, kebudayaan
diciutkan menjadi terma kesenian dan hanya bersifat fisik pula. Maka,
menyedihkan jika kita mengingat perdebatan sepanjang hayat negeri ini, setidaknya sampai kini.
Dengarlah, di luar pagar kuasa, para pakar dan pengamat tak henti berteriak, "bukan itu yang dimaksud kebudayaan,
bukan hanya kesenian, apalagi jika dibandingluruskan dengan pariwisata!"
Namun, itulah nasib kebudayaan di tangan kuasa, di hadapan kita.
Kalbu pembangunan
Ironis jika ingatan
kita ditarik ke belakang, ke sebuah masa di mana republik ini belum berdiri.
Delapan puluh tahun lalu atau sepuluh tahun sebelum bangsa ini merdeka,
sekelompok cendekiawan telah menjadikan kebudayaan sebagai visi pembangunan
manusia di masa depan. Sejarah mencatatnya sebagai "polemik
kebudayaan" (1935).
Lepas dari segala
kelemahannya, polemik kebudayaan kala itu telah menjadikan kebudayaan sebagai
landasan untuk memandang dan kemudian mencoba merumuskan apa yang oleh Sutan
Takdir Alisyahbana (STA) disebut sebagai manusia baru Indonesia, yakni
manusia yang harus "Menuju ke Laut" (salah satu sajak STA) dan
menjadikan individu berjuang dengan Layar
Terkembang (judul novel STA).
Jika yang menjadi
"imaji kebudayaan" adalah manusia masa depan sedemikian, jelas
kebudayaan adalah kalbu pembangunan. Oleh karena itu pula, dalam sebuah
sistem kenegaraan, kebudayaan sejatinya hadir dan eksis dalam setiap
departemen di pemerintahan. Kebudayaan seyogianya menjadi perekat, menjadi
fondasi pembangunan. Bukankah Soekarno menggali nilai-nilai Pancasila juga
dari kebudayaan. Bukankah gotong royong itu adalah kebudayaan yang melekat
pada masyarakat, yang hingga hari ini diyakini tetap menjejak sebagai gen,
sebagai "DNA".
Redefinisi dirjen
Jika begitu, siapakah
yang harus menjadi dirjen kebudayaan? Sebelum pertanyaan ini dijawab, kiranya
kita harus terlebih dahulu mempertanyakan: apakah istilah dirjen itu sendiri
tepat digunakan untuk kebudayaan. Dirjen, kita tahu, adalah unsur pelaksana
pada kementerian atau lembaga negara yang mempunyai tugas merumuskan dan
melaksanakan kebijakan juga membuat standardisasi hal-hal teknis di
bidangnya. Nah, bagaimana kebudayaan sebagai hal-hal keseharian yang renik
dan kompleks, yang diniscayakan eksis pada setiap departemen dapat dirumuskan
oleh seorang dirjen? Perumusan atas kebudayaan bukankah justru menjadi
bertolak belakang dengan hakikat kebudayaan itu sendiri.
Oleh karena itu, hemat
saya kita tidak perlu mencari dirjen kebudayaan. Alih-alih mencarinya, yang
harus dilakukan justru menyusun rumusan baru mengenai jabatan tersebut,
melakukan redefinisi terhadap yang selama ini diberlakukan. Terkait hal ini
sudah saatnya juga dipikirkan sebuah tempat yang bisa mendudukkan seseorang
menjadi "pemimpin kebudayaan" yang terlibat bersama di dalam proses
berbudaya itu sendiri. Saya ingin menyebut pemimpin kebudayaan tersebut
sebagai seorang dirigen.
Sebagaimana layaknya
seorang dirigen, tugas yang bersangkutan bukan merumuskan apalagi membuat
standardisasi, melainkan "menuntun sekaligus bergerak bersama" ke
arah terciptanya sebuah "aransemen kebudayaan" yang renik dan kompleks itu. Dirigen adalah
konduktor yang menghantarkan arus keberagaman yang acap juga saling
bertegangan. Dalam posisi ini, ia pun tak boleh hanya terpaku di kementerian
kebudayaan, melainkan mengoordinasi semua kementerian.
Bukankah bidang
pertanian, ekonomi, kesehatan, politik, hukum, olahraga, bahkan agama, tidak
pernah bisa lepas dari kebudayaan. Bukankah, sekali lagi, kebudayaan justru
menjadi fondasi semua bidang tersebut. Maka, dengan ini bolehlah ke depan
kita berharap lahirnya politik yang berbudaya, ekonomi yang berbudaya, hukum
yang berbudaya, dan seterusnya.
Pada Kementerian
Kebudayaan sendiri, hemat saya, lebih tepat dibentuk direktorat jenderal kesenian.
Dengan demikian, dirjen kebudayaan diganti dengan dirjen kesenian. Bukankah
selama ini yang dikelola dirjen kebudayaan-dengan segala
kesemrawutannya-adalah juga soal kesenian. Bukankah, seperti telah disinggung
di atas, makna kebudayaan telah disempitkan sedemikian. Kita tahu kesenian
juga bukan melulu hal yang fisik (tangible),
melainkan juga nonfisik (intangible).
Kesenian juga bukan
perkara yang bisa diurus dengan mudah. Dari sisi bentuk saja, ia memiliki
banyak genre. Namun, setidaknya batasan ini akan membuat pekerjaannya lebih
fokus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar