Ancaman
Transnasionalisme Islam
A Halim Iskandar ; Ketua
DRPD Jatim dan Ketua DPW PKB Jatim
|
JAWA
POS, 03 Februari 2015
BERAWAL dari perkumpulan-perkumpulan kecil seperti
Tasywirul Afkar, Nahdlatul Wathon, dan Nahdlatul Tujjar yang digawangi kiai
pesantren, pada 31 Januari 1926 Nahdlatoel Oelama (kini Nahdlatul Ulama/NU)
dideklarasikan sebagai sebuah jam’iyah islamiyah, yang dimaksudkan untuk
memelihara, melestarikan, mengembangkan, dan mengamalkan ajaran Islam
ahlussunnah wal jama’ah serta mengembangkan konsep Islam rahmatan lil ’alamin.
Para pendiri NU sadar betul bahwa untuk tujuan tersebut,
NU harus terlibat aktif dalam politik kenegaraan serta pengembangan politik
kebangsaan. Hal tersebut dapat dilihat pada tingginya loyalitas NU terhadap
perjuangan kemerdekaan serta peran aktif NU dalam upaya mendesain Indonesia
sebagai bangsa modern di mana agama (Islam) tidak menjadi dasar berdirinya
bangsa ini. Sikap tersebut bahkan ditegaskan dalam Muktamar NU 1936 di
Banjarmasin bahwa cita-cita mendirikan negara Indonesia bukan atas dasar
darul Islam (negara Islam), melainkan darussalam (negara kesejahteraan).
Gejala Transnasionalisme Islam
Transnasionalisme politik yang berbaur dengan agama
menjadi salah satu fenomena yang potensial meningkat di masa depan. Hal
tersebut tidak mustahil karena adanya komunikasi instan, baik melalui
internet maupun televisi, yang membantu transformasi gagasan dan praksis
transnasionalisme segera menyebar ke seluruh pelosok dunia. Dengan watak
melintasi batas-batas negara, wacana dan gerakan transnasional politik-agama
tidak hanya mengacaukan kehidupan agama dan mengubah lanskap sosioreligius,
tetapi sekaligus mengancam eksistensi negara-bangsa.
Lahirnya kelompok transnasionalisme semacam ISIS bisa
dengan cepat menyebar ke seluruh dunia dan dianggap sebagai isu global.
Padahal, wacana dan praksis ISIS sangat kental bersifat politis, mendirikan
apa yang mereka sebut sebagai khilafah atau disamarkan dengan daulah
islamiyah. Memanfaatkan sektarianisme Sunni-Syiah, ISIS melakukan kekerasan
dan brutalisme dengan membunuh siapa saja yang mereka temui: apakah Sunni
yang menolak mereka, Syiah, Yazidi, maupun Kristen. Karena itu,
transnasionalisme ISIS tidak hanya berbahaya dalam hal pandangan
keagamaannya, namun juga dalam praksisnya yang penuh kekerasan dan brutalisme
yang menyimpang jauh dari ajaran Islam yang menekankan rahmat bagi semesta
alam.
Tantangan lainnya adalah fenomena ”peraturan daerah
syariah” yang menggejala di beberapa daerah setelah implementasi kebijakan
desentralisasi atau otonomi daerah. Ke depan, fenomena tersebut akan
menggeser visi kenegaraan Indonesia, dari melindungi semua anak bangsa, tanpa
melihat latar belakang agama, suku, dan ras, menjadi visi kenegaraan yang
mengancam hak keragaman dan keberagamaan.
Fenomena-fenomena tersebut merupakan tantangan berat bagi
NU di masa depan. Untuk menjawabnya, peran politik NU tidak boleh berhenti
pada fase perjuangan kemerdekaan dan pendirian NKRI. NU harus terlibat dalam
penataan dan pengelolaan negara, salah satunya: meningkatkan partisipasi
politik NU.
Partisipasi Politik NU
Pasca kemerdekaan dan memastikan NKRI sebagai darussalam,
peran politik NU tercatat mengalami pasang surut, dimulai ketika NU tergabung
dalam Masyumi, saat NU menjadi partai politik, ketika NU berfusi dengan PPP,
maupun ketika NU independen dari kekuatan partai politik mana pun, hingga
akhirnya NU mendirikan partai baru bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
pada pertengahan 1998.
Meski demikian, seperti diungkap Van Bruinessen, peran
besar NU tersebut tidak terkonversi dengan pembagian partisipasi kekuasaan.
Dalam konteks ini, kelompok NU kerap ”terlempar” dari lingkaran manajemen
pengelolaan dan pengaturan negara karena alasan variabel keterbelakangan kaum
sarungan, yang hanya mengandalkan jumlah massa. Aspirasi warga nahdliyin
kerap tidak terakomodasi karena tergerus oleh kelompok Islam yang mengklaim
dirinya lebih modern.
Problemnya, peminggiran NU dari pengelolaan negara justru
tidak menjadikan Indonesia tampil sebagai negara yang dipenuhi kemaslahatan.
Sebaliknya, dinamika perpolitikan Indonesia terus mempertontonkan berbagai
problem kehidupan kebangsaan, seperti semakin tercerabutnya akar budaya
bangsa, terpinggirkannya nilai-nilai moral keagamaan, dan terabaikannya
hak-hak dasar rakyat. Kondisi itulah yang memanggil NU untuk tidak berpangku
tangan dan bergegas menjadi solusi dalam tata kelola pemerintahan yang melindungi
hak-hak dasar warga negara serta menghadirkan kemaslahatan.
Dalam konteks inilah, PKB yang didirikan NU –sebagai
respons PB NU terhadap tuntutan warga nahdliyin pada pertengahan 1998–
memiliki peran strategis untuk melakukan integrasi perjuangan Islam ke dalam
perjuangan nasional. PKB harus menjadi tumpuan harapan bagi penyelesaian dan
solusi permasalahan.
Mengapa PKB? Sebab, pertama,PKB merupakan partai yang
diilhami perjuangan NU dan dimaksudkan menjadi kendaraan utama politik NU.
Sehingga platform perjuangan PKB merupakan kombinasi dari spirit demokrasi
dan spirit religiusitas yang terkodifikasi dalam berbagai teks fikih serta
kitab kuning. Karena itu, dimensi perjuangan PKB juga menyentuh level
transenden demi menegakkan Islam rahmatan
lil ’alamin di Indonesia. Kedua, PKB berideologi nasionalis. Politik
ideologi nasionalis sebagai basis partai telah menjadikan PKB sebagai partai
yang dapat menjadi kendaraan politik bangsa Indonesia tanpa membeda-bedakan
suku, agama, maupun ras.
Karena itulah, berkat peran politik kebangsaan NU yang
konsisten, serta peran politik PKB dalam mentransformasikan politik kebangsaan
NU, melalui konsolidasi partisipasi politik NU dalam penataan dan pengelolaan
negara, NU dan PKB akan mampu menjawab berbagai problem kebangsaan Indonesia.
Baik tantangan transnasionalisme, terpinggirkannya nilai-nilai moral
keagamaan, maupun terabaikannya hak-hak dasar rakyat. Melalui pengembangan
politik rahmatan lil ’alamin, sebagai representasi utama politik NU, PKB
harus berdiri sebagai panglima penyelamatan Indonesia dari ancaman
transnasionalisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar