Korupsi
dan Pembangunan
Adnan Topan Husodo ; Lulusan S-2 Development
Studies
University of Melbourne; Aktif di ICW
|
KOMPAS,
25 Februari 2015
Sudah banyak kajian yang menyimpulkan dampak buruk korupsi
pada sektor pembangunan. Johnston (2005), misalnya, menegaskan bahwa
negara-negara yang memiliki indeks persepsi korupsi (IPK) tinggi sering kali
menghadapi rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM). Ukuran IPM antara lain
merujuk pada rendah/tingginya kualitas kesehatan, kualitas pendidikan, dan
kualitas hidup individu (UNDP).
Korupsi mengganggu outcomes
di sektor ekonomi dan memperlemah kelembagaan negara sehingga memicu
kemiskinan (Chetwynd, dkk, 2003).
Demikian pula korupsi pada belanja publik melahirkan bias dalam pengambilan
keputusan, di mana investasi publik kerap diarahkan ke sektor yang memberikan
keuntungan pribadi pejabat publik dan investor dibandingkan dengan sektor
yang dibutuhkan banyak orang. Pada saat yang sama, ongkos korupsi pada sektor
belanja publik langsung dibebankan kepada pembayar pajak (masyarakat), baik
dalam bentuk buruknya kualitas infrastruktur maupun pada mahalnya biaya
infrastruktur (Boehm, 2008).
Tulisan ini berusaha mengaitkan kajian di atas dengan
rencana pemerintahan Joko Widodo pada 2015 untuk menggenjot pembangunan
infrastruktur prioritas yang anggarannya mencapai Rp 107 triliun meliputi
perhubungan dan maritim, energi, pariwisata, serta kedaulatan pangan. Proyek
fisik yang akan digarap antara lain jalan, pelabuhan, bandara, jalur kereta
api, pembangkit listrik, jaringan gas, kilang minyak, infrastruktur teknologi
informasi, serta waduk dan sarana irigasi lain (katadata.co.id). Tulisan ini
juga mengajukan pertanyaan, apa landasan empiris yang dimiliki untuk dapat
mengklaim jika proyek mercusuar di atas akan berjalan secara efektif dan
efisien?
Selama satu tahun kemarin, Indonesia Corruption Watch
(ICW) melakukan kajian mengenai kecenderungan korupsi di Indonesia. Kajian
ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif dari data statistik yang
dikumpulkan dalam bentuk kasus-kasus korupsi pada tingkat penyidikan yang
ditangani aparat penegak hukum (APH), baik Polri, Kejaksaan, maupun Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Secara umum, hasil kajian menunjukkan, terdapat
629 kasus korupsi yang dapat ditangani oleh APH dengan 1.328 orang sebagai
tersangka dan total kerugian negara yang muncul Rp 5,29 triliun. Patut
dicatat bahwa temuan ini tidak dapat mencerminkan kondisi aktual korupsi yang
terjadi.
Dari sisi modus korupsi tidak banyak pergeseran. Korupsi
masih jamak dilakukan dengan menggunakan pola penggelembungan biaya,
penggelapan, laporan fiktif, proyek fiktif,
dan penyalahgunaan anggaran. Keseluruhan modus tersebut menyiratkan
satu hal bahwa korupsi masih dipersepsikan sebagai kegiatan business as usual
yang rendah risiko. Tidak berubahnya modus korupsi menandaskan lemahnya
sistem kelembagaan negara, terutama dalam menjalankan fungsi pengawasan
kegiatan pembangunan. Modus korupsi di atas juga mengindikasikan masifnya
korupsi pada sektor pengadaan barang dan jasa.
Dari sisi sektor, kasus korupsi terbanyak ditemukan pada
proyek infrastruktur, yakni mencapai 225 kasus, dari 629 kasus yang dapat
ditangani APH. Dimaknai sebagai korupsi infrastruktur karena praktik korupsi
yang terjadi adalah pada proyek-proyek fisik, baik pembangunan jalan,
jembatan, gedung pemerintahan, maupun sekolah.
Maraknya korupsi infrastruktur seakan mengonfirmasi
gambaran empiris infrastruktur di Indonesia yang buruk, baik dalam bentuk
kerusakan jalan yang rutin, kualitas bangunan yang rendah, kapasitas yang
tidak sesuai dengan kebutuhan yang terus berkembang, maupun berbagai macam
ongkos dari kerusakan infrastruktur yang harus dihadapi oleh masyarakat
setiap hari. Dengan demikian, korupsi pada sektor pembangunan infrastruktur
merupakan ancaman serius bagi keberhasilan proyek mercusuar yang dicanangkan
Presiden Jokowi.
Visi pemberantasan korupsi
Karena proyek infrastruktur masih sangat rentan terhadap
ancaman korupsi, usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko kegagalan
adalah dengan memperkuat visi pemberantasan korupsi. Visi yang kuat tidak
hanya akan memastikan agenda pembangunan berjalan efektif dan efisien, tetapi
juga memberikan garansi atas penegakan hukum yang pasti, terutama kepada
investor, baik dalam maupun luar. Bagaimanapun, tinggi rendahnya investasi
bagi kepentingan pembangunan dipengaruhi kepastian hukum yang dijamin oleh
negara.
Masalahnya, dalam soal ini pemerintahan Jokowi memberikan
contoh yang buruk. Kriminalisasi KPK yang sangat telanjang dan disaksikan
oleh berbagai kalangan, baik pada skala domestik maupun global, seakan
memberikan sinyal negatif terhadap visi pemberantasan korupsi Jokowi.
Bagaimanapun, dunia sudah memberikan pengakuan kepada KPK sebagai lembaga
anti korupsi yang mumpuni. Bahkan, menurut Tony Kwok, mantan Komisioner ICAC
Hongkong—lembaga sejenis KPK yang terlebih dulu berdiri di sana—di harian
media online nasional, beberapa waktu lalu, menyebutkan jika KPK adalah
lembaga anti korupsi yang masuk tiga besar yang diakui dunia. Banyak negara
yang kini hendak belajar dari KPK Indonesia.
Pengakuan dunia internasional terhadap KPK tentu saja
bukan hanya klaim semata. Setidaknya dua bukti empiris dapat diajukan untuk
mengatakan jika pemberantasan korupsi oleh KPK masih di atas aparat penegak
hukum lain. KPK telah berhasil menangani kasus korupsi yang melibatkan
pejabat tinggi negara, bahkan hingga menteri aktif, sebuah prestasi yang
belum dimiliki Polri dan Kejaksaan. KPK lebih berhasil dalam mengungkap kasus
korupsi yang tinggi nilai kerugian negaranya. Pendek kata, KPK adalah counterpart Jokowi dalam menyukseskan
agenda pembangunannya.
Jika karena konfigurasi politik yang berubah, tekanan
politik, ambisi kelompok politik tertentu, dan efek samping dari
pemberantasan korupsi justru melemahkan KPK, Presiden sebagai kepala negara
dan kepala pemerintahan harus berada pada garda depan untuk menyelamatkannya.
Menyelamatkan KPK bukan semata-mata untuk kepentingan supaya lembaga ini
tetap ada, melainkan lebih besar dari itu, menyelamatkan banyak program
pembangunan yang dicanangkan pemerintah sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar