Hukuman
Mati Diplomasi Indonesia
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
25 Februari 2015
Baru lebih kurang 100 hari Presiden Joko Widodo berkuasa,
berbagai persoalan diplomatik muncul terkait kebijakan yang diterapkan ketika
menjabat sebagai presiden ke-7 Indonesia. Mulai dari persoalan kapal ikan
yang ditenggelamkan sampai hukuman mati para penyelundup narkoba, kecaman
demi kecaman muncul dari sejumlah negara, seperti Australia, ASEAN, Brasil,
dan Tiongkok, yang keberatan kalau kapal ikan ilegalnya ditenggelamkan.
Persoalan kapal ikan ilegal sampai sekarang masih berupa
api dalam sekam karena banyak negara, khususnya negara anggota ASEAN,
menunggu apakah Indonesia juga akan menenggelamkan kapal ikan Tiongkok yang
tertangkap di perairan Indonesia beroperasi tanpa izin. Ada kesan Indonesia
melakukan ”tebang pilih” dalam menjalankan kebijakan pembersihan kapal ikan
ilegal milik asing.
Persoalan hukuman mati menjadi beban tersendiri dalam
diplomasi di awal pemerintahan Jokowi. Penarikan duta besar sampai penghinaan
utusan resmi pemerintahan di suatu negara menjadi polemik yang sekarang tidak
hanya menjadi domain pemerintah, tetapi juga meluas kepada masyarakat pada
umumnya terhadap perilaku negara-negara asing yang memprotes pelaksanaan
hukuman mati warganya.
Dubes RI untuk Brasil Toto Riyanto, akhir pekan lalu,
dihina Presiden Brasil Dilma Rousseff ketika akan menyerahkan kredensialnya.
Dari Australia, PM Tony Abbott menyinggung Indonesia soal bantuan 1 miliar
dollar AS yang diberikan negaranya bagi bantuan korban bencana tsunami di
Aceh akhir tahun 2004.
Serangan diplomasi negara-negara ini ditujukan pada
permintaan sampai menjadi kecaman agar Presiden Jokowi memberikan pengampunan
atas warga Brasil, Australia, dan lainnya agar tidak dihukum mati karena
melakukan penyelundupan narkoba ke Indonesia. Muncul perdebatan tentang
pelaksanaan hukuman mati ini, yang menjadi hukuman luar biasa di semua negara
demokrasi yang hanya disediakan bagi pelanggaran paling serius tetapi jarang
diterapkan karena dianggap praktik pemerintah yang bermasalah secara
manusiawi, secara hukum internasional, bahkan secara moral dan kepercayaan.
Di sisi lain, timbul kesan diplomasi Indonesia di bawah
pemerintahan Jokowi menjadi pembelaan membabi buta atas nama kedaulatan hukum
yang berlaku di Indonesia. Kita setuju bahwa kita harus memerangi narkoba di
Indonesia yang mengancam kehidupan generasi bangsa ini. Kita pun setuju bahwa
kapal-kapal ikan asing yang mencuri dan melanggar hukum di perairan Indonesia
harus dikenai sanksi yang tegas.
Namun, kita pun harus mempersiapkan diri dan memperhatikan
beberapa faktor dalam cara kira berdiplomasi. Pertama, betul kedaulatan hukum
Indonesia tidak boleh diintervensi negara asing mana pun. Di sisi lain, kita
pun harus menjelaskan secara terinci bahwa narkoba merupakan ancaman nyata
bangsa ini, dan harus dipersiapkan angka-angka akurat atas ancaman ini.
Karena, walaupun kedaulatan hukum sebuah negara itu
sesuatu yang mutlak dan tidak bisa dipertentangkan, dalam diplomasi harus
bisa memproyeksikan kejelasan yang terang atas pelaksanaan hukum kedaulatan
itu sendiri. Ketika polemik politik hukum antara KPK dan Polri muncul di
permukaan, dengan mudah negara asing memiliki keraguan atas pelaksanaan
kedaulatan hukum itu sendiri.
Kedua, diplomasi juga harus mampu memberikan keyakinan
bahwa ambivalensi dalam kedaulatan hukum adalah sesuatu yang biasa karena
perbedaan kepercayaan, kebudayaan, tradisi politik, dan lainnya. Dengan
demikian, ketika status negara yang meningkat menjadi lebih demokratis
seperti Indonesia dan menjadi lebih kaya mendekati nilai-nilai Barat, tidak
berarti retensi atas hukuman mati harus hilang sama sekali.
Lihat Jepang atau Singapura, negara Asia yang paling kaya
sekalipun, masih memiliki ancaman hukuman mati dalam kedaulatan hukumnya.
Artinya, diplomasi atas nama membela kedaulatan hukum pun harus sangat kuat
dengan memberikan argumentasi yang sesuai dengan kepentingan nasional negara
yang masih menjalankan hukuman mati.
Ketiga, ketika Presiden Brasil Rousseff menghina
kredensial Presiden Jokowi, langkah diplomasi memanggil pulang Dubes Toto
Riyanto harus diikuti langkah diplomasi selanjutnya, misalnya, menurunkan
derajat status perwakilan kita di sana. Hal sama juga harus dilakukan
terhadap PM Abbott yang memperkarakan uang bantuan tsunami, diplomasi
Indonesia bisa mengeluarkan sebuah nota diplomatik bahwa bantuan Australia
mendatang tidak diperlukan dan tidak boleh masuk ke Indonesia dalam rangka
bantuan kemanusiaan bencana alam atau bencana manusia, seperti kecelakaan
pesawat terbang.
Kesinambungan diplomasi Indonesia harus dipertontonkan
ketegasannya atas nama kepentingan nasional yang di dalamnya ada kedaulatan
hukum yang kita pegang teguh. Di tengah derasnya globalisasi, diplomasi harus
ditonjolkan memenuhi pelaksanaan kepentingan nasional di tengah kacau
balaunya politik hukum sekalipun. Karena perdebatan tidak akan mampu
meningkatkan status hubungan baik dua negara, dan retaliasi adalah hal wajar
dalam diplomasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar