“Obor
Rakyat”, Kok Dipetieskan?
Sahala Tua Saragih ; Dosen Pascasarjana
Sosiologi Pedesaan IPB
dan Sekretaris Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan IPB
|
SATU
HARAPAN, 16 Februari 2015
Ketika republik ini dipimpin Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono (SBY) ada sebuah ungkapan populer di kampus-kampus tertentu
berbunyi, biarkan masalah-masalah “diselesaikan” sendiri oleh waktu. Ungkapan
sinis ini lahir karena banyak sekali masalah besar yang tak pernah ditangani
hingga tuntas. Pemerintah tampaknya memanfaatkan penyakit amnesia massal yang
diidap rakyat negeri ini, termasuk para wartawan. Masalah-masalah besar
dianggap telah selesai ketika media massa tak mengungkit-ungkitnya lagi.
Salah satu masalah serius yang dibiarkan “diselesaikan”
sendiri oleh waktu adalah kasus (perkara) Obor Rakyat (OR), tabloid hitam
yang menggelapi warga masyarakat, terutama para pemimpin dan santri di
berbagai pondok pesantren di Pulau Jawa. Padahal kasus ini sudah sangat lama.
OR terbit sejak pertengahan April lalu. Isinya penuh dengan fitnah dan
hujatan kepada Joko Widodo (Jokowi), waktu itu berstatus calon Presiden. Pada
edisi perdana Jokowi ditulis sebagai “Capres Boneka”. Di halaman depan edisi
kedua OR ada tulisan berjudul, “PDIP Partai Salib” dan “Pria Berdarah Tionghoa Itu Kini Capres”.
Jokowi juga dituduh berasal dari Singapura dan bukan penganut Islam. Anehnya,
dalam semua beritanya tak satu pun ditulis nama sumber beritanya, demikian
pula nama penulis (wartawan)-nya.
OR tidak diedarkan di pasar media massa cetak (pasar
terbuka), tetapi langsung dikirimkan lewat pos ke berbagai Pondok Pesantren
di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, terutama pondok-pondok
Pesantren miliki Nahdlatul Ulama (NU). Tabloid tersebut gratis. Pengirimannya
menggunakan jasa PT Pos Indonesia. Nama pengirimnya tidak ada. Ini mirip
surat kaleng. Setiap edisi terbit kurang-lebih 100.000 eksemplar. Alamat dan
nomor telepon kantor redaksinya di Jl. Pisangan Timur Raya IX, Jakarta Timur
ternyata palsu (bohongan). Bahkan para pengelolanya pun menggunakan nama
samaran. Kehadiran barang haram tersebut berhasil menggoncang dan meresahkan
pondok-pondek pesantren yang menerimanya.
Akhirnya nama para pengelolanya terkuak juga. Ternyata
Pemimpin Redaksinya Setiyardi Budiono. Waktu itu ia bekerja sebagai deputi
staf khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah yang dipimpin oleh Velix Wanggai.
Dia juga anggota Komisaris di PT perkebunan Nusantara XIII untuk wilayah
Kalimantan Timur. Redaktur pelaksana
(penulis utama) OR Darmawan Sepriyossa
(redaktur Inilah.com Jakarta). Media online (dalam jaringan) ini merupakan
salah satu usaha di kelompok Inilahcom, milik Muchlis Hasyim Yahya. Muchlis
mantan wartawan Tempo dan Media Indonesia.
Dia juga mantan media officer
di kantor Wakil Presiden, Jusuf Kalla (kini juga Wapres) pada
2004-2009.
Ketika itu seorang anggota tim sukses pasangan Joko
Widodo-Jusuf Kalla, Fery Mursidan Baldan, menduga ada motif di balik sikap
pembiaran pihak Istana (Presiden SBY) terhadap aksi yang dilakukan Setyardi Budiono,
staf di Istana, dalam menerbitkan tabloid OR. Terlebih lagi, kepolisian juga
lambat dalam mengusut kasus ini. "Kalau dia (Presiden SBY) membiarkan
proses ini, artinya kita bisa simpulkan memang keterlibatan orang dekat
kekuasaan itu by design. Pertama,
dianggap sesuatu yang perlu dibiarkan dan lemahnya kepolisian," ujar
Fery saat itu.
Tim pemenangan Jokowi-Kalla pada awal Juni 2014 telah
melaporkan Setyardi Budiono ke Markas Besar Polri. Pada 4 Juni 2014 tim hukum
pasangan Jokowi-JK juga telah mengadukan masalah besar itu ke Badan Pengawas
Pemilu. Kepala Polri, Jenderal (Pol) Sutarman waktu itu menegaskan, polisi
akan menindak tegas pengelola OR dengan tiga ketentuan undang-undang (UU)
yakni UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Penyidik Bareskrim Polri sudah memeriksa Setyardi Budiono pada Juni lalu.
Kini tujuh bulan telah berlalu. Mana bukti ucapan tegas Kapolri, Sutarman,
saat itu? Bandingkan dengan kasus Florence Saulina Sihombing, mahasiswa
Program Kenotariatan UGM yang menghina masyarakat Jogyakarta melalui media
sosial pada Agustus 2014. Dalam tempo singkat Polda Jogyakarta langsung
menahannya, dan sejak awal November lalu telah mulai diadili di Pengadilan
Negeri Jogyakarta, tanpa pembela pula. Apakah ini bisa diartikan, Florence
tergolong orang kecil (tak memiliki backing)
sehingga bisa segera disidangkan, sedangkan Setyardi Budiono dan
kawan-kawannya dibentengi dan didukung oleh backing yang sangat kuat? Apakah Kapolri sangat takut terhadap
orang-orang kuat yang melindungi para pelanggar hukum berat itu? Apakah
perkara besar ini baru dilanjutkan ke Pengadilan Negeri Jakarta setelah
Kapolri diganti?
Bukan Karya Jurnalistik
Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Bagir Manan, pada Juni 2014
menyatakan, OR berada di luar ranah jurnalisme. Oleh karena itu, kasus
tersebut tidak dapat dijangkau melalui mekanisme UU Pers. Artinya, Dewan Pers
tak berkuasa menangani masalah ini. Penegasan ini dinyatakan melalui surat Ketua Dewan Pers
kepada Kepala Kepolisian RI, Jenderal (Pol) Sutarman, nomor 223/DP/K/VI/2014,
pada 17 Juni 2014. Ada enam butir yang memuat pertimbangan, penilaian, dan
pernyataan Dewan Pers menyikapi kasus OR dalam surat tersebut.
Pertama, OR tidak memenuhi ketentuan mengenai bentuk badan
usaha pers sesuai Pasal 1 Butir 2 UU Pers yang berbunyi, “Perusahaan pers
adalah badan hukumIndonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi
perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan
media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau
menyalurkan informasi.”
Kedua, sesuai dengan penelusuran yang dilakukan Dewan
Pers, alamat yang tercantum di kotak redaksi OR palsu atau fiktif sehingga,
OR tak memenuhi ketentuan Pasal 12 UU Pers yang berbunyi, “Perusahaan pers
wajib mengumumkan nama, alamat, dan penganggung jawab secara terbuka melalui
media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan
alamat percetakan.”
Ketiga, terkait isinya, Dewan Pers menilai OR tidak
memenuhi prinsip-prinsip jurnalistik dan ketentuan mengenai asas, fungsi,
hak, kewajiban dan peranan pers sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat 1 dan
Pasal 6 Butir a, b, c, d, dan e UU Pers. Pasal 5 Ayat 1 berbunyi, “Pers
nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati
norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak
bersalah.” Pasal 6 UU pers bernunyi demikian, “Pers nasional melaksakan
peranan sebagai berikut: a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b.
Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi
hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan; c. Mengembangkan
pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; d.
Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkitan dengan kepentingan umum; e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.”
Mantan Ketua Mahkamah Agung itu juga menegaskan,
prinsip-prinsip jurnalistik sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik
(KEJ) juga tidak dipenuhi oleh OR. Isinya
didasarkan pada asumsi dan opini semata. Tak ada satupun
prinsip-prinsip jurnalistik, seperti berita harus faktual, berimbang, tidak
memuat hal-hal yang terkait dengan pertentangan SARA, kewajiban melakukan
verifikasi, tidak menghakimi serta harus cover both sides, yang dipenuhi oleh
OR.
Kempat, berdasar pada beberapa pertimbangan tersebut,
Dewan Pers menilai masalah OR berada di luar ranah jurnalisme sehingga ia
tidak dapat dijangkau melalui mekanisme UU Pers. Kelima, sesuai dengan Nota
Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri, karena kasus OR tidak dapat
diselesaikan melalui mekanisme UU Pers, maka Polri dapat mengambil alih
masalah ini apabila ditemukan pelanggaran hukum. Keenam, Dewan Pers menyatakan
kesiapan membantu Polri secara teknis dalam melakukan penyidikan terhadap
dugaan terjadinya tindak pidana yang berkaitan dengan penerbitan OR (Website
Dewan Pers, 17-6-2014).
Prinsip-prinsip Jurnalisme
Menurut dua ahli jurnalisme tersohor dari Amerika Serikat,
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dalam buku mereka yang terkenal, The Elements
of Journalism, What Newspeople Should Known and The Public Should Expect
(2001), tujuan utama di antara semua tujuan jurnalisme adalah menyediakan
informasi yang dibutuhkan orang agar bebas dan mampu mengatur diri sendiri.
Untuk mewujudkan ini, ada sembilan elemen jurnalisme yang mesti diperhatikan
dan diterapkan oleh para wartawan. Kesembilan elemen tersebut sebagai berikut:
1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran.
2. Loyalitas
pertama jurnalisme kepada warga.
3. Intisari jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi.
4. Para praktisinya harus menjaga independensi terhadap
sumber berita.
5. Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan.
6. Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik
dan dukungan warga.
7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting
menarik dan relevan.
8. Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan
proporsional.
9. Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani
mereka.
Bila kita merujuk kepada prinsi-prinsip dan teknik
jurnalisme yang diajarkan Bill dan Tom, dengan cepat dapat kita simpulkan,
OR memang bukanlah produk jurnalisme.
Bahkan ia pun tak bisa dikelompokkan sebagai pers kuning (yellow paper).
Jangankan berita - apa pun jenis beritanya – artikel opini saja harus
didukung oleh sumber-sumber informasi yang sahih dan logika yang tidak
menyesatkan khalayak. Jadi, sesungguhnya pemilik dan pengelola tabloid
tersebut harus “ditobatkan” melalui jalur hukum. Sebagai mantan wartawan
profesional di media besar, mereka pasti mengetahui prinsip-prinsip dan
teknik jurnalisme yang benar. Akan tetapi karena motif dan tujuan mereka
menerbitkan OR bertolak belakang dengan tujuan jurnalisme, maka mereka harus
dipaksa secara hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kotor mereka.
Perkara besar ini tak boleh dipetieskan. Pemerintah baru
sekarang harus menjadi anutan dalam penegakan hukum. Ungkapan sinis lama,
hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, harus dihapuskan dari benak
masyarakat. Salah satu caranya, petinggi baru Polri dan Pengadilan Negeri
Jakarta mesti segera menyidangkan perkara OR. Bila perkara ini dipetieskan,
masyarakat semakin yakin bahwa pengelola OR
memang dilindungi orang-orang yang sangat kuat, yang tak tersentuh
oleh hukum positif. Ini juga sekaligus menguatkan pesimisme dan sinisme
masyarakat terhadap para penegak hukum di republik ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar