Lagi tentang Mafia Beras
Andi Irawan ; Dosen Pascasarjana Program Agrobisnis
Universitas Bengkulu
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Februari 2015
KENAIKAN
harga beras selama 2-3 pekan terakhir memang tidak biasa. Di Ibu Kota,
merujuk Pasar Induk Cipinang telah terjadi lonjakan harga mencapai 30% hanya
dalam dua minggu. Lonjakan harga tersebut bersifat anomali karena diduga baru
pertama kali ini terjadi sepanjang pengalaman para pedagang beras sejak zaman
Orde Lama sampai sekarang. Untuk beras paling murah (IR2) naik dari Rp8.500
menjadi Rp11.000 per kilogram (kg) dan kualitas IR1, dari Rp9.500 menjadi
Rp12.000 per kg. Sementara untuk kelas premium, dari Rp10 ribu menjadi Rp13
ribu per kg. Bukan hanya Jakarta, kota-kota lain di seluruh Indonesia juga
mengalami kenaikan harga beras yang cukup tajam sekitar Rp1.000-Rp 2.000 per
kg.
Dengan
melihat fenomena tersebut, timbul dua pandangan yang berbeda, yakni pertama,
pandangan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat
Gobel. Bagi Mendag, kenaikan harga tersebut tidak wajar. Rachmat menganggap
kenaikan harga beras di Jakarta dipicu dari motif bisnis para mafia beras.
Menurut Rachmat, para mafia ini memainkan harga beras agar pemerintah
terpaksa membuka keran impor sehingga ada peluang keuntungan.
Hal ini
disampaikannya di depan pelaku usaha dan para pakar ekonomi di Gedung
Auditorium Utama Kementerian Perdagangan, Jakarta (23/2).
Pernyataan
Mendag tersebut tentu punya alasan yang kuat karena bukan mustahil kenaikan
harga yang terjadi karena kelangkaan yang sengaja dibuat (kelangkaan
artifisial) dalam rangka berburu rente. Kita tahu harga beras Thailand dan
Vietnam di pasar internasional berkisar Rp4.000 per kg. Beras serupa jika
dijual di dalam negeri menjadi Rp7.400 per kg atau ada rente ekonomi sebesar
Rp3.400 per kg.
Alasan Mendag
lainnya ialah kejanggalan dalam sistem distribusi beras di Jakarta. Pasalnya,
sejak Desember 2014 hingga Januari 2015, Bulog telah menggelar operasi pasar
sebanyak 75 ribu ton yang digelontorkan kepada pengelola Pasar Cipinang, PT
Food Station, dengan harga gudang Rp6.800. Dari harga tersebut, kata Mendag,
seharusnya pedagang menjual kepada konsumen dengan harga Rp7.400 per kg.
Namun, nyatanya tidak ada pedagang yang menjual beras dengan harga itu.
Padahal, dengan menjual Rp7.400 per kilogram, kata Mendag, pedagang sudah untung
Rp600 per kg. Mendag menduga ada yang melaku kan penimbunan beras. (Tempo.co 21/2).
Disamping
itu, pemerintah juga telah menemukan adanya delivery order (DO) yang dipesan
oleh pedagang beras di Cipinang pada 1-18 Februari 2015. Jumlahnya mencapai
1.800 ton beras. Padahal, Bulog sudah tidak melakukan operasi pasar untuk ke
Pasar Induk Cipinang sejak 1 Februari. Mendag juga sempat menemukan kasus
beras operasi pasar Bulog yang dioplos di Cakung, Jakarta Timur, pada 18
Januari 2015.
Harus intervensi
Berbeda
dengan pemerintah, bagi para pedagang, kenaikan harga yang anomali saat ini
ialah sesuatu yang wajar. Hal itu karena memang suplai lagi menyusut karena musim
paceklik masih berlangsung. Panen raya baru akan dimulai Maret nanti.
Indikatornya mudah, yakni dengan melihat jumlah beras yang masuk ke Pasar
Induk Cipinang. Dalam keadaan normal, beras yang masuk berjumlah 3.000 ton,
sedangkan saat ini menyusut 50% (1.500 ton). Artinya, tidak benar kelangkaan
yang terjadi karena adanya mafia beras. Kelangkaan tersebut bagi para
pedagang ialah kelangkaan alamiah akibat berkurangnya suplai.
Tentu kita
berharap pemerintah sebagai representasi negara yang harus mengatasi masalah
kelangkaan beras ini. Pemerintah bisa melakukan intervensi dalam dua
hal.Pertama, intervensi pasar dengan menginstruksikan Bulog di seluruh
Indonesia untuk melemparkan stok beras yang mereka miliki ke pasar dalam
rangka menekan harga sampai pertengahan Maret saat panen raya tiba.
Hal ini
penting dilakukan untuk memberikan ekspektasi pasar bahwa benar pemerintah
punya kekuatan stok yang memadai untuk stabilisasi harga. Dengan demikian,
itu bisa menghilangkan perilaku pihak-pihak yang ingin memanfaatkan
kelangkaan beras di pasar untuk kepentingan perburuan rente.
Kedua, jika
kelangkaan itu ialah kelangkaan artifisial yang ilegal seperti karena
penimbunan dan pengoplosan yang merugikan masyarakat, pemerintah harus
menindaknya. Kemendag bekerja sama dengan polisi dan BIN untuk mengusut
pelaku-pelaku yang diduga sebagai mafia beras tersebut. Tidak selayaknya
pejabat-pejabat berwenang beropini tentang keberadaan mafia beras saat harga
komoditas penting ini melonjak tajam, tetapi tidak pernah berhasil membuktikan
siapa mereka dan menindak serta menghilangkan perilakunya.
UU No 7 tahun
2014 tentang Perdagangan memberikan wewenang penuh pada pemerintah untuk
melakukan penindakan terhadap perilaku, seperti manipulasi informasi dan
penimbunan persediaan bahan pokok (Pasal 30 dan Pasal 29 ayat 1). Bahkan,
menghukum perilaku yang sedemikian dengan sanksi pidana yang cukup berat
dengan pidana lima tahun atau denda Rp50 miliar bagi mereka yang terbukti
melakukan penimbunan dan penjara empat tahun atau denda Rp10 miliar, bagi
mereka yang melakukan manipulasi data dan informasi persediaan bahan
kebutuhan pokok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar