Harapan Baru dari KPK Era Ruki
Herie Purwanto ; Kasat Reskrim Polres Magelang Kota
|
SUARA
MERDEKA, 25 Februari 2015
“Latar belakang Ruki purnawirawan
bintang dua Polri dan jadi ketua KPK 2003-2007 menguatkan harapan itu”
KETERPILIHAN
Taufiequrachman Ruki sebagai Plt Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
memberikan harapan baru bagi hubungan dan sinergitas antara KPK dan Polri.
Latar belakang Ruki, purnawirawan Polri berbintang dua dan menjadi ketua KPK
periode 2003-2007 menguatkan harapan tersebut.
Terlebih
rekam jejaknya selama ini yang tidak menunjukkan tindakan kontraproduktif
sebagai penegak hukum, Dengan latar belakang itu, seharusnya tak sulit bagi
Ruki untuk meningkatkan hubungan KPK dengan Polri. Lebih-lebih, seperti
disampaikan dalam wawancaranya dengan sebuah stasiun televisi, penegakan
hukum perlu menjaga etika dan komunikasi antarlembaga. Artinya andai terjadi
permasalahan atau persinggungan, hal itu bisa diredam tanpa keluar dari
konteks penegakan hukum.
Ketersinggungan
sebagai institusi penegak hukum yang masing-masing mempunyai kewenangan harus
tetap dijaga supaya kasus Cicak Vs Buaya tidak berulang. Penetapan tersangka
oleh kedua lembaga itu, yang belakangan memicu ketidakharmonisan, dalam
paradigma kepemimpinan Ruki diharapkan dak
lagi terjadi.
Ada
beberapa alasan yang mendasari premis itu. Pertama; Ruki sangat memahami
psikologis institusi Polri sekaligus KPK. Walaupun secara kelembagaan harus
independen dan jauh dari intervensi pihak mana pun, peran sebagai pengambil
keputusan (decision maker) tetap
akan menjadi roh ke mana arah penyidikan sebuah kasus.
Berantai
Hal
ini jelas terbaca sewaktu ada penetapan petinggi institusi sebagai tersangka
pasti muncul efek berantai dengan penetapan tersangka lain pada level di
bawahnya, yang jadi bagian institusi tersebut. Kesan yang muncul kemudian dan
tidak terbantahkan adalah masuknya kepentingan pribadi dengan menunggangi
kewenangan institusi. Ruki diharapkan memahami paradigma itu sehingga ia akan
berusaha tampil sejuk menjalin komunikasi sebelum muncul permasalahan ke
permukaan dan ter-blow up media.
Kedua;
Ruki sangat memahami dan ini perlu direnungkan oleh semua pihak bahwa ketika
seseorang ditetapkan jadi tersangka, ia akan berusaha menarik orang lain
menjadi tersangka juga. Apalagi dalam perkara korupsi. Ibarat orang
tenggelam, ia berusaha sekuat tenaga meraih apa saja benda-benda di
sekelilingnya agar ia tidak tenggelam. Atau menggunakan idiom tiji tibeh alias mati siji mati kabeh.
Pemahaman
ini bukan berarti akan ada tebang pilih pemberantasan korupsi melainkan
meletakkan kasus korupsi melalui pendekatan yang
tak melibatkan emosi intitusi. Contoh kasus ini adalah ketika Irjen
Djoko Susilo ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus simulator SIM diikuti
penggeledahan kantor Korlantas Mabes Polri, menimbulkan efek emosional
intitusi Polri saat itu.
Dampaknya, Mabes
Polri menarik sejumlah penyidiknya dan menghentikan sementara beberapa
penyidik Polri di KPK. Bahkan KPK ikut ’’memanaskan’’ suasana dengan merekrut
penyidik internal.
Kondisi seperti itu sangat kontraproduktif bagi sinergitas KPK-Polri. Selama
kepemimpinan Ruki, hal itu diprediksi takkan terjadi mengingat ia diharapkan
mengembangkan pendekatan komunikasi antarlembaga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar