KH Ali Maksum, NU, dan Muktamar Ke-33
Muhammadun ; Peneliti Lajnah Ta’lif
wan Nasyr (LTN) PW NU DI Jogjakarta;
Analis pada Program Pascasarjana
UIN Jogjakarta
|
JAWA
POS, 27 Februari 2015
PADA
28 Februari ini, semua warga nahdliyin memperingati Haul Ke-26 KH Ali Maksum,
rais aam PB NU 1981–1984. Peringatan haul tahun ini mempunyai signifikansi
tersendiri karena tidak lama lagi Nahdlatul Ulama (NU) menyelenggarakan
Muktamar Ke-33 di Jombang, 1–5 Agustus mendatang. Kiai Ali Maksum merupakan
rais aam, pemimpin tertinggi NU, setelah NU kehilangan tokoh karismatik Rais
Aam KH Bisri Syansuri pada 1980.
Saat
itu terjadi konflik dan ketegangan meruncing antara Situbondo dan Cipete.
Kiai Ali Maksum yang dikenal sebagai ’’kamus berjalan’’ mampu menjadi ’’penengah’’.
Dia juga dikenal berpikir moderat dan bisa merangkul semua kalangan. Karena
hidup di kota pelajar, Jogjakarta, Kiai Ali bukan hanya menjalin silaturahmi
dengan para kiai, tetapi juga akademisi. Bahkan, beliau pernah menjadi dosen
di IAIN Sunan Kalijaga.
Dari
sini, Kiai Ali mempunyai ketegasan dan kecermatan sekaligus keluwesan dalam
membangun jaringan antarulama dan intelektual. Kalau akhirnya menjadi rais
aam, itu memang kemampuan dia yang diakui semua pihak. Apalagi, dia lahir
dari rahim salah seorang pendiri NU, Mbah Maksum Lasem.
Inspirasi Seorang Rais Aam
’’Sesungguhnya
aku diberikan kepercayaan atas kalian. Padahal, aku bukanlah yang terbaik
dari kalian. Oleh karena itu, jika kalian melihatku melenceng, luruskanlah
aku, hindarkanlah aku dari kesalahan, dan tegurlah aku sampai ke tempat yang
baik….’’
Kalimat
itu diucapkan Kiai Ali Maksum sambil meneteskan air mata ketika mendapat
amanah sebagai rais aam dalam Munas Alim Ulama di Kaliurang Jogjakarta, 1981.
Sebelumnya, Kiai Ali tidak mau menempati jabatan yang ditinggalkan KH Bisri
Syansuri karena sikap tawaduk yang sangat tinggi. Tetapi, para kiai sepuh
menghendaki Kiai Ali bersedia sehingga Gus Dur dan Gus Mus harus rela menanti
di kediaman beliau untuk mengetahui kesediaannya menjadi rais aam.
Kiai
Ali tidak mau memburu jabatan, apalagi sekelas rais aam. Tetapi, beliau tidak
diperbolehkan oleh ajaran Islam untuk menghindari tanggung jawab. Makanya,
kalau ada yang menyeleweng dalam kepemimpinannya, Kiai Ali siap ditegur dan
diluruskan. Jabatan rais aam itu dijalankan hingga Muktamar Situbondo pada
1984. Beliau tidak mau dicalonkan lagi karena menginginkan regenerasi tumbuh
berkembang di dalam NU. Akhirnya, KH Ahmad Siddiq menggantikan dia sebagai
rais aam PB NU.
Walaupun
sudah tidak menjabat rais aam, Kiai Ali tetap setia mengawal perjalanan NU.
Bagi Kiai Ali, NU adalah jalan hidup yang hak (benar). Ada lima pesan yang
ditegaskan Kiai Ali untuk warga NU. Pertama, al-‘alimu wat ta’alum bi
nahdlatil ulama. Warga nahdliyyin mesti mempelajari apa dan bagaimana NU.
Kedua, setelah mempelajari juga perlu untuk diamalkan dan diajarkan (al-amalu
bi nahdlatil ulama). Ketiga, jihad bi nahdlatil ulama (jihad dengan jalan
NU). Keempat, ash-shabru bi nahdlatil ulama (sabar dalam berjuang bersama
NU). Kelima, ats-tsiqotu bi nahdlatil ulama (memiliki keyakinan terhadap
perjuangan NU).
’’Kita
mesti yakin bahwa NU merupakan sebuah ormas yang mendapat rida Allah.
Berjuang bersama NU dapat membawa kita masuk ke surga,’’ tegas Kiai Ali dalam
buku Ajakan Suci (1995).
Muktamar Ke-33 NU
Keteladanan
dan semangat perjuangan Kiai Ali harus menjadi catatan serius dalam Muktamar
Ke-33 NU. Jangan sampai jabatan rais aam dan ketua umum PB NU menjadi
komoditas politik. Padahal, Kiai Ali malah menangis saat menerima jabatan
itu. Kiai Bisri Syansuri juga tidak mau menerima jabatan rais aam selama
masih ada Kiai Wahab Hasbullah. Kiai Wahab tidak mau menerima jabatan rais
akbar setelah KH Hasyim Asy’ari wafat, tetapi diubah menjadi rais aam.
Demikian juga yang dijalankan Kiai Sahal Mahfudh dalam Muktamar Cipasung pada
1994 ketika Kiai Ilyas Ruhiyat bersedia.
Bagi
Kiai Ali Maksum, ulama dalam NU selalu berada pada posisi yang menentukan.
Ulama bukan sekadar staf ahli yang dipakai jika perlu. Ulama adalah pemimpin
tertinggi, pemutus kata, dan penentu arah organisasi. Kalau kita mau dalam
NU, berarti telah mau menerima kepemimpinan ulama dalam artian tersebut. Kiai
Ali juga menegaskan bahwa yang dimaksud suara ulama dalam kepemimpinan NU
adalah bukan suara seorang ulama atau kiai. Yang dimaksud suara ulama adalah
suara syuriah sebagai lembaga tertinggi dalam kepemimpinan NU.
Mekanisasi
kepemimpinan seperti itu bagi Kiai Ali sesungguhnya telah disadari bersama
karena tidak ada satu pun pemimpin NU, bahkan pemimpin terendah pun belum
memahami maksud ayat, “sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah ulama”.
’’Karena
itu, jika ada langkah-langkah yang tidak sesuai dengan petunjuk syuriah,
apalagi bertentangan, adalah tidak benar dan itu langkah sesat, walaupun
kelihatannya mengatasnamakan NU. Dan langkah inilah menggusur kesucian NU,
mengotori citra NU dan mencemarkan nama harum para leluhur NU yang sudah
almarhum. Naudzubillah,’’ ujar Kiai Ali memperingatkan warga NU dengan sangat
tegas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar