Mengawal Pilkada Serentak
Ali Rif’an ; Research Associate
Poltracking;
Mahasiswa Pascasarjana
Universitas Indonesia
|
JAWA
POS, 26 Februari 2015
KITA
patut bersyukur bahwa polemik dan perdebatan panjang mengenai pelaksanaan
pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak telah menghasilkan banyak
perbaikan. UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah sudah
direvisi DPR (Jawa Pos, 25/2).
Salah
satu poin penting dalam revisi UU tersebut adalah memutuskan pilkada serentak
digelar dalam beberapa tahap. Tahap pertamaberlangsung Desember 2015. Tahap
itu diperuntukkan bagi wilayah dengan masa jabatan kepala daerah yang
berakhir pada 2015 hingga semester pertama 2016.
Tahap
kedua, pilkada serentak digelar Februari 2017. Tahap itu diperuntukkan bagi
masa jabatan kepala daerah yang berakhir pada semester kedua 2016 dan 2017.
Untuk tahap ketiga, pilkada serentak dihelat pada Juni 2018 di semua wilayah
dengan akhir masa jabatan 2018 dan 2019. Pengaturan tahap tersebut bertujuan
supaya pilkada serentak seluruh Indonesia bisa terlaksana pada 2027.
Selain
itu, poin penting dalam revisi UU tersebut adalah pilkada berlangsung hanya
satu putaran; pencalonan menggunakan sistem paket (kepala daerah dan wakil);
syarat dukungan penduduk calon perseorangan ditingkatkan menjadi 3,5 persen;
tidak ada ambang batas kemenangan; adanya pelarangan politik dinasti;
sengketa pilkada masih ditangani Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum adanya
peradilan khusus pada 2027; dan uji publik dihapus.
Sebagaimana
diungkapkan dalam kolom Jati Diri Jawa Pos (25/2), dari regulasi
undang-undang tersebut, sesungguhnya sudah ada nuansa efisiensi tenaga dan
anggaran pelaksanaan pilkada serta upaya mencegah nepotisme dalam
pemerintahan. Pasalnya, pilkada yang hanya berlangsung satu putaran serta
secara serentak akan sangat menghemat biaya. Begitu pula, ketegangan yang
tercipta tidak akan berkepanjangan hingga dua putaran seperti yang sering
terjadi.
Meski
demikian, menurut penulis, justru karena pilkada berlangsung satu putaran dan
secara serentak itulah potensi konflik sekaligus pelanggaran sangat besar.
Dengan diberlakukannya pilkada secara serentak, TNI-Polri akan kewalahan bila
konflik juga terjadi secara serentak. Sebab, jika dibandingkan dengan pilpres
dan pileg, pilkada merupakan pesta demokrasi yang paling rawan menimbulkan
konflik. Apalagi saat ini masih terdapat dua partai –Partai Golkar dan PPP–
yang memiliki kepengurusan ganda.
Bila
hal tersebut tidak segera diselesaikan, potensi konflik dalam pilkada tidak
hanya terjadi antarkandidat yang berbeda partai, tapi sesama kader di partai
yang sama. Begitu pula, dengan diberlakukannya pilkada satu putaran, setiap
kandidat pasti berusaha semaksimal-maksimalnya dan mengerahkan seluruh energi
untuk bisa menang. Pada titik inilah, tidak tertutup kemungkinan segala cara
akan ditempuh, termasuk cara-cara kotor dan culas.
Tentu,
bila dipetakan, kecurangan dalam pilkada sesungguhnya dapat dibagi dua, yakni
kecurangan saat pilkada dan kecurangan pra-pilkada. Kecurangan saat pilkada
dimulai ketika sang kandidat sudah ditetapkan KPU sebagai peserta (kandidat)
pilkada dan berlangsung hingga pemungutan suara. Dalam hal ini, kecurangan
bisa berupa kampanye hitam, politik uang, intimidasi, hingga manipulasi hasil
perolehan suara.
Namun,
yang kerap luput dari pantauan adalah kecurangan pra-pilkada. Sebagaimana
pernah diungkapkan Prof Mahfud MD (2012) dalam sebuah kuliah umum, ada
beberapa modus kecurangan pra-pilkada. Pertama, praktik kecurangan yang hanya
melibatkan kontestan atau orang yang bertarung. Misalnya, bagi calon
perorangan, untuk mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP) sebagai salah satu
syarat, ternyata KTP-nya diambil dari bank, bukan dari dukungan yang
bersangkutan.
Kedua,
kecurangan yang melibatkan penyelenggara negara seperti Komisi Pemilihan Umum
(KPU). Misalnya, KPU memaksakan orang yang tidak memenuhi syarat diikutkan
dalam pilkada. Atau sebaliknya, orang yang memenuhi syarat dicoret atau
didiskualifikasi. Kecurangan tersebut berhubungan dengan hukum acara di MK.
Jika kepesertaan seorang calon dibatalkan, orang tersebut tidak memenuhi
syarat dalam kedudukan hukum untuk beperkara.
Karena
itu, untuk mengantisipasi berbagai potensi kecurangan tersebut, dibutuhkan
pengawasan ekstra supaya pesta demokrasi di tingkat lokal yang berlangsung
secara serentak kali ini dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tentu, tugas
pengawasan tidak boleh diserahkan hanya kepada Bawaslu semata. Publik luas
juga harus ikut memantau pilkada supaya dapat berjalan dengan jujur dan adil
serta terhindar dari segala praktik kecurangan.
UU
Pilkada yang baru itu diharapkan bisa dijadikan alat untuk memperbaiki
tatanan demokrasi supaya lebih baik. Jangan sampai ada pihak-pihak yang masih
saja ’’bermain’’ dengan mencari kelemahan UU tersebut untuk berbuat culas. Tentu,
faktor utama agar pilkada nanti bisa berjalan seperti yang diharapkan sangat
bergantung pada penyelenggara pemerintah dan rakyat. Sebagus apa pun konsep
dan aturan yang dibuat tidak menjamin pelaksanaan pilkada akan jauh lebih
baik.
Sebab,
aturan dan UU hanya sebuah alat dan regulasi. Bagaimanapun, sukses tidaknya
pilkada serentak nanti sangat bergantung pada aktor-aktor di dalamnya,
termasuk sumbangsih masyarakat luas untuk senantiasa mengawasi sekaligus
mengawal jalannya demokrasi di tingkat lokal itu.
Sebab,
seperti kata Samuel P. Huntington (1997), sebagai negara demokrasi baru,
Indonesia saat ini dapat dikatakan sukses melalui fase krisis transisi dari
otoritarianisme ke demokrasi. Kesuksesan demokrasi kita saat ini tentu jangan
sampai ternodai praktik-praktik kecurangan dan keculasan dalam pilkada. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar