Setelah
Kasus Obat Bius
Dian Nurmawati ; Apoteker Kimia Farma
Sidoarjo,
Alumnus S-2 Pharmaceutical Policy & Management Fakultas
Farmasi Unair
|
JAWA
POS, 24 Februari 2015
SEBUAH tragedi menimpa dunia farmasi karena pemberian obat
bius sehingga menewaskan dua pasien RS Siloam Karawaci (Jawa Pos, 22 Februari
2015). Dua pasien tersebut menerima suntikan Buvanest spinal injeksi sebelum
menjalani operasi, kemudian mengalami gatal-gatal, kejang, dan akhirnya
meninggal. Dugaan sementara, terjadi kesalahan saat produksi obat. Yakni,
tertukarnya etiketBuvanest spinal injeksi yang berbahan aktif bupivacaine
(obat bius) dengan asam traneksamat, antifibrinolitik yang berfungsi
mengurangi pendarahan.
Kejadian tersebut sangat menggemparkan dan menjadi perbincangan
hangat masyarakat. Dunia farmasi pun dibuat introspeksi diri karena salah
satu elemen pengawasan dalam proses produksi seolah tidak berfungsi. Padahal,
selama ini, semua masyarakat mafhum bahwa setiap proses produksi, terutama
produksi obat, memerlukan keakuratan serta ketelitian yang sangat rigid
karena bersentuhan langsung dengan nyawa manusia. Bahkan, Ahaditomo, seorang
tokoh apoteker, menegaskan, sangat tidak masuk akal jika terjadi kesalahan
etika karena semua proses produksi farmasi memiliki standard operating
procedure (SOP) sesuai dengan persyaratan cara pembuatan obat yang baik
(CPOB).
Hal senada diungkap Dirut PT Kimia Farma Tbk (Jawa Pos, 22
Feb 2015) Rusdi Rosman. Ironis sekali jika itu terjadi. Sebab, CPOB di
Indonesia yang terdiri atas 12 aspek mengacu pada Current Good Manufacture
Practices (CGMP) yang dikenal dengan standardisasi tinggi sejajar dengan
Eropa.
Ada tiga personel kunci dalam industri farmasi, yaitu
kepala bagian produksi, kepala bagian pengawasan mutu (quality control), dan
kepala bagian manajemen mutu/pemastian mutu (quality assurance), yang harus
independen satu sama lain. Jadi, setiap tahap sudah melewati kontrol ketat,
mulai pemilihan bahan baku, proses produksi, sampai memastikan bahwa mutu
obat sesuai dengan tujuan pemakaiannya di pasaran.
Merujuk pada pasal 108 UU Kesehatan No 36 Tahun 2009,
tenaga kesehatan yang bertanggung jawab mulai proses pembuatan obat,
penyimpanan, dan distribusi obat adalah apoteker. Semua prosedur diatur
sangat ketat. Proses produksi di pabrik diatur dengan CPOB, distribusi
menggunakan pedoman cara distribusi obat yang baik (CDOB), hingga obat sampai
ke tangan pasien melalui cara pelayanan farmasi yang baik (CPFB).
Terlepas dari penerapan tata kelola farmasi yang baik,
mulai produksi hingga distribusi dan dilayankan ke pasien, sebuah catatan
hitam telah ditorehkan dalam dunia kesehatan. Apoteker sebagai tenaga
kesehatan yang ahli dan berkompeten masalah obat tentu sangat mengharapkan
hasil investigasi yang tuntas, apakah kejadian ini memang murni karena human
error di tingkat produksi, RS, adanya persaingan bisnis, atau missing link
seperti pasien alergi atau yang lain. Masyarakat pun berhak mengetahui dengan
pasti alasan penarikan obat Buvanest spinal 0,5% heavy 4 ml semua nomor batch
dan asam traneksamat generik 500 mg/amp 5 ml batch no 630025, 630023, dan
629668. Sebab, itu adalah salah satu bentuk transparansi edukasi.
Langkah tepat, walau sedikit terlambat, telah dilakukan
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Mereka membekukan izin produksi dan
izin edar injeksi Buvanest spinal 0,5% heavy pada 17 Februari 2015. Pada saat
bersamaan, izin produksi larutan injeksi volume kecil nonbeta laktam juga
dihentikan sementara.
Kalbe Farma selaku produsen sudah berinisiatif menarik dua
produk itu secara sukarela sejak kasus tersebut merebak pada 12 Februari 2015
melalui distributornya, PT Enseval Putra Megatrading Tbk. Diharapkan, dengan
tindakan tersebut, masyarakat tidak khawatir atas pemberian obat bius di RS
setelah kasus itu. Apalagi Buvanest adalah obat khusus yang hanya bisa
diberikan dokter spesialis anestesi.
Selama belum ada hasil investigasi resmi, ada dua pihak
yang berpeluang sama untuk bisa digugat. Yaitu, RS Siloam yang melakukan
tindakan medis dan Kalbe Farma sebagai produsen obat. Diharapkan, law
enforcement bisa dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kemenkes dan BPOM, agar
kekhawatiran penyelesaian private-to-private bisa tertepis. Melalui
pembuktian terbalik di pengadilan, bisa diketahui pihak yang lalai sehingga
jelas sanksi yang akan diberikan.
Sejumlah langkah preventif harus mulai dipikirkan untuk
dijalankan. Misalnya, pengawasan rutin yang berkelanjutan mulai hulu sampai
hilir (produksi, distribusi, hingga saat obat di tangan pasien), tidak hanya
saat pengajuan izin produksi. Pengawasan di lini produksi hendaknya tidak
pandang bulu, apakah perusahaan farmasi nasional atau multinasional, tetapi
juga industri kosmetik dan industri obat tradisional. Jangan-jangan, kasus
Buvanest adalah fenomena gunung es yang sangat berbahaya jika tidak segera
diselesaikan.
Pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) adalah salah satu
kunci keberhasilan dalam bidang apa pun, termasuk dalam kasus obat bius.
Terbukti, sudah banyak standardisasi internasional, bahkan yang paling
canggih sekalipun sudah kita sepakati. Namun, apalah arti semua itu karena
semutakhir apa pun sebuah standar diciptakan, semua berpulang kepada manusia
sebagai pelaksana di belakangnya. Sudah saatnya semua pihak, baik organisasi
profesi kesehatan, instansi kesehatan, industri farmasi, maupun pemerintah,
mulai berlomba meningkatkan kompetensi, saling mengisi dan bekerja sama dalam
satu irama untuk meningkatkan kesehatan Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar