Parpol,
DPR, dan Masyarakat Sipil
Azyumardi Azra ; Direktur Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Ketua Teman Serikat Kemitraan
untuk Pembaruan Tata Pemerintahan
|
KOMPAS,
24 Februari 2015
Akhirnya Presiden Joko Widodo tidak jadi melantik
Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Sebaliknya, Presiden
mengusulkan Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai calon Kepala Polri
baru. Jelas keputusan Presiden yang telah ditunggu cukup lama—yang sempat
membuat gemas dan gusar kalangan masyarakat, LSM, kelompok masyarakat sipil (civil society), pengguna internet (netizen) di dunia maya, dan
politisi—cukup melegakan. Kini keputusan itu setidaknya sudah ada, kegundahan
dan kegusaran berlalu sudah.
Namun, segera jelas, membatalkan Budi Gunawan (BG) sebagai
calon Kapolri yang sudah disetujui DPR
dan mencalonkan Badrodin Haiti untuk mendapat persetujuan DPR bakal tidak
berjalan mulus. Hari-hari mendatang tampaknya kembali diliputi kegaduhan
politik yang bisa meningkatkan eskalasi politik nasional.
Isyarat kembalinya kegaduhan politik itu sudah terlihat.
Sejumlah politisi, khususnya dari PDI-P—partai pengusung Joko Widodo-Jusuf
Kalla—sudah terdengar suara penolakannya atau sedikitnya mempersoalkan
keputusan Presiden Jokowi. Wakil Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan (PDI-P)
menyatakan tetap menginginkan Presiden Jokowi melantik BG.
Secara umum, PDI-P terlihat kecewa berat atas keputusan
Presiden Jokowi. Meski demikian, terdapat pihak yang ”memahami” keputusan
Presiden, dan karena itu akan memperjuangkan semua kebijakan Presiden Jokowi
di DPR. Dwi Ria Latifa, politisi PDI-P di Komisi III, menyatakan, sikap itu
merupakan instruksi langsung Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Nada sama—atau lebih keras—juga datang dari kalangan parpol
lain yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), yang awalnya merupakan
lawan politik Jokowi-Kalla. Sebagai kubu politik yang berseberangan dengan
pemerintahan Jokowi-Kalla, KMP mengagetkan publik ketika mereka secara
aklamasi mendukung BG menjadi calon Kapolri yang diusulkan Presiden Jokowi.
Sikap ini, misalnya, terlihat dari pernyataan anggota
Komisi III, Bambang Soesatyo (Partai Golkar), yang menyatakan pembatalan
pencalonan BG dan pengajuan Badrodin Haiti bakal sulit diterima di Rapat
Paripurna DPR. Dalam sebuah diskusi di Jakarta, akhir pekan lalu, dia
menegaskan, keputusan Presiden Jokowi itu membawa Istana ke titik paling
rendah. Ia menyatakan, ”Kita berharap
Istana Negara menjadi sebuah istana rajawali, bukan istana kampret.”
Entah kenapa anggota dan pimpinan DPR bersikap seperti
itu, yang disertai kalimat yang tidak dapat disebut santun. Apa sesungguhnya
yang terjadi di balik layar dengan sikap rawe
rawe rantas malang malang putung (semua kekuatan harus dikerahkan) dalam
pencalonan BG itu? Political deal
apakah yang berantakan gara-gara batalnya BG dilantik sebagai Kapolri?
Sebaliknya, political deal apa lagi
yang harus dibangun agar DPR bersetuju Badrodin Haiti sebagai calon Kapolri
baru? Kita tidak tahu dan tidak bisa berspekulasi tentang apa dan bagaimana political deal selanjutnya.
Terlepas ada tidaknya political
deal di kalangan parpol di DPR, jelas pergaduhan politik yang terjadi di
lembaga legislatif ini bakal menambah kekecewaan banyak pemilih. Jelas elite
politik, baik di parpol maupun di DPR, lebih sibuk dengan kepentingan sendiri
daripada kepentingan pemilih dan publik. Para pemilih yang mengharapkan elite
politik dan anggota DPR mendukung pemberantasan korupsi bakal tambah kecewa,
yang ujungnya boleh jadi meningkatkan frustrasi dan apatisme politik.
Namun, frustrasi dan apatisme politik tidak akan
menghasilkan apa-apa. Sebaliknya, hanya membuka ruang lebih besar lagi bagi
kian meningkatnya manipulasi dan the use and abuse politik demi kepentingan
parpol dan koalisi masing-masing.
Oleh karena itu, frustrasi dan apatisme politik di
kalangan masyarakat jangan dibiarkan tumbuh. Sebaliknya, masyarakat sipil
mesti terus bertahan untuk berjuang menghadapi kegaduhan politik yang jelas
merugikan kepentingan negara-bangsa.
Kasus pembatalan pencalonan BG oleh Presiden Jokowi sangat
terkait dengan meningkatnya aktivisme masyarakat sipil. Kegaduhan politik
yang terus meningkat terkait pencalonan BG serta penetapan dua komisioner KPK
dan kriminalisasi terhadap sejumlah aparat KPK telah mendorong revitalisasi
masyarakat sipil.
Masyarakat sipil terdiri dari berbagai kelompok kampus,
LSM, ormas, Tim 9 Independen, sampai warga pengguna internet di dunia maya.
Dengan banyaknya media massa yang cenderung memihak mereka, masyarakat sipil
dapat menghadirkan tekanan terhadap berbagai pihak yang terlibat dalam
kegaduhan politik terkait kasus pencalonan BG yang disertai kriminalisasi
terhadap sejumlah fungsionaris KPK.
Tugas dan tantangan masyarakat sipil tampaknya jauh dari
selesai. Mengantisipasi kegaduhan politik baru di DPR terkait gejala
penolakan terhadap Badrodin Haiti, masyarakat sipil patut tetap waspada dan
siap bergerak dengan damai dan keadaban.
Tidak kurang pentingnya adalah mencegah berlanjutnya
kriminalisasi (fungsionaris) KPK. Publik menunggu—agaknya dengan gemas—apakah
pemimpin sementara KPK Taufiequrachman Ruki dan calon Kapolri Badrodin Haiti
dapat bersepakat menyudahi kriminalisasi itu, yang tidak kondusif bagi
penciptaan sinergi antara KPK dan Polri dalam pemberantasan korupsi dan
penciptaan pemerintahan bersih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar