Diplomasi
Antinarkoba
W Riawan Tjandra ; Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta;
Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Februari 2015
REAKSI keras dari beberapa negara
atas pelaksanaan hukuman mati terhadap warga negara mereka yang sudah dan
akan dijatuhi hukuman mati karena kasus-kasus kejahatan narkoba di Indonesia
tetap perlu mendapat perhatian. Yang terpenting, jangan sampai menjadi
hambatan bagi pelaksanaan hukuman mati tersebut. Apalagi, sampai melemahkan komitmen
pemerintah dan rakyat Indonesia untuk menabuh genderang perang terhadap
kartel narkoba. Sikap pemerintah untuk bersikap tegas dalam penerapan hukum
antinarkoba sudah berada pada arah yang tepat dalam rangka mendorong
terwujudnya negara bebas narkoba. Negara-negara berhak untuk menentukan
kategorisasi perbuatan pidana yang layak dijatuhi hukuman mati sesuai dengan
kedaulatan hukum dan politik yang dimiliki sebagai negara yang merdeka.Tak
perlu ada kegalauan terkait dengan penerapan hukuman yang tegas terhadap para
pelaku kejahatan narkoba di negeri ini.
Sudah ada garis demarkasi yang
jelas dalam penerapan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan narkoba
tersebut, yaitu hukuman mati secara selektif diterapkan hanya bagi para
pelaku kejahatan narkoba yang kategorinya ialah sebagai pengedar atau bandar
narkoba. Karena itu, terhadap korban penyalahgunaan narkoba lebih
diefektifkan upaya rehabilitasi dan penyadaran agar tak mengulangi kejahatan
yang sama. Paling sedikit terdapat 4 juta korban penyalahgunaan narkoba di
Indonesia dan hanya sekitar 18 ribu yang direhabilitasi atau sekitar 0,47%
dari total korban penyalahgunaan narkoba.
Berdasarkan data BNN, tercatat 40
pemakai narkoba meninggal dunia setiap harinya. Tidak terhitung pula mereka
yang putus sekolah dan tidak terhitung berapa banyak yang menjadi gila akibat
efek narkoba serta zat-zat adiktif tersebut.
Reaksi keras dari beberapa negara,
seperti Brasil, Belanda, dan kemudian juga Australia harus diletakkan secara
proporsional sebagai hak dari setiap negara tersebut, sejauh sifatnya tidak
mengganggu hubungan bilateral karena sikap-sikap yang merendahkan Indonesia.
Kasus penundaan penerimaan credential letter dari pemerintah
Brasil memang terkesan merendahkan Indonesia karena dilakukan terhadap duta
besar yang diutus secara resmi oleh Indonesia yang notabene merupakan
representasi rakyat dan negara Indonesia di negara tersebut.Sangat dipahami
reaksi keras pemerintah untuk segera memanggil pulang Duta Besar RI tersebut
dan sekaligus mengajukan nota protes kepada Duta Besar Brasil di Jakarta.
Sikap pemerintah Indonesia sudah sesuai dan tak melanggar etika hubungan
antarnegara yang didasarkan atas prinsip kesetaraan dan saling menghormati.
Ke depan, Indonesia perlu
mengembangkan diplomasi internasional antinarkoba dengan berbagai negara
sahabat untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat
menghormati negara-negara lain dalam relasi internasional, tetapi di sisi
lain, berani bersikap tegas terhadap siapa pun pelaku kejahatan narkoba di
Indonesia. Tak satu pun aturan hukum internasional yang melarang suatu negara
mengatur kedaulatan hukumnya secara nasional sepanjang tak bertentangan
dengan konvensi-konvensi internasional.
Indonesia juga memiliki kedaulatan
penuh untuk mengatur secara nasional perangkat hukumnya sendiri untuk
memerangi kejahatan narkoba yang memang sudah dikategorisasikan sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary
crime) dan negeri ini sudah memasuki kondisi darurat narkoba. Maka,
cara-cara luar biasa juga dinilai layak untuk memerangi kejahatan narkoba
tersebut.
Narkoba ibarat `terorisme
terselubung' yang memiliki efek kerusakan sosial yang dahsyat dan bahkan bisa
menyebabkan kematian sebuah generasi.
Bagian diplomasi
Meskipun perang terhadap kartel
narkoba layak dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia, tetap perlu
memikirkan diplomasi antinarkoba dalam relasi internasional. Hofstede dan
Matos (2004) dalam risetnya mengenai bahasa diplomasi mengatakan bahwa esensi
dari bahasa diplomasi (diplomacy
language) ialah menggunakan bahasa dengan cara-cara kondusif, guna
mengonstruksi dan mendukung terwujudnya konsensus dan kolaborasi antarbangsa.
Bahasa diplomatik harus bisa
bermakna peace-building, peace-making
dan peace-promoting force.
Berkaitan dengan sikap pemerintah RI untuk melaksanakan hukuman secara tegas
terhadap pelaku kejahatan narkoba, hal itu harus menjadi bagian dari
diplomasi dalam relasi bi/multi-lateral. Tak ada salahnya jika kebijakan
antinarkoba tersebut selalu dikomunikasikan secara konsisten dalam setiap event
dialog G to G. Bahkan, Kementerian
Luar Negeri (Kemenlu) perlu mengoordinasikan para dubes, diplomat, maupun
konsul RI di seluruh negara untuk gencar mengomunikasikan sikap tegas
pemerintah RI saat ini terhadap kejahatan narkoba. Jika hal itu dikomunikasikan
dengan baik kepada negara-negara sahabat, kiranya dapat meminimalisasikan
reaksi negatif jika suatu saat sikap tegas tersebut dilakukan terhadap warga
negara asing yang melakukan kejahatan narkoba di Indonesia.
Indonesia sendiri beberapa kali
juga pernah mengajukan permintaan secara resmi kepada beberapa negara yang
akan menghukum mati WNI karena melanggar aturan hukum di negara setempat
sebagai reaksi keras dari publik di Tanah Air.
Hal yang sama kiranya juga terjadi
di berbagai negara yang melakukan reaksi keras terhadap kebijakan pemerintah
RI untuk melaksanakan hukuman mati terhadap warga negara asing yang melakukan
kejahatan narkoba di Indonesia. Meskipun sebenarnya hukuman mati yang
dijatuhkan secara normatif didasarkan atas hukum positif yang berlaku di
Indonesia yang merupakan domain kedaulatan Indonesia, tetap diperlukan untuk
mengembangkan diplomasi antinarkoba dengan negara-negara sahabat agar tidak
menimbulkan retaknya hubungan bilateral.
Negara-negara sahabat harus bisa
memisahkan antara hukuman mati terhadap kejahatan yang dilarang keras
dilakukan di Indonesia dan relasi bilateral yang sejatinya tak terkait secara
langsung dengan hukuman mati terhadap warga negaranya di negeri ini.Namun,
karena pertalian antara politik domestik dengan politik bilateral
antarnegara, hal semacam itu sering kali sulit dipisahkan tanpa kemampuan
diplomasi yang baik dari kedua negara.
Sikap tegas pemerintah RI terhadap
kejahatan narkoba perlu terus dikomunikasikan dengan menjelaskan bahwa upaya
mengefektifkan penegakan hukum terhadap kejahatan narkoba pernah menjadi
mandat dari Ketetapan MPR. Dalam upaya mencegah dan memberantas
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan
membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum MPR
2002 melalui Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 telah direkomendasikan kepada
DPR dan Presiden untuk melakukan perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika. Amandemen terhadap UU No 22 Tahun 1997 menjadi UU No 35
Tahun 2009 dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan kartel
narkoba.
Realitas politik hukum semacam
inilah yang perlu selalu dikomunikasikan oleh Kemenlu melalui para diplomat,
duta besar maupun konsul-konsul RI di negara mana pun mereka berada.Tanpa
adanya diplomasi yang efektif, maka reaksi keras dari negara-negara yang
kebetulan warga negaranya melakukan kejahatan narkoba di Indonesia akan
selalu terjadi.Bahkan, bukan tidak mungkin hal itu bisa memicu menjadi
retaknya relasi bilateral karena tekanan domestik negaranegara sahabat juga
berpotensi mengancam posisi politik para pejabat politik yang berkuasa di
negara tersebut.
Kini, menjadi tugas Kemenlu untuk
secara aktif membangun diplomasi efektif antinarkoba untuk menghadirkan muruah Nawacita dalam relasi internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar