Mewaspadai Sektarianisme di Timteng
Hasibullah Satrawi ; Pengamat Politik Timur
Tengah dan Dunia Islam,
Direktur Aliansi Indonesia Damai
|
KORAN
SINDO, 26 Februari 2015
Dalam
beberapa minggu terakhir, instabilitas politik di Yaman sangat tinggi. Ini
tidak terlepas dari Deklarasi Konstitusi (al-I’lan
ad-Dustury) yang dilakukan oleh kelompok Houthi di Istana Kepresidenan
Yaman (06/02).
Deklarasi
yang menggegerkan Timur Tengah secara umum dan dunia Arab secara khusus ini
membubarkan Parlemen Yaman dan membentuk Dewan Revolusi (dari kalangan
Houthi) sebagai pelaksana pemerintahan sementara. Dalam pendahuluan
disebutkan, Deklarasi Konstitusi ini dikeluarkan sebagai upaya penyelamatan
Yaman dari kekosongan pemerintahan setelah Presiden dan Perdana Menteri Yaman
(Abd-Rabbu Mansour Hadi dan Khaled Bahah) mengundurkan diri (23/01).
Sebelumnya,
kelompok Houthi yang sejak 21 Januari berhasil menguasai Istana Kepresidenan
Yaman melalui aksi bersenjata memberikan kesempatan kepada segenap partai dan
kekuatan politik untuk mencapai konsensus nasional. Namun, upaya yang
dipimpin oleh utusan khusus Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB), Jamel Benomar
atau Jamel Bin Umar, ini dianggap gagal hingga akhirnya kelompok Houthi
mengeluarkan Deklarasi Konstitusi.
Deklarasi
Konstitusi memuat 16 butir atau pasal untuk mengatur pemerintahan Yaman
sementara menuju pemerintahan transisi sebelum terbentuk pemerintahan
permanen. Pasal 1 menegaskan bahwa konstitusi Yaman tetap berlaku selama
tidak bertentangan dengan substansi Deklarasi Konstitusi ini.
Pasal
5 dan pasal 11memberikan mandat kepada Dewan Revolusi untuk membentuk Dewan
Nasional (semacam parlemen) yang terdiri atas 551 anggota (Pasal 6) untuk
selanjutnya Dewan Nasional membentuk Dewan Kepresidenan (Pasal 8) yang terdiri
atas lima anggota. Deklarasi yang dikeluarkan para pemimpin revolusi ini juga
menentukan masa transisi yang paling lambat akan berlangsung selama dua tahun
sesuai bunyi Pasal 14 (as- Shar al-Awsat, 7/2).
Dalam
perkembangan terkini dilaporkan, Presiden Yaman yang sempat mengundurkan
diri, Abd-Rabbu Mansour Hadi, menegaskan kembali sebagai presiden Yaman yang
sah. Ini dilakukan setelah Abd- Rabbu Mansour Hadi berhasil melarikan diri
dari rumahnya di Sana’a (21/02) kemudian tinggal di Kota Aden yang dikenal
sebagai basis loyalisnya (Al-jazeera.
net, 21/02).
Perkembangan
ini hampir dipastikan akan menambah kerawanan politik di Yaman, khususnya
konflik-konflik yang bercorak sektarian.
Sentimen Sektarian
Sebagaimana
dimaklumi bersama, negara-negara Arab merespons negatif Deklarasi Konstitusi
yang dilakukan oleh kelompok Houthi, khususnya pihak-pihak yang berafiliasi
ke sekte ataupun kekuatan politik Sunni (termasuk media). Sebagian media
bahkan menyebut deklarasi ini sebagai penyempurnaan kudeta yang dilakukan
oleh kelompok Houthi yang sejak 21 September 2014 berhasil menguasai ibu kota
Yaman.
Kelompok
Houthi merupakan bagian dari aliran Syiah (Zaidiyah) yang bersifat minoritas
di Yaman (mayoritas dari kalangan Sunni). Kendati demikian, kelompok yang
sejak terjadi Arab Spring (Musim
Semi Arab) kerap menyebut diri dengan nama Ansharullah ini pernah berkuasa di
Yaman, khususnya di Yaman Utara sebelum Yaman berbentuk republik pada 1962.
Mungkin kesadaran historis inilah yang membuat kelompok minoritas ini terus
berjuang untuk menghadirkan kembali ”kebesaran” masa lalu pada masa kini.
Hingga
akhirnya mereka berhasil menguasai pemerintahan pusat seperti sekarang.
Deklarasi yang dilakukan oleh kelompok Houthi di Yaman dipastikan tak hanya
akan berdampak serius terhadap internal masyarakat Yaman yang secara
mayoritas beraliran Sunni. Deklarasi ini hampir dipastikan juga akan
berdampak serius terhadap dunia Arab dan Timur Tengah secara umum.
Apalagi
Yaman (di bawah pemerintahan kelompok Sunni) selama ini menjadi salah satu
koalisi utama AS, khususnya dalam perang melawan kelompok al- Qaeda, di satu
sisi, dan dalam mengantisipasi politik Iran yang disinyalir berada di
belakang kelompok Syiah seperti Houthi, di sisi yang lain.
Di
antara dampak yang cukup mengerikan dan perlu diwaspadai (termasuk oleh
Indonesia) adalah menguatnya kembali sentimen sektarian antara Sunni dan
Syiah. Disebut demikian karena kawasan Timur Tengah secara umum mempunyai
sensitivitas yang sangat tinggi terkait hubungan Sunni dan Syiah sebagai
akibat dari konflik-konflik masa lalu.
Berdasarkan
pengalaman penulis di Timur Tengah, hampir tidak ada konflik antaragama di
kawasan ini. Justru yang kerap terjadi adalah konflik sektarian (intra-agama)
antara Sunni dan Syiah, khususnya di negara-negara yang sebaran populasi
pengikut keduanya tidak jauh berbeda seperti di Irak, Lebanon, dan yang
lainnya. Pada tahap tertentu, sentimen sektarian di Timur Tengah telah
menjadi ”alam bawah sadar” masyarakat, termasuk juga para elite-elitenya.
Hingga
sentimen ini terus hadir dalam percaturan politik modern (seperti ketegangan
antara Iran dan negara-negara Arab atau antara milisi bersenjata Syiah
seperti Hizbullah di Lebanon dengan militan Sunni seperti al-Qaeda atau NIIS)
sekaligus memperbarui ”luka lama” secara terus-menerus.
Sentimen
sektarian ini bahkan tak jarang menjadi politik birokrasi (terhadap warga
negara), menentukan politik luar negeri negaranegara di kawasan dan menjadi
benih bagi lahirnya kelompok-kelompok militan baru. Apa yang dialami Negara
Islam di Irak dan Suriah (NIIS) bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari
yang telah disampaikan di atas. Sebagaimana dimaklumi, ISIS awalnya terlahir
dari Negara Islam di Irak (NII) sebagai salah satu cabang al- Qaeda yang
berpusat di Afghanistan.
Kelompok
ini kerap melawan kelompok-kelompok Syiah di Irak. Konflik politik Suriah di
bawah kepemimpinan Bashar al-Assad yang juga dari kalangan Syiah telah
menjadi ”suntikan gizi secara berlebih” bagi kelompok ini. Apalagi konflik di
Suriah kemudian diangkat sebagai konflik sektarian (Sunni dan Syiah) yang
memprovokasi kaum jihadis Sunni secara internasional untuk datang ke Suriah
dan berperang melawan rezim al-Assad.
Disebut
”suntikan gizi secara berlebih” karena kehadiran kaum jihadis Sunni secara
internasional kemudian membentuk NIIS yang jauh lebih besar dan lebih sadis
dibanding NII sebagai ”ibu kandungnya”. Saat ini NIIS bahkan berpotensi lebih
besar dibanding al-Qaeda.
Dalam
konteks sentimen sektarian seperti ini di Timur Tengah, keberhasilan kelompok
Houthi menguasai Yaman mutakhir bisa semakin memperburuk keadaan yang ada,
khususnya hubungan antara kekuatan-kekuatan Sunni dan Syiah, baik dalam
bentuk negara (seperti antara Iran dan negara-negara Arab Teluk) ataupun
dalam bentuk milisi bersenjata (seperti antara Hizbullah yang berbasis di
Lebanon dan Ansharullah di Yaman sebagai milisi Syiah dengan NIIS atau
al-Qaeda sebagai militan Sunni). Terlebih lagi Yaman selama ini menjadi basis
bagi salah satu cabang terkuat al-Qaeda yaitu AQAP.
Mewaspadai
Sebagai
negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, Indonesia harus secara
sigap mewaspadai pelbagai macam konflik yang terjadi di Timur Tengah,
termasuk konflik sektarian antara Sunni dan Syiah. Kebalikan dari pengalaman
Timur Tengah, Indonesia memang hampir tidak mempunyai masalah serius dengan
konflik sektarian yang bersifat intra-agama (dibanding konflik antaragama).
Mengingat
yang kerap terjadi di republik ini justru konflik antragama. Meski demikian,
fenomena ”globalisasi jihadisme” yang marak belakangan mengharuskan semua pihak
mengantisipasi ihwal yang terjadi jauh di luar sana. Apalagi sudah ada
ratusan dari orang Indonesia yang dinyatakan bergabung dengan NIIS. Seperti
terlihat dalam video yang disebarkan oleh NIIS, secara terus terang kelompok
ini mengajak masyarakat luas untuk bergabung sekaligus menantang aparat
keamanan.
Tanpa
antisipasi yang cukup dari semua pihak, bukan tidak mungkin Indonesia justru
lebih parah dari negara-negara di Timur Tengah. Di satu sisi, negeri ini
sudah kerap menderita penyakit konflik antaragama. Terlebih lagi ditambah
dengan konflik sektarian (seperti yang mulai terjadi di beberapa daerah), di
sisi yang lain. Bagi aparat keamanan dan pemerintah, antisipasi bisa
dilakukan dengan menyelesaikan konflik-konflik yang ada sekaligus memantau
mereka yang telah bergabung dengan NIIS atau kelompok radikal lain.
Sedangkan
bagi masyarakat luas, antisipasi bisa dilakukan dengan memperkuat visi
kebangsaan sekaligus mengambil jarak dari segala konflik yang terjadi di luar
sana. Seberapa pun konflik tersebut mengatasnamakan sekte ataupun agama
tertentu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar