Ciri
Budaya Sekolah Berkualitas
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan
Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Februari 2015
PERTANYAAN yang sering muncul
ketika berinteraksi dengan para guru dan orangtua ialah apa penanda bahwa
sebuah sekolah dikatakan bermutu? Secara lebih aktual, tak sedikit juga
orangtua yang bertanya tentang sekolah yang tepat bagi putra-putri mereka.
Tentu, tak mudah menjawab pertanyaan itu, mengingat kebutuhan anak-anak di
mana pun sangat berbeda, ditambah lagi dengan keinginan orangtua yang juga
beragam. Namun, jika dilihat dari perspektif dan kepentingan jangka panjang,
memilih sekolah yang baik bagi putra-putri kita bisa dimulai dengan melihat
visi sekolah tersebut dengan bangunan tradisi belajar yang ada di dalamnya.
Budaya sekolah bisa jadi merupakan
persoalan subjektif, tetapi perlu diberikan bingkai yang relevan dengan
tuntutan proses belajar mengajar saat ini karena budaya sekolah ialah satu
elemen sekolah yang teramat penting dan nyata meskipun sangat sulit untuk mendefinisikannya.
Pemahaman terhadap budaya sekolah merupakan salah satu faktor penting dalam
struktur reformasi dan kebijakan pendidikan di mana pun. Apa pun jenis
perubahan yang diinginkan dalam suatu sistem pendidikan pasti akan mengalami
resistansi. Karena itu, perlu dilakukan pendefi nisian yang bijak tentang
budaya sekolah serta sejauh mana para pengambil kebijakan dan pelaksana
sekolah memahami makna budaya sekolah dalam konteks peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia.
Salah satu ciri sekolah yang memiliki
budaya sekolah yang sehat dapat dilihat dari bagaimana sekolah mengembangkan
budaya sekolah dalam praktik keseharian belajar mengajar. Keduanya memberi
arti banyak dalam menentukan perspektif dan ragam tindakan pengajaran, yakni
guru dalam konteks budaya dapat memengaruhi setiap aspek dari proses belajar
mengajar (Peterson, 1998). Karena itu, penting dikemukakan hal-hal yang
berkaitan dengan budaya sekolah, seperti definisi, efek budaya sekolah
terhadap keseluruhan performasi guru dan siswa, serta implikasinya terhadap
kebijakan bidang pendidikan dalam konteks budaya sekolah.
Menemukan budaya sekolah
Bayangkan Anda memasuki sebuah
sekolah, hal apa kirakira yang akan Anda lihat dan dengar? Sulit atau mudah
memasuki lingkungan sekolah tersebut? Bagaimana cara guru dan siswa menyapa
Anda? Bagaimana dengan pengaturan ruang administrasi dan papan demo
keterampilan siswa ditata dan ditampilkan serta ruang kelas dibentuk? Bagaimana
suasana belajar mengajar berlangsung? Yang tidak kalah pentingnya, bagaimana
kondisi kamar kecil (toilet) sekolah? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan
pertanyaan budaya karena sekolah sedang berusaha memberikan impresi terhadap
tamu dan pengunjung lainnya bahwa inilah kami, inilah budaya sekolah kami.
Jika budaya kita definisikan
sebagai seperangkat norma, nilai, kepercayaan, dan tradisi yang berlangsung
dari waktu ke waktu, budaya sekolah adalah satu set ekspektasi dan asumsi
dari norma, nilai dan tradisi yang secara diam-diam mengarahkan seluruh
aktivitas personel sekolah. Budaya sekolah bukan suatu entitas statis, maka
proses pembentukan norma, nilai, dan tradisi sekolah akan terus berlangsung
melalui interaksi dan refleksi terhadap kehidupan dan dunia secara umum
(Finnan, 2000). Sebagai agen perubahan, sekolah dibentuk oleh praktik dan
nilai budaya serta merefleksikan norma-norma dari masyarakat, tempat mereka
masih sedang dikembangkan. Seperti hidrogen yang merupakan elemen utama air,
maka nilai-nilai dalam masyarakat juga merupakan bagian utama dari budaya
sekolah.
Tata kelola dan kepemimpinan (leadership) dari pengelola pendidikan
dan sekolah juga dapat membentuk budaya sekolah. Dalam konteks ini, kebijakan
yang dibuat oleh otoritas pendidikan secara langsung juga dapat memengaruhi
budaya sekolah yang sedang dan akan berlangsung. Dengan demikian, birokrasi
dapat menjadi penghambat dan sekaligus stimulus yang konstruktif terhadap
keberlangsungan sebuah budaya sekolah yang ingin dan akan dikembangkan oleh
komunitas sekolah (McLaren, 1999). Budaya sekolah adalah detak jantung sekolah
itu sendiri dan perumusannya harus dilakukan dengan sebuah komitmen yang
jelas dan terukur oleh komunitas sekolah, yakni guru, siswa, manajemen
sekolah, dan masyarakat.
Dengan demikian, perumusan budaya
sekolah harus dimulai oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) sekolah dengan merumuskan visi dan misi sekolah.
Jika di tingkat ini belum selesai, jangan berharap akan ada budaya sekolah
yang berkualitas di dalam sekolah tersebut. Terhadap visi dan misi sekolah,
banyak kasus yang saya temukan, yakni sekolah sesungguhnya tak memahami
elemen dasar dari budaya sekolah ini. Perumusan visi dan misi hanya dijadikan
pelengkap administratif sekolah yang perumusannya dibuat oleh kepala sekolah
dan beberapa orang guru saja.Karena itu, tak jarang ketika saya bertanya
kepada para guru dan orangtua di setiap sekolah, hampir lebih dari 95% warga
sekolah tak memahami visi dan misi sekolah mereka.
Selain visi dan misi sekolah yang
biasanya menggambarkan karakter dasar sebuah sekolah, maka ada dua ciri lain
dari budaya sekolah yang berkualitas. Pertama, lihatlah apakah sekolah
tersebut juga memiliki mekanisme penilaian yang dilakukan oleh para siswa
mereka sendiri (student self-evaluation).
Dalam buku yang lumayan lawas karya William Glasser yang berjudul The Quality School: Managing Students
without Coercion (1992), kemampuan leadership
kepala sekolah, guru, dan orangtua dalam memberikan kepercayaan terhadap
siswa dan anak-anak mereka untuk mengevaluasi proses belajar mengajar yang
mereka lakukan ialah ciri dari budaya sekolah yang berkualitas.
Selain itu, ketiadaan pemaksaan (coercion) terhadap siswa dalam proses
belajar mengajar ialah ciri yang juga melekat dari sebuah budaya sekolah. Pemaksaan
dapat berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan ini bisa berupa kebijakan
yang tidak menyenangkan siswa untuk belajar, seperti praktik kekerasan guru
terhadap siswa dalam proses belajar mengajar yang lebih dominan penugasan
daripada memberikan kesempatan siswa untuk belajar secara mandiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar