Beras
Bandung Mawardi ; Esais
|
KORAN
TEMPO, 26 Februari 2015
Di Padang, pada 1942, Sukarno
bercakap dengan para pejabat militer Jepang. Sukarno sadar bahwa Jepang
memerlukan kontribusi para tokoh tenar untuk turut memenangi perang.
Percakapan mencapai kesepakatan. Selebrasi kesepakatan dibuktikan dengan
makan bersama. Sukiyaki disajikan di atas meja. Sukarno mengaku, “Baru
pertama kali itu saya mencicipinya, dan menurut saya enak sekali.” Setelah
pesta kecil, Sukarno pulang diantar menggunakan mobil Buick berwarna hitam.
Sekian jam berlalu. Sukarno sadar, ada kompensasi dari sukiyaki dan Buick.
Pejabat Jepang menginginkan Sukarno sebagai juru penerang bagi penduduk di
Padang, yakni mengusahakan agar mereka mau memasok beras kepada Jepang (Lambert Giebels, 2001).
Beras sedang langka. Penduduk
diwajibkan menyetor beras ke Jepang dengan dalih perang. Para tentara
memerlukan beras agar tangguh saat berperang meski penduduk merintih menahan
lapar. Episode awal kelicikan itu memberi sengatan atas kehormatan dan janji
Sukarno untuk mengentaskan Indonesia dari kolonialisme. Beras pun menjadi
cerita besar selama pendudukan Jepang. Penduduk menanggung lapar akibat
ketiadaan beras. Mereka nekat makan bonggol pisang. Beras telah menjadi tema
dilematis dan menentukan alur politik kebangsaan.
Sukarno terus berurusan dengan
beras. Pada 1946, India menanggung krisis pangan. Jutaan orang kelaparan.
Sukarno dan para pemimpin bangsa memilih menjalankan “politik beras”. Rakyat
diajak mengumpulkan beras demi menumpas kelaparan di India. Tindakan
Indonesia mencengangkan dan berefek politis. Kehormatan Indonesia mendapat
pengakuan dari pelbagai negara. Indonesia dianggap sebagai negara-bangsa yang
sedang menjalankan politik atau diplomasi secara beradab.
Tahun demi tahun berlalu. Pada
masa 1960-an, Sukarno tak sanggup menjamin ketersediaan beras bagi jutaan
orang. Kelaparan merapuhkan kekuasaan. Sukarno terus rajin berpidato agar
revolusi terus bergerak. Beras justru “tercecer” sebagai bukti keberhasilan
revolusi. Taufiq Ismail memberi sindiran melalui gubahan Sjair Orang Lapar
(1964), mengisahkan kelaparan dan kematian: Lapar di Gunungkidul/ Majat
dipanggang kemarau/ Berdjadjar masuk kubur/ Kauulang djua. Beras belum
berkelimpahan. Penguasa masih gagal mewujudkan Indonesia makmur dan
sejahtera.
Beras tetap penentu kekuasaan.
Soeharto tampil sebagai penguasa bercap Orde Baru, bermaksud memutus sejarah
lapar di Indonesia. Sejak 1967, Soeharto bertekad mengadakan swasembada
pangan alias swasembada beras. Indonesia harus berhenti menjadi negara
pengimpor beras. Indonesia sebagai negara agraris tak elok menggantungkan
nasib pada produksi beras dari negara-negara asing. Hamparan sawah mesti
dikerjakan demi keberlimpahan beras. Soeharto mengaku sukses mewujudkan
swasembada beras pada 1984. Mitos kekuasaan pun membesar.
Sekarang, harga beras mahal akibat
ketidakserempakan panen raya dan kekisruhan sistem pasar. Politik beras mulai
mengandung tanda seru saat Joko Widodo menjanjikan swasembada pangan. Beras
tetap dianggap penentu martabat kekuasaan. Barangkali Joko Widodo juga perlu
mengurusi beras, mengacu ke amanat kultural yang terkandung dalam
cerita-cerita Dewi Sri. Beras tak usah terlalu politis. Keinsafan kultural
perlu diajukan agar Joko Widodo tak terlalu menjalankan swasembada sebagai
aksi politik: ambisius dan imperatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar