Tantangan
Gerakan “Online” Masyarakat Adat
Firdaus Cahyadi ; Direktur Informasi dan Komunikasi
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
|
KOMPAS,
26 Februari 2015
Tumbangnya rezim Orde Baru menjadi berkah bagi masyarakat
adat Nusantara yang sudah lama tertindas dengan berbagai kebijakan pemerintah
atas nama pembangunan, termasuk labelisasi istilah alias stigma untuk
memperlancar pelaksanaan proyek-proyek. Tidak mengherankan apabila masyarakat
adat mempertahankan tanah leluhurnya pun tak mampu.
Istilah yang merupakan stigma negatif bagi keberadaan
masyarakat adat, di antaranya, adalah masyarakat tertinggal, masyarakat
pedalaman, masyarakat tradisional, dan suku primitif. Istilah-istilah itu
merupakan ”stempel” yang sarat dengan tuduhan diskriminatif dan melecehkan.
Intinya, rezim Orde Baru menganggap tidak ada masyarakat adat di Indonesia.
Media pun, karena terberangus kebebasannya, menjadi relatif tidak kritis.
Kini Orde Baru telah tumbang. Kebebasan pers sudah dibuka
secara lebar. Media massa arus utama diharapkan menjadi ujung tombak yang
mampu memberikan informasi yang berimbang mengenai keberadaan masyarakat adat
di Indonesia. Namun, dalam kenyataannya, sebagian media massa di Indonesia
belum memiliki kepekaan terhadap isu-isu masyarakat adat.
Sebuah stasiun televisi di Jakarta, misalnya, pernah
menayangkan acara dengan judul Primitive Runaway. Acara itu menempatkan
interaksi yang terjadi antara selebritas dan masyarakat adat. Sang selebritas
ditempatkan dalam posisi yang tinggi, sementara masyarakat adat ditempatkan
dalam posisi yang rendah. Acara itu kemudian mendapat protes keras dari
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan berbagai elemen masyarakat
lainnya.
Tidak hanya di televisi. Stigma negatif masyarakat adat
juga muncul di media massa cetak dan online. Pemberitaan negatif media-media
massa besar terhadap masyarakat adat memang perlu dikritisi. Namun, di sisi
lain, pemberitaan-pemberitaan negatif yang muncul terkait dengan masyarakat
adat di media-media massa Jakarta dan jaringannya tidak bisa dilepaskan dari
struktur media di Indonesia.
Berpusatnya media massa di Jakarta membuat pemberitaan
mengenai masyarakat adat yang berada di luar Jakarta, bahkan Jawa, menjadi
bias Jakarta. Gaya hidup penduduk Jakarta menjadi acuan dalam melihat
kehidupan masyarakat adat. Akibatnya, peliputan mengenai masyarakat adat yang
tinggal di luar Jakarta cenderung negatif.
Di tengah situasi seperti itu, masyarakat adat mulai
menggeliat. Masyarakat adat menyadari bahwa media arus utama memang berperan
penting, tetapi masyarakat adat tidak boleh bergantung pada media massa arus
utama.
Komunitas Masyarakat Adat butuh media alternatif, seperti
radio komunitas, buletin, Facebook, Twitter, dan blog, karena ini jalan bagi
mereka menyampaikan apa yang mereka hadapi. Gerakan sosial di internet bisa
mendorong perubahan ke arah yang lebih baik.
Sebagian aktivis masyarakat adat di berbagai penjuru
Nusantara pun mulai membangun blog, bahkan situs web. Grup-grup di Facebook
terkait dengan masyarakat adat pun mulai bermunculan. Petisi online terkait
dengan perjuangan masyarakat adat pun bermunculan di Change.org. Semua media
online tersebut menyuarakan perjuangan masyarakat adat yang sering kali tidak
mendapatkan ruang di media massa.
Tantangan bermedia
Di tengah geliat masyarakat adat bermedia tersebut, ada
beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh aktivis masyarakat adat. Pertama,
masih timpangnya kesenjangan pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan
informatika (telematika) antara Jawa dan luar Jawa. Sementara sebagian besar
masyarakat adat Nusantara berada di luar Jawa.
Wilayah Jawa juga merupakan wilayah desa penerima sinyal
seluler terbanyak dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Tak heran
pula pada tahun 2008 kepemilikan telepon seluler (81,57 persen) berada di
wilayah Jawa dan Sumatera.
Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun
2010 menyebutkan, sebanyak 65,2 persen infrastruktur backbone serat optik
terkonsentrasi di Jawa, kemudian diikuti Sumatera (20,31 persen) dan
Kalimantan (6,13 persen). Wilayah Indonesia timur (Nusa Tenggara, Maluku, dan
Papua) belum terjangkau infrastruktur ini. Kesenjangan pembangunan
infrastruktur ini kendala utama bagi masyarakat adat untuk mengekspresikan
diri dan menyuarakan perjuangan mereka di ranah online.
Kedua, terkait dengan kapasitas aktivis masyarakat adat
memanfaatkan media online tersebut secara optimal. Mengelola media yang
berbasiskan internet (online) berbeda dengan mengelola media yang berbasiskan
cetak. Perlu peningkatan kapasitas bagi aktivis masyarakat adat dalam
mengelola media berbasiskan internet.
Selain pengetahuan dan keterampilan secara teknis dalam
memanfaatkan internet, masyarakat adat perlu dibekali sikap yang proporsional
dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara benar.
Bagaimanapun, internet seperti dua sisi mata uang. Satu sisi dapat
meningkatkan produktivitas, tetapi di sisi lain justru menghambat
produktivitas dengan menempatkan penggunanya hanya sebagai pasar. Dengan kata
lain, penggunaan internet harus membuat aktivis masyarakat adat lebih
produktif dalam memproduksi konten lokal.
Singkat kata, ke depan, masyarakat adat harus mampu
mengelola media yang dimilikinya dengan memanfaatkan perkembangan teknologi
informasi yang pesat. Selain itu, negara harus pula memenuhi kewajibannya
untuk membangun infrastruktur telematika di seluruh Nusantara sehingga tidak
terpusat hanya di Jawa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar