UMKM
dan Perekonomian Nasional
Jahja Setiaatmadja ; Presiden Direktur PT Bank
Central Asia Tbk (BCA)
|
KORAN
SINDO, 24 Februari 2015
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2008 tentang
UMKM, diketahui definisi usaha skala mikro, kecil, dan menengah maksimal
memiliki kekayaan Rp10 miliar dengan hasil penjualan Rp50 miliar.
Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan,
UMKM di Indonesia jumlahnya lebih dari 90% total pengusaha. Kendati secara
persentase jumlah UMKM di Indonesia besar, jika dilihat dari peredaran
uangnya relatif tidak besar. Tidak heran kalau persaingan bank dalam
memperebutkan ”kue” di sektor ini sudah cukup ketat.
Perkembangan usaha sektor UMKM cenderung berkaitan dengan
pasang-surut ekonomi nasional. Jika kondisi ekonomi sedang booming,
perkembangan UMKM juga seperti itu. Begitu pula sebaliknya. Berdasarkan
pengamatan saya, saat ini ada dua bentuk UMKM. Pertama, UMKM dalam bentuk
stand alone. Kedua, UMKM yang memiliki linkage dengan korporasi.
Kedua bentuk UMKM itu memiliki kelebihan dan kelemahan
masing-masing. Pada bentuk pertama, pelaku usaha bergerak sendiri sesuai
dengan pengalaman, passion, dan keinginan berdasarkan peluang tanpa memiliki
kaitan dengan korporasi. Kelebihannya, pelaku usaha bisa berusaha dengan
bebas. Hanya, UMKM bentuk ini cenderung rawan konflik internal.
Banyak terjadi kegagalan bisnis bermula dari masalah
keluarga, seperti perbedaan kepentingan, di samping memang karena adanya
kegagalan dari bisnis itu sendiri. Adapun UMKM bentuk linkage biasanya
memiliki keterkaitan dengan korporasi, seperti sebagai agen, subagen,
retailer, dan sebagainya. Jika dilihat dari historis, UMKM yang linkage cenderung
lebih mapan dan mempunyai kepastian.
Ini karena bila bisnis sedang sulit ada kecenderungan
ditolong oleh korporasi. Biasanya langkah tersebut dilakukan korporasi untuk
menjamin keberlangsungan usaha di masa mendatang. Tapi sayangnya, kedua jenis
UMKM itu terkadang tidak bisa diukur kinerjanya. Artinya belum ada jaminan
dalam beberapa tahun ke depan perusahaannya tetap eksis.
Padahal, hal itu menjadi salah satu keharusan bagi UMKM
agar mendapatkan pinjaman dari perbankan. Sebagian besar perbankan memberikan
kredit dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan. Perkembangan UMKM tidak
bisa jika hanya dilakukan sendiri. UMKM jangan hanya dilihat dari sudut
pandang UMKM-nya. UMKM itu merupakan kepanjangan tangan induknya. Harus ada
induknya, yakni korporasi yang berfungsi sebagai manufaktur.
Nah, intinya itu. Harus ada investor-investor yang mulai
masuk ke dunia bisnis menciptakan suatu produksi tertentu. Apakah itu
kebutuhan sehari-hari, makanan, hiburan, atau jasa. Lalu, dikembangkan oleh
UMKM. Perkembangan UMKM dan daya beli itu seperti ayam dan telur.
UMKM tidak akan berkembang cepat jika daya beli tidak ada.
Itulah sebabnya, peran pemerintah untuk mengeluarkan berbagai kebijakan yang
bisa menciptakan daya beli, sangat dibutuhkan. Kalau daya beli tidak ada,
siapa yang mau membeli barang atau jasa UMKM?
Situasi dan kondisi itu biasanya terjadi di suatu daerah
terpencil yang income masyarakatnya relatif kecil. Masyarakat cenderung
kesulitan memulai suatu usaha karena usaha yang akan dijalankan tidak memiliki
pasar yang jelas. Pertanyaannya, bagaimana memiliki pasar kalau income
masyarakatnya tidak besar?
Masuknya investor di suatu daerah, baik itu membangun
pabrik maupun membuka perkebunan, akan menciptakan lapangan pekerjaan
sehingga masyarakat memiliki kesempatan untuk menaikkan pendapatannya.
Ujung-ujungnya, spending money yang diciptakan bisa menciptakan demand.
Istilahnya, kalau ada permintaan harus ada supply .
UMKM-lah yang akan menjalankan fungsi supply tersebut. Jadi tidak bisa
tibatiba ada UMKM yang berkembang hanya dengan memberikan modal. Kalau
dikasih modal terus tidak ada yang membeli bagaimana? Kemudian apa yang mau
dijual? Itulah sebabnya harus dimulai dengan menciptakan pendapatan
masyarakat.
Di daerah yang sudah matang seperti DKI Jakarta, mungkin
pelaku usaha tidak lagi memikirkan permintaan karena demand- nya sudah ada.
Tinggal bagaimana menciptakan pengusaha-pengusaha atau
enterpreneur-enterpreneur baru dan tangguh. Di DKI Jakarta perlu menciptakan
pengusaha atau entrepreneur yang tangguh karena di Jakarta sudah banyak
terdapat sentra usaha.
Jika menciptakan pengusaha baru, ibarat anak kecil melawan
raksasa. Misalnya di Tanah Abang. Di sana pedagang-pedagangnya sudah hebat.
Kalau pedagang masuk ke Tanah Abang sebagai pendatang baru, mungkin akan
cukup kesulitan untuk dapat bersaing dengan pedagang yang sudah ada.
Menciptakan wirausaha baru di Jakarta tidak semudah teori.
Perlu pendalaman. Misalkan bagaimana menarik pelanggan, menciptakan produk
yang lebih menarik dan sebagainya. Itu kan tidak mudah, sehingga yang
berperan bukan hanya memiliki modal, lalu usaha jalan.
Sewaktu saya menjadi pembicara di Munas Hipmi di Bandung,
beberapa waktu lalu, saya sampaikan bahwa menjadi pelaku usaha bukanlah
impian utama pelajar ketika kelak dewasa. Sebagian besar pelajar di Indonesia
berharap kelak ketika dewasa menjadi guru, PNS, pegawai swasta ataupun
anggota TNI dan Polri.
Sebagian dari mereka mengubah haluan menjadi wirausaha
karena tidak diterima setelah melamar kerja di mana-mana. Bukan karena
kebanggaan menjadi wirausaha. Mungkin perlu dipikirkan untuk mulai
meningkatkan peran sektor pendidikan demi mengubah mindset generasi muda
terhadap wirausaha. Menjadi pelaku wirausaha jauh membanggakan daripada
bekerja dengan orang dan tentunya memiliki prospek luar biasa jika ditekuni
dengan baik.
Jika itu bisa dilakukan, pastilah akan semakin banyak
penduduk Indonesia yang menjadi wirausaha dan memiliki UMKM. Hal itu bisa
membawa perekonomian Indonesia jauh lebih baik daripada saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar