Alih Teknologi yang Seolah-olah
Etty S Suhardo ; Dosen Hukum Dagang
Fakultas Hukum,
Ketua Sentra Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 26 Februari 2015
MUHIBAH
Presiden Jokowi atas undangan Perdana Menteri Malaysia Mohamad Najib Razak
membuahkan kesepakatan memasukkan Proton, mobil produk negeri jiran tersebut
ke Indonesia. Kerja sama tersebut masih tahap awal, dalam arti kedua pihak,
yaitu PT Adiperkasa Citra Lestari (Indonesia) dan Proton Holdings Berhad (Malaysia)
masih harus mempelajari dan melakukan studi kelayakan.
Masyarakat
terkejut karena menangkap kesan Proton akan menjadi mobil nasional. Lalu akan
di kemanakan mobil Esemka, yang murni karya anak bangsa dari Solo semasa
Jokowi menjabat Wali Kota Solo. Adapun PM Mohamad Najib Razak pada pernyataan
persnya berharap Proton bisa menjadi mobil resmi ASEAN.
Banyak
muncul pro dan kontra terkait kerja sama tersebut, di antaranya
mempertanyakan kenapa mesti bekerja sama dengan Malaysia? Tidakkah sekalian
dengan Jepang, atau minimal Korea, yang memiliki teknologi lebih maju dan
negara itu diakui menguasai pasar otomotif dunia? Sesungguhnya kita tidak
perlu risau mengingat bisnis itu kerja sama biasa. Masing-masing pihak masih
menjajaki lewat MoU untuk studi kelayakan tiga bulan ke depan.
Bahkan
kerja sama itu merupakan kesempatan baik bagi negeri ini untuk mempererat
hubungan industri dengan negeri jiran. Kita juga tak bisa memungkiri fakta
saat ini relatif tak mudah memasarkan mobil Proton di Indonesia mengingat
sudah tersedia banyak pilihan sehingga yang berlaku hukum ekonomi.
Sebagian
masyarakat tentu ingat beberapa merek motor buatan Tiongkok, yang mirip Honda
buatan Jepang? Awalnya, penjualan motor Tiongkok (dulu China sehingga kerap
disebut mocin) laris manis
mengingat berharga murah. Namun setelah timbul masalah pada beberapa produk,
termasuk kesulitan mencari suku cadang, lama-laun masyarakat meninggalkan
produk itu dan kembali pada merek lama.
Memang
ada pendapat bahwa lewat kerja sama tersebut akan terjadi alih teknologi.
Namun andai hanya memasarkan Proton ke Indonesia, mana mungkin ada alih
teknologi? Kalaupun ada kerja sama produksi, pasti banyak sangkut pautnya
dengan kepemilikan hak kekayaan intelektual (HKI) berupa ciptaan, merek,
paten (teknologi), desain industri, dan sebagainya.
Semua
itu terkait dengan rahasia dagang yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Jadi,
produk yang dikerjasamakan tidak terlepas dari kepemilikan hak kekayaan
intelektual. Berkembangnya makna karya-karya intelektual dalam aspek bisnis
mengindikasikan dinamika ekonomi, yaitu potensialnya hasil intelektualitas
dari rasa, karsa, dan cipta manusia.
Khusus
untuk mobil yang mengandung bermacam jenis paten (teknologi), biasanya kerja
sama produksi melalui kontrak lisensi. Artinya, menyangkut jangka waktu izin
yang diberikan pemilik teknologi kepada pengguna teknologi, dan ada keharusan
membayar sejumlah royalti.
Penerapan Teknologi
Kontrak
lisensi juga selalu menyebutkan secara rinci teknologi yang dipakai. Dalam
HKI, spesifikasi teknologi terdiri atas hardware, software, dan organizeware,
ketiganya merupakan satu kesatuan. Terkait hardware misalnya, sepanjang
produk itu bisa dilihat secara fisik (show
how), orang Indonesia pasti bisa membuatnya.
’’Perajin’’kita
sangat pandai berkreasi membuat apa pun. Namun bila sudah menyangkut software
berupa know how, pasti mempunyai
kandungan iptek yang kompleks. Belum tentu pemilik teknologi ’’memberikan
begitu saja’’ kepada kita. Adapun organizeware
adalah upaya penyelarasan peranti keras dengan peranti lunak supaya bisa
diterapkan pada sebuah produk fisik, sesuai dengan kesepakatan.
Dalam
konteks itu, ada tantangan mengingat dari aspek teknologi kita belum tentu
bisa meniru know how-nya. Dicuri
sekalipun tidak bisa. Bagaimana mungkin mencuri pengetahuan tentang teknologi
dalam sebuah produk. Pasti pemilik teknologi akan memproteksi temuan itu
sedemikian rupa. Bahkan menempatkan sejumlah ahli untuk mengawasi teknologi
yang telah dilisensikan itu.
Salah
satu poin kontrak lisensi biasanya mengandung kalimat ’’setelah sekian tahun
atau sesuai dengan perjanjian, akan ada alih teknologi’’. Kata ’’akan’’ secara
normatif bisa dilaksanakan kapan pun. Supaya kita tidak ’’terbuai’’,
sebaiknya dalam kontrak perlu dijelaskan secara rinci teknologi mana saja
yang bakal dialihkan.
Pengalaman
empiris selama ini alih teknologi ternyata ’’alih teknologi yang
seolah-olah’’ mengingat yang terjadi hanyalah penerapan teknologi, dan
bukannya alih teknologi. Karena itu, lebih bijak kita menunggu dulu kelanjutan
kerja sama bisnis tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar