Rapuhnya Pilar Negara
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 27 Februari 2015
Ibarat
membangun rumah besar, Indonesia resmi didirikan dan diakui dunia sejak
Agustus 1945. Mengingat sedemikian luas wilayah dan besar jumlah penduduknya,
tiang-tiang atau pilar yang menyangganya mesti kokoh.
Di
antaranya adalah pilar angkatan bersenjata yang bertugas menjaga keamanan dan
keutuhan negeri. Dari sisi ini jelas kita kedodoran. Orang luar yang berniat
jahat atau ingin mencuri kekayaan alam kita bisa keluar-masuk dari pintu mana
saja. Berbagai penyelundupan narkoba, perdagangan gelap, dan aktor-aktor
terorisme-radikalisme mudah luput dari pengawasan dan pencegahan.
Lemahnya
pilar ini saja sudah merembet ke mana-mana sehingga negara mengalami kerugian
dan kegaduhan sangat besar. Ibarat seorang petani yang memiliki sawah amat
luas dan tidak sanggup mengurus dan merawatnya, maka maling-maling dengan
leluasa memungut hasil kebunnya atau bahkan menduduki tanahnya. Siapa yang
mesti disalahkan?
Pilar
lain yang juga amat vital adalah bidang pendidikan yang bertugas menumbuhkan
dan mengantarkan warga negara agar cerdas, terampil, berkarakter serta
mencintai bangsa, negara dan masyarakatnya. Dengan demikian, lewat pilar
pendidikan masa depan bangsa dan negara dititipkan. Bagaimana nasib masa
depan bangsa ini dipercayakan dan dipertaruhkan pada pilar pendidikan.
Tapi,
lagil-agi, cerita pendidikan kita sangat
mengecewakan baik di tingkat menengah maupun perguruan tinggi. Indikatornya
sederhana saja. Korelasi antara pendidikan dan kemajuan ekonomi, kompetisi
keilmuan dalam percaturan global serta perilaku sosial, politik dan birokrasi
masih jauh dari yang diharapkan.
Setiap
tahun negara mengeluarkan anggaran paling besar untuk sektor pendidikan, dari
tahun ke tahun, namun produk yang dihasilkan belum mampu bersaing dengan
negara-negara lain yang lebih kecil populasi dan kekayaan alam serta
penduduknya. Berarti ada masalah sangat serius dengan pilar pendidikan bangsa
ini.
Begitu
banyak faktor nonpendidikan yang telah merusak dan menghambat agenda
penguatan pilar pendidikan. Lemahnya pilar pendidikan juga berimplikasi pada
lemahnya pilar ekonomi bangsa. Meski Indonesia memiliki sumber daya alam dan
penduduk yang melimpah, kini bangsa ini menjadi pangsa-pasar hasil teknologi
asing yang menggiurkan. Sejak dari peralatan anak sekolah, peralatan rumah
tangga, kantor dan automotif hampir semuanya didominasi produk asing.
Bahkan
juga hidangan di atas meja makan dan peralatan mandi kebanyakan produk asing.
Artinya, aspek industri manufaktur untuk mengelola dan meningkatkan harga
jual yang semua bahan mentahnya kita punya, tapi ternyata mesti melalui
tangan asing yang melakukannya, lalu kita jadi pembelinya. Termasuk juga
bahan bakar mobil. Ini realitas yang menyedihkan dan sudah lama berlangsung.
Kapan akan berakhir?
Sebagai
negara hukum yang menerapkan sistem demokrasi, partai politik juga merupakan
pilar bernegara yang mesti dikembangkan agar sehat dan kuat. Sebagai negara
demokrasi, pemerintahan tidak mungkin terbentuk dan berjalan tanpa adanya
multipartai politik peserta pemilu secara berkala. Parpol dan pemilu
merupakan lembaga mekanisme untuk memperbarui kontrak antara rakyat dan
negara.
Rakyat
menyerahkan kedaulatannya lewat parpol untuk diteruskan pada negara, lalu
negara membayar kembali dengan memberi perlindungan dan kesejahteraan kepada
warganya melalui pemerintahan yang terbentuk. Pemerintah itu asalnya dari
rakyat, mengemban amanat rakyat, namun bekerja atas nama negara dan digaji
oleh negara. Dalam kinerjanya, pemerintah diawasi oleh wakil rakyat yang
terhimpun dalam lembaga DPR.
Jadi,
secara teoretis pilar bernegara itu sudah lengkap dan tertata rapi. Di
samping yang disebut di atas, masih terdapat pilar lain berupa lembaga tinggi
negara yang secara teoretis berperan memperkukuh serta memajukan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Tetapi, pertanyaan, keluhan dan gugatan yang selalu
muncul adalah, mengapa kondisi bangsa, masyarakat dan pemerintahan kita tidak
enak dilihat, didengar dan diikuti sepak terjangnya?
Mengapa
kemiskinan dan pelanggaran hukum serta etika sosial mudah sekali dijumpai
dimana-mana? Bahkan sebagian rakyat menilai telah terjadi pembajakan dan
pengkhianatan kedaulatan dan mandat rakyat yang telah diberikan kepada para
wakilnya dan aparat negara. Berbagai pilar bernegara tadi yang sekarang
paling heboh dan menimbulkan kekecewaan rakyat adalah pilar partai politik
dengan berbagai implikasi dan turunannya.
Di
negara yang telah mapan dan kokoh pilar-pilarnya, yang terjadi adalah pilar
tadi saling menyangga dan memperkuat yang lain, tak ubahnya bangunan rumah
yang masing-masing tiang saling menyangga. Tetapi jika ada tiang utama yang
keropos, bengkok dan patah, maka akan sangat membahayakan dan mengganggu
tiang yang lain. Bebannya menjadi berat dan bisa membuat rumah ambruk.
Demikianlah,
yang mengemuka di negeri ini pilar politik malang-melintang membuat repot pilar
lain. Kinerja dunia pendidikan, keamanan, ekonomi, infrastruktur diintervensi
oleh tangan-tangan politik sehingga prinsip akuntabilitas dan profesionalisme
tidak berjalan. Padahal mekanisme pelimpahan kedaulatan rakyat pada negara
dilakukan melalui medium parpol peserta pemilu.
Di
sini terjadi ironi dan deviasi yang dilakukan oleh dunia parpol yang memikul
mandat dan kepercayaan rakyat untuk membangun dan memajukan kehidupan
bernegara, yang terjadi adalah perusakan kaidah-kaidah hukum dan etika
bernegara yang merupakan produkdari demokrasi dengan aktor utamanya parpol.
Melihat
parpol yang sakit, maka pilar lain mesti berdiri kokoh dan berani melawan
tangan-tangan politik yang hendak memperlemah pilar lain. Jajaran eksekutif
meskipun awalnya utusan dan usulan parpol, begitu duduk sebagai aparat
pemerintah mereka adalah mengemban amanat rakyat yangdilimpahkanpada negara,
bukan lagi pekerja dan anak buah partai.
Jumlah
rakyat jauh lebih banyak ketimbang elite-elite pimpinan parpol. Mereka ini
yang memiliki kedaulatan primer dan ibu kandung yang melahirkan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar