Andai
Australia Melakukan Embargo
Kusumo Dwiyanto ; Forum Komunikasi Profesor
Riset Kementerian Pertanian
|
KOMPAS,
27 Februari 2015
Pemerintah Australia tidak senang dengan rencana hukuman
mati dua gembong narkoba Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, di
Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan. Sikap itu diekspresikan dengan
pernyataan kurang terpuji Perdana Menteri Australia Tony Abbott. Ia
mengungkit-ungkit pemberian bantuan saat bencana tsunami menerjang wilayah
Aceh 10 tahun lalu. Pernyataan yang tidak elok tersebut membuat rakyat Aceh
tersinggung.
Selain itu, pemerintah dan masyarakat Australia juga
melakukan kampanye ”boikot Bali” sebagai bentuk penolakan terhadap rencana
eksekusi mati dua warganya yang tertangkap sebagai pengedar narkoba. Akibat
aksi tersebut, sejumlah agen perjalanan di Australia melaporkan adanya
penurunan penjualan tiket pesawat ke Bali. Apakah hal ini berarti Australia
lebih melindungi gembong narkoba daripada menjaga hubungan dengan negara
tetangga yang semestinya saling menghormati.
Politik dan dagang sapi
Dalam bidang perdagangan, Pemerintah Australia pada 2011
juga pernah melakukan atau mengancam melakukan embargo ekspor sapi hidup ke
Indonesia. Alasannya cukup klasik: penanganan pemotongan sapi di Indonesia
dianggap tidak memerhatikan kesejahteraan hewan (animal welfare). Rekayasa
video tentang tata cara pemotongan sapi di beberapa tempat pemotongan hewan
yang diwartakan televisi Australia telah membuat sebagian masyarakat marah
dan mendesak pemerintahnya tidak mengekspor sapi hidup.
Padahal, di balik itu semua, ada keinginan yang mungkin
tersembunyi. Ekspor sapi hidup ke Indonesia dianggap merugikan karena
Australia tidak dapat lagi mengekspor sapi tua/afkir yang bobotnya melebihi
ketetapan Pemerintah Indonesia (di atas 350 kg). Dengan embargo sapi hidup,
mereka berharap hanya akan mengekspor daging dan mungkin sebagian besar akan
dicampur dengan daging sapi tua yang tidak mereka konsumsi.
Namun, seperti kita ketahui, antara peternak Australia,
para eksportir-importir, dan pelaku bisnis sapi di kedua negara hampir tidak
terganggu oleh isu-isu politik. Mereka justru selalu berupaya untuk saling
mendukung dan bekerja secara profesional.
Indonesia sebagai pasar sapi bakalan bagi peternak sapi di
bagian utara Australia adalah mitra dagang istimewa dan penting. Ketika musim
kering tahun lalu, misalnya, para peternak terpaksa membunuh ribuan sapi
mereka yang kekurangan pakan dan air. Bahkan, beberapa peternak ada yang
berusaha bunuh diri karena tidak bisa memberi makan ternaknya dan tidak dapat
menjual sapi-sapinya yang kelaparan ke Indonesia.
Politik dan dagang sapi di antara kedua negara
kadang-kadang sulit dipisahkan. Bahkan, di dalam negeri, kita pun sering
menggunakan istilah politik dagang sapi. Namun, di balik itu semua, kita
harus menjadikan hal tersebut di atas sebagai momentum untuk meyakinkan diri
kita bahwa mewujudkan kedaulatan dan kemandirian untuk memproduksi daging
sapi adalah suatu keharusan. Kapan waktunya, bergantung pada kemauan dan
peluang yang memungkinkan.
Saat ini kita terbuai pasokan daging dan sapi bakalan dari
Australia. Puluhan triliun rupiah devisa kita terkuras setiap tahun dan hal
tersebut sudah berjalan puluhan tahun.
Dengan demikian, jumlah devisa kita yang terkuras dibandingkan dengan bantuan
mereka ketika membantu Aceh ketika terkena tsunami sangatlah tidak sebanding.
Pertanyaan selanjutnya, mungkinkah kita mewujudkan
swasembada daging sapi secara berkelanjutan seandainya Australia melakukan
embargo? Pertanyaan ini selalu menjadi bahan diskusi dan perdebatan sejak
10-15 tahun lalu. Pencanangan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2000-2005
diganti dengan PSDS-2010 on trend, kemudian diganti jadi PSDSK-2015, dan
ternyata tahun ini tampaknya juga belum dapat diwujudkan. Adakah atau apakah
yang salah?
Data populasi ternyata menjadi salah satu hal yang selalu
diperdebatkan karena akan menyangkut kebijakan kuota impor. Ketika impor
daging dan sapi hidup berlebihan dan mencapai puncaknya pada 2010, harga sapi
di dalam negeri jatuh dan peternak lokal banyak yang bangkrut. Sebaliknya,
ketika mendadak impor dibatasi, mengakibatkan terjadi pengurasan sapi lokal
dan banyak sapi betina produktif dan sapi-sapi muda/kecil yang dipotong
secara berlebihan. Akibatnya, populasi sapi turun secara drastis di beberapa
sentra produsen sapi, seperti di Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, dan Jawa
Tengah.
Upaya apa saja yang masih mungkin dilakukan untuk
mengatasi hal tersebut? Sudah saatnya kita konsentrasi pada upaya peningkatan
populasi sapi secara nasional walaupun untuk beberapa wilayah justru
dilakukan pembatasan karena kurang pakan. Beberapa wilayah ”gudang ternak” di
Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan Jawa saat ini sangat
padat, tetapi sering mengalami kesulitan pakan saat kemarau.
Di wilayah ini populasi sapi tidak harus ditingkatkan,
bahkan jika perlu justru dikurangi sesuai daya tampungnya. Sapi betina
produktif yang sering dipotong di daerah ini dapat didistribusikan ke wilayah
lain yang berlimpah pakan, seperti daerah perkebunan kelapa sawit di
Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Relokasi sapi ini harus dilakukan dengan
pendekatan bisnis, dan pemerintah memfasilitasi dengan instrumen dan insentif
bagi pihak-pihak terkait.
Di wilayah ”gudang ternak”, sapi harus ditingkatkan
produktivitasnya dengan memanfaatkan sumber daya lokal secara optimum dan
didukung aplikasi teknologi tepat guna. Di antaranya dengan membangun feed
bank, melakukan feed enrichment, dan menerapkan feeding strategy yang tepat dengan dibarengi upaya mencegah dan
memberantas penyakit.
Integrasi sawit-sapi
Pengembangan sapi dengan sistem integrasi sawit-sapi
merupakan model yang paling efisien di dunia. Sebab, di kawasan ini tersedia
biomassa yang berlimpah. Jika pada tahap awal sapi disebarkan dengan tingkat
kepadatan satu sapi untuk setiap 2 hektar kebun kelapa sawit, dapat
dibayangkan berapa juta sapi yang dapat ditampung.
Sistem pemeliharaan dengan pendekatan zero waste ini jika dibarengi aplikasi teknologi yang tepat akan
menghasilkan sistem pemeliharaan sapi yang mendekati ”zero cost” dan daya
tampung akan meningkat menjadi 2 ekor per hektar. Beberapa kajian awal di
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur menunjukkan,
sistem integrasi sawit-sapi mampu mengurangi penggunaan pupuk kimia 15-20
persen dan meningkatkan produksi sawit 10-20 persen. Bahkan, kajian di
Bengkulu pada 2003 telah membuktikan, pekerja perkebunan sawit pendapatannya
meningkat sedikitnya 50 persen karena sapi. Dengan luas kebun kelapa sawit
saat ini sekitar 10 juta hektar, Indonesia akan menjadi produsen sapi
terkemuka dan paling efisien.
Ancaman kemungkinan embargo Australian harus dijadikan
momentum dalam melakukan penataan pembangunan peternakan sapi jangka panjang
ataupun jangka pendek.
Kerja sama yang sudah terbangun di antara pelaku usaha
perlu terus dijaga sekaligus untuk mencegah pengurasan sapi secara
berlebihan. Secara bertahap, populasi, produktivitas, dan produksi daging di
dalam negeri terus ditingkatkan dengan dukungan teknologi, program, dan
kebijakan yang tepat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar