Implikasi
Vonis Mati
Yasmi Adriansyah ; Kandidat PhD Australian National University Canberra Australia
|
REPUBLIKA,
21 Februari 2015
Rencana eksekusi terpidana
hukuman mati dua gembong `Bali Nine' asal Australia, Andrew Chan dan Myuran
Sukumaran, telah memanas kan hubungan RI-Australia. Di satu sisi, Pemerintah
Australia semakin agresif mengeluarkan pernyataan bernada keras, menuntut
Indonesia membatalkan eksekusi.
Pernyataan resmi Australia melalui PM Tony Abbott maupun Menlu Julie Bishop bervariasi. Dari boikot pariwisata, mengaitkan bantuan terhadap bencana tsunami, sampai kemungkinan terburuk pada hubungan diplomatik adalah berbagai ancaman Australia.
Di sisi lain,
Indonesia seolah tak kalah gertak. Dari Wapres Jusuf Kalla, Menlu Retno
Marsudi, sampai Jaksa Agung M Prasetyo, semua bersuara lantang. Secara umum,
argumentasi Indonesia adalah ini sepenuhnya proses penegakan hukum.
Karenanya, kepada pihak negara lain dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
sekalipun, diminta untuk tidak mengintervensi kedaulatan hukum Indonesia.
Melihat `perdebatan
tidak langsung' dari para elite pemerintahan kedua negara, sejatinya
argumentasi masing-masing pihak merupakan hal lumrah. Masing-masing memiliki
alasan logis. Lebih khusus bagi Australia, mereka akan berupaya seoptimal
mungkin guna menghentikan eksekusi mati. Hal ini dapat dilihat dari kacamata
empatik, yaitu bagaimana ketika Indonesia yang juga kerap berupaya
membebaskan para TKI terpidana hukuman mati, khu susnya di Arab Saudi dan
Malaysia.
Permasalahan utama
dari kasus hukuman mati Bali Nine ini adalah kemungkinan eskalasi yang
potensial memuncak dan berakhir pada rusaknya fundamental relasi bilateral.
Jika ini terjadi, kedua pihak pasti akan saling merugi dalam jangka panjang.
Pertanyaannya, bagaimanakah sikap terbaik kedua pihak agar perselisihan diplomatik
tidak semakin bereskalasi?
Saya berpandangan
bahwa jika Indonesia dan Australia tidak menginginkan dampak terburuk pada
hubungan diplomatik, para elite pemerintahan di kedua pihak agar bersikap
lebih berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan. Masing-masing diharapkan
lebih taktis mengelola pernyataan resmi, khususnya demi kepentingan yang
komprehensif dan jangka panjang.
Dari observasi media,
di satu sisi, pernyataan Pemerintah Australia yang bersifat ancaman
sesungguhnya tidak banyak menolong. Hal itu justru semakin memanaskan
situasi. Pemerintah Australia sebaiknya memahami sebagian publik Indonesia
sangat teguh mengusung nasionalisme. Apakah itu nasionalisme sempit atau
bukan, faktanya tidak sedikit pihak yang berpegang pada isme tersebut.
Karenanya, adanya pernyataan bernada intervensif atau bahkan ancaman justru
berpotensi kontraproduktif.
Bangsa Indonesia
seyogianya mengetahui bahwa Australia telah melakukan banyak hal positif bagi
Indonesia. Tidak terhitung banyaknya skema bantuan dan kerja sama Australia
terhadap Indonesia. Namun, sebagian rakyat Indonesia pun akan cepat gerah
jika rasa nasionalisme mereka terusik. Ingatan masa lalu, khususnya momen
pahit terkait lepasnya Timor-Timur dari Indonesia, akan selalu menyeruak.
Bahwa Australia dianggap berperan paling besar dalam momen itu. Ingatan ini,
yang sudah melekat di alam bawah sadar, masih melekat di banyak orang, termasuk
para elite politisi.
Di sisi lain, kepada
Pemerintah Indonesia, kita pun berharap pernyataan para elite dapat dikelola
lebih hati-hati. Pernyataan `polos' bahwa eksekusi terpidana mati adalah
domain hukum Indonesia sepenuhnya dan pihak asing tidak berhak mengintervensi
memang tidak salah. Namun, pernyataan ini seolah menihilkan adanya negara
lain yang berusaha membebaskan warganya, sebuah situasi yang nyatanya juga sering
dialami Indonesia.
Tentu akan lebih elok
(baca: diplomatis) jika Indonesia menyampaikan dapat memahami perasaan bangsa
Australia dan bangsa manapun yang warga negaranya akan dieksekusi. Namun,
kita mengharapkan pengertian bangsa lain alasan utama dari proses penegakan
hukum ini adanya kondisi `darurat narkoba' yang kini dialami Indonesia.
Terenggutnya nyawa generasi muda kita, yaitu berkisar 40 jiwa per hari atau
lebih dari 14.500 nyawa per tahun, dapat menjadi alasan utama.
Selebihnya, tidak
perlu komentar lain diluncurkan. Sebagai contoh, jika alasan eksekusi
terpidana menggunakan alasan hukum semata, nyatanya keputusan hukum para
hakim konstitusi tidak sepenuhnya bulat. Permohonan
judicial review atas hukuman mati
yang pernah dilakukan Todung Mulya Lubis dan mitra pada 2007 memang kalah di
Mahkamah Konstitusi. Namun, dari sembilan hakim MK, empat menyatakan dissenting
opinions.
Secara umum, para hakim berpendapat hukuman mati justru bertentangan dengan
UUD 1945, khususnya Pasal 28I mengenai hak hidup.
Dari sisi hukum
internasional, hukuman mati memang masih memberikan celah, yaitu Pasal 6
Kovenan Internasional 1996 mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Intinya,
ICCPR membolehkan suatu negara menerapkan hukuman mati. Namun, penerapannya
harus terbatas pada "kejahatan-kejahatan paling serius" (most serious crimes).
Celah inipun tidak
sepenuhnya diterima secara internasional. Pandangan HAM justru menafsirkan
kejahatan narkoba belum memenuhi ambang batas "kejahatan paling serius"
(Amnesty International 2015). Dari
sisi praktik internasional pun, setidaknya sudah 150 negara yang melarang
hukuman mati. Adapun negara-negara yang disebut sangat `aktif' melakukan hukuman
mati adalah Iran, Irak, dan Arab Saudi. Data AI mencatat sekitar 80 persen
dari ratusan kasus hukuman mati ada di negara-negara tersebut.
Sebagai penutup,
Indonesia memang dapat semakin menunjukkan jati diri sebagai bangsa dengan
bersikap tegas. Namun, penunjukan jati diri yang tidak dikelola dengan
hati-hati justru dekat kepada arogansi dan berpeluang menciptakan implikasi
diplomatik yang serius. Karenanya, kiranya semua pihak perlu secara cermat
dan hati-hati dalam mengelola pernyataan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar