Memimpin
dalam Krisis
Abdillah Toha ; Pemerhati Politik
|
KOMPAS,
25 Februari 2015
Pada pengujung 1962 di bulan Oktober, dunia nyaris jatuh
ke dalam perang nuklir yang dapat memusnahkan separuh penduduk dunia di
bagian utara bumi. John F Kennedy, presiden AS saat itu, dihadapkan pada
pilihan sulit menjawab tantangan Nikita Khrushchev, pemimpin Uni Soviet. Dari
beberapa pilihan keputusan, Kennedy memilih sikap tegas ultimatum mengebom
kapal Soviet yang membawa suplai senjata ke Kuba, tetapi sekaligus setuju
dengan tuntutan Khrushchev untuk menarik pertahanan misil AS di Turki. Dunia
diselamatkan dari keputusan itu.
Setelah Mao Zedong wafat tahun 1976, terjadi krisis sosial
dan ekonomi besar di Tiongkok sebagai akibat Revolusi Kebudayaan yang
memorakporandakan berbagai institusi di sana. Deng Xiaoping, yang muncul
kembali saat itu setelah beberapa lama tersingkirkan, mengambil langkah
berani menggeser para pendukung Revolusi Kebudayaan sehingga terbuka jalan
bagi suatu sistem ekonomi baru yang terbuka dan lebih rasional. Berkat
langkah itu, Tiongkok mulai saat itu mencapai kemajuan luar biasa sampai
sekarang.
Tidak jauh dari kita, Soeharto, pada masa krisis
pergantian Orde Lama ke Orde Baru, mengambil langkah-langkah jitu
menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutan. Sayangnya, karena terlalu lama
berada di kekuasaan, Soeharto makin lama makin otoriter sehingga akhirnya
nyaris membangkrutkan kembali negara dan menyebabkan kejatuhannya. Sejarah
banyak sekali memberikan riwayat tokoh terkemuka dunia, seperti Mahatma
Gandhi, Nelson Mandela, dan Sir Winston Churchill, yang dari mereka bisa
ditarik pelajaran berharga tentang bagaimana menghadapi sebuah krisis.
Sesungguhnya, ujian sebenarnya dari seorang pemimpin
adalah ketika terjadi krisis. Pada saat itu akan tampak apakah dia seorang
pemimpin sejati atau pemimpin yang dipaksakan. Dalam keadaan damai, pemimpin
berada di belakang, memberikan dorongan. Dalam keadaan krisis, dia harus
berada di barisan paling depan, menunjukkan arah dan membawa pengikutnya ke
jalan yang benar. Ada banyak prinsip
kepemimpinan yang harus diperhatikan oleh seorang pemimpin, termasuk oleh
pemimpin negara. Saya hanya akan
menyebutkan beberapa prinsip yang ada hubungannya dengan peristiwa
karut-marut Polri KPK belakangan ini.
Pertama, pemimpin harus setiap saat siap mengambil keputusan dengan segala
risikonya. Tidak mengambil keputusan atau menundanya sama dengan memutuskan.
Dua-duanya mengandung risiko. Guilty by commission atau guilty by omission.
Seorang pemimpin sejati lebih condong pada mengambil keputusan. Kedua, dalam sebuah krisis, waktu tak
berpihak kepada kita. Meski banyak faktor dan informasi serta masukan
dipertimbangkan, makin lamban keputusan kita, makin besar kemungkinan
keputusan itu menjadi tidak relevan dan tidak efektif karena masalah sudah
berkembang, dampaknya menjadi makin luas, dan variabel-variabel baru harus
diperhitungkan pengaruhnya.
Ketiga, pemimpin harus bisa membaca dan membedakan antara
gejala yang bersifat normal dengan gejala berbahaya yang dapat menjurus ke
krisis berkepanjangan dan lebih dalam jika dibiarkan. Keraguan bertindak
segera bisa berakibat pada situasi lebih rumit untuk ambil keputusan.
Keempat, dalam kehidupan politik, keputusan yang bersifat
kompromistis tidak diharamkan. Syaratnya, kompromi tidak boleh mengorbankan
prinsip utama penyelenggaraan negara yang benar sesuai tujuan bernegara yang
baik dan konstitusi yang disepakati bersama. Maslahat jangka panjang tidak
boleh dikorbankan untuk keuntungan jangka pendek. Kelima, setiap keputusan
harus diikuti dengan langkah nyata, pengawasan, dan review atas hasilnya.
Jika tidak mencapai sasaran yang dikehendaki, keputusan susulan harus segera
diambil untuk menyempurnakan, mengoreksi, atau mengganti dengan keputusan
baru yang lebih baik.
Presiden dan kasus Polri-KPK
Saya tidak akan memberikan penilaian atas proses
pengambilan keputusan dalam kasus Polri-KPK selama sebulan lebih dan sikap
Presiden Jokowi yang akhirnya diumumkan pada 18 Februari lalu. Namun, menarik
pelajaran dari apa yang dialami dari keputusan dan proses pengambilannya
sangatlah penting agar kualitas penyelenggaraan negara kita di waktu
mendatang menjadi lebih sempurna.
Banyak pihak mengapresiasi ”keberanian” Presiden
membatalkan pelantikan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai Kapolri ketika DPR
telah menyetujui pencalonannya dan hakim
memenangkan gugatannya di pengadilan praperadilan. Namun, tak kurang
pula orang yang menganggap keputusan itu tanggung dan setengah hati karena inti
permasalahan tentang pelemahan KPK sebagai institusi penting anti rasuah tak tuntas terselesaikan. Barangkali yang puas dengan keputusan
Presiden menganggap, dengan keputusan itu masyarakat terpenuhi aspirasinya dengan
tak dilantiknya BG, KPK terselamatkan dan kembali normal dengan lima orang
pimpinan, institusi Polri telah mendapatkan calon Kapolri baru dan tetap
utuh, serta kehidupan diharapkan kembali normal seperti sediakala.
Bagi yang tak puas, mereka menganggap sumber utama
permasalahan ada pada proses pengambilan keputusan yang keliru sejak awal
sehingga akibatnya masih tetap akan
menyisakan masalah sampai sekarang. Pertama, kesalahan dalam
memberhentikan Kapolri lama Sutarman jauh sebelum habis masa kerjanya dan
mencalonkan BG yang dapat catatan merah dari KPK. Kedua, tidak menarik
kembali pencalonan BG setelah KPK menyatakan BG sebagai tersangka dan sebelum
DPR melaksanakan uji kelayakan.
Ketiga, lamban dan ragu-ragu serta menunggu hasil
praperadilan sebelum memutus pembatalan pelantikan BG. Akibatnya, masalah
jadi melebar ke mana-mana, seperti gejala kriminalisasi KPK dan teror.
Keempat, tak mengangkat Kapolri baru dengan mengeluarkan perppu, tetapi
mengajukannya ke DPR sehingga sampai paling cepat sebulan lagi Polri masih
belum akan punya Kapolri definitif (hanya calon Kapolri). Kelima, akan adanya
Kapolri baru definitif sebulan lagi masih belum bisa dipastikan karena
bergantung pada persetujuan DPR yang bisa saja menolak. Keenam, membiarkan
kriminalisasi KPK berjalan terus tanpa kejelasan bagaimana dan kapan akan
dihentikan.
Kita hanya bisa menilai dengan lebih tepat kualitas
keputusan Presiden dengan menyoroti perkembangan masalah ini pada bulan-bulan
mendatang. Apakah dengan keputusan itu upaya pelemahan KPK oleh pihak-pihak
tertentu akan dapat dihentikan. Apakah kehadiran dan tekad pemerintah dalam
pemberantasan korupsi sebagai salah satu janji penting Jokowi-JK yang
tertulis dalam Nawa Cita akan berlanjut. Apakah dengan Kapolri baru Polri
akan berubah menjadi institusi penegak hukum yang benar-benar bersih dan
mengayomi rakyat. Apakah pilihan atas pelaksana tugas sementara KPK yang baru
merupakan pilihan jitu yang akan mampu mengembalikan semangat dan
independensi KPK sebagai institusi yang menjadi tumpuan harapan rakyat.
Pertunjukan belum selesai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar