Memadukan
Fiskal dan Moneter
Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar FEB
Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef
|
KORAN
SINDO, 23 Februari 2015
Kebijakan moneter dan fiskal ibarat dua jajaran besi rel
yang lurus mengarah pada tujuan yang sama. Meski kedua lajur besi itu tak
pernah bersentuhan, mereka memastikan lokomotif dan gerbong kereta yang
berjalan di atasnya akan tiba pada tujuan.
Deskripsi itu menunjukkan peran kebijakan moneter dan
fiskal dalam perekonomian. Kebijakan moneter memakai instrumen tingkat suku
bunga, nilai tukar, jumlah uang beredar, dan lain-lain untuk memengaruhi
kegiatan ekonomi. Jika ekonomi ingin digenjot, tingkat suku bunga diturunkan;
demikian sebaliknya.
Kebijakan fiskal menggunakan instrumen anggaran negara
(APBN) untuk mengelola stabilitas ekonomi. Bila ekonomi hendak dipacu,
anggaran didesain defisit; demikian sebaliknya. Tentu saja, irama kebijakan
fiskal dan moneter itu diharapkan sama agar tujuan pembangunan bisa dicapai.
Beban Kebijakan Moneter
Beberapa saat lalu pemerintah dan DPR telah menyepakati
APBN-P 2015 dengan postur yang dianggap lebih kuat dan sehat ketimbang
rencana anggaran sebelumnya. Alokasi anggaran dipakai berdasarkan prioritas
sesuai janji presiden terpilih.
Demikian pula belanja infrastruktur digenjot untuk
memastikan target pembangunan ekonomi terpenuhi. Salah satu asumsi
makroekonomi yang berat untuk dicapai adalah pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7%
pada tahun ini. Target itu amat berat karena situasi ekonomi global yang
masih muram dan keadaan ekonomi domestik yang rentan. Pembangunan
infrastruktur dan perizinan yang efisien tentu akan membantu terwujudnya
target itu. Tapi, itu saja tidak cukup.
Oleh karena itu, pengumuman Bank Indonesia yang menurunkan
BI Rate (suku bunga panduan) ke level 7,5% pekan lalu laik disambut gembira.
Sekurangnya dua hal yang menyebabkan kebijakan itu layak diberikan apresiasi.
Pertama, penurunan BI Rate membuat harmoni kebijakan moneter dan fiskal
menjadi lebih mungkin dijalankan.
Penurunan BI Rate menyodorkan sinyal bahwa BI hendak
melonggarkan kegiatan ekonomi sehingga diharapkan target pertumbuhan ekonomi
terwujud. Logika sederhananya: apabila Bi Rate turun, tingkat bunga perbankan
(deposito dan kredit) juga turun, yang kemudian berpotensi meningkatkan
investasi. Investasi merupakan salah satu sumber penting pertumbuhan ekonomi.
Kedua, kebijakan penurunan BI Rate ”mengakhiri” episode
penggunaan kebijakan moneter untuk mengatasi seluruh beban persoalan ekonomi,
yang semestinya sebagian dipanggul pemerintah (via kebijakan fiskal). Kinerja
pemerintah yang buruk selama ini sebagian terselamatkan oleh kebijakan
moneter tersebut.
Kinerja pemerintah yang kurang bagus itu antara lain
tecermin dari pembangunan infrastruktur yang macet, iklim investasi yang tak
memadai, biaya logistik yang mahal, efisiensi birokrasi yang parah, aturan
main yang tak pasti, kelembagaan yang tak komplet, dan sebagainya. Seluruh
problem ini membuat sendi ekonomi terganggu sehingga mengakibatkan komplikasi
ekonomi seperti defisit neraca perdagangan, inflasi mudah melesat, nilai
tukar melemah, dan seterusnya.
Selama ini, persoalan itu sebagian harus ditutup dengan
kebijakan moneter tersebut. Dengan begitu, kebijakan penurunan BI Rate ini
membuat selaras antara kebijakan fiskal dan moneter. Kebijakan fiskal sudah
disusun cukup ekspansif, bukan semata ditunjukkan oleh defisit fiskal, tetapi
juga alokasi anggaran yang menohok jantung pergerakan ekonomi, khususnya
pembangunan infrastruktur.
Masa Ketidaknormalan
Tentu saja penurunan BI Rate tidak otomatis membuat
ekonomi bekerja sesuai dengan harapan. Teramat banyak instrumen kebijakan
lain yang perlu diperkuat untuk memastikan kebijakan itu berjalan cepat.
Salah satu yang krusial adalah mempercepat sektor perbankan merespons
kebijakan itu dengan menurunkan suku bunga. Bi Rate hanyalah suku bunga
panduan yang tak memiliki otoritas instruktif sehingga kesadaran dunia
perbankan sangat diharapkan. Meskipun tak memiliki kekuatan mengikat,
diharapkan BI dan OJK terus menjalin komunikasi dengan perbankan.
Sekurangnya pemerintah bisa membantu dengan memerintahkan
bank BUMN memelopori penurunan suku bunga. Ruang ini sangat mungkin
dilakukan, tidak saja karena inflasi yang relatif mereda, tetapi juga
pemerintah tak lagi meminta deviden yang besar, termasuk kepada bank BUMN.
Berikutnya, sampai saat ini terdapat kurang lebih Rp1.000 triliun kredit yang
tak terserap (undisbursed loan ) di perbankan.
Maksudnya, kredit itu sebetulnya sudah disetujui oleh
perbankan, tapi tak dieksekusi oleh debitor karena aneka sebab. Salah
satunya, sebagian investasi yang direncanakan terganjal oleh keterbatasan
infrastruktur (misalnya perizinan dan listrik) dan pembebasan lahan. Kredit
itu sebagian juga terjadi pada proyek infrastruktur. Oleh karena itu,
pemerintah, BI, dan OJK mesti bahu-membahu mengidentifikasi persoalan
kredityangtakterseraptersebut( sekitar 30% dari total kredit) dan sigap
membenahinya.
Apabila ikhtiar ini jalan, dampaknya sangat besar bagi
pergerakan kegiatan ekonomi. Kombinasi dari penurunan tingkat suku bunga dan
jaminan pemerintah bakal menghidupkan kembali kredit yang tak terserap
tersebut. Di luar itu, ruang penurunan BI Rate ke depan masih terbuka lebar
karena kondisi ekonomi yang mulai membaik.
Neraca perdagangan 2014 masih defisit (USD 1,8 miliar) tapi
lebih kecil ketimbang 2013 (sekitar USD4 miliar), neraca pembayaran sudah
surplus, dan prospek inflasi bagus karena ditopang oleh penurunan harga
minyak. Bahkan, neraca perdagangan Januari 2015 telah surplus. Meski datadata
tersebut dinamis, secara umum prospek ke depan diharapkan membaik. Apabila
itu diikuti dengan selesainya pekerjaan rumah yang menjadi portofolio
pemerintah (seperti yang telah disebutkan di atas), ruang bagi otoritas
moneter menurunkan BI Rate makin besar.
Di atas segalanya, baik pemerintah maupun BI mesti terus
hati-hati karena tak selamanya yang diprediksi selalu menjadi kenyataan.
Sekarang adalah masa di mana ketidaknormalan dianggap kelaziman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar