Bom
Waktu Perusakan Hutan
Transtoto Handadhari ; Rimbawan Senior;
Ketua Umum Yayasan Green Network Indonesia
|
KOMPAS,
24 Februari 2015
Tiga hari sebelum pemerintahannya berakhir, Susilo Bambang
Yudhoyono meletakkan ”bom waktu” yang secara pasti dan legal akan merusak
bahkan akan menghabiskan kawasan hutan Indonesia. Seluruh fungsi kawasan
hutan yang telah dikukuhkan ataupun sedang dalam proses pengukuhan dapat
dilegalkan untuk diberikan hak, atau diikutkan dalam program pemberdayaan
masyarakat, kepada orang-orang atau masyarakat yang mendudukinya. Hutan
segera hancur, seluruh fungsi hutan akan musnah atas nama program prorakyat.
Terbitnya Peraturan Bersama (Perber) Menteri Dalam Negeri,
Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan
Nasional RI Nomor 79/2014, No PB.3/Menhut-II/2014; No 17/PRT/M/2014; dan No
8/SKB/X/2014 tanggal 17 Oktober 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian
Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan dengan jelas menetapkan
tata cara pemberian hak atas tanah bagi orang-orang atau kelompok masyarakat
yang berada dan menguasai ataupun menggunakan tanah kawasan hutan tanpa
batasan-batasan konservasif sekalipun. Satu hal yang menarik, KPK ikut
mendorong dalam proses terbitnya Perber 17 Oktober 2014 tanpa menyadari
masalah besar yang akan atau sudah ditimbulkannya.
Sekilas, perber di atas menampakkan empati normatif, yakni
memberikan penghargaan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat atas
tanah, khususnya di dalam kawasan hutan, dan dimaksudkan agar dapat dilakukan
penanganan yang cepat secara terpadu. Bagi orang awam, terkesan merupakan
good will pemerintah yang prorakyat dan semestinya wajib didukung masyarakat
luas.
Perber yang merupakan hasil perjuangan kelompok
masyarakat, terutama lembaga swadaya masyarakat Aliansi Masyarakat Adat
Nasional, yang sebelumnya gagal mendorong pengesahan RUU Pengakuan dan
Perlindungan Hak Masyarakat Adat hingga berakhirnya masa jabatan anggota DPR
periode 2009-2014, akhirnya membuahkan terbitnya Perber 17 Oktober 2014, di
saat injury time, sebelum presiden baru dilantik. Meski sekilas merupakan
perjuangan tenurial yang jadi hak kerakyatan, ternyata perber ini melanggar
hal-hal sangat prinsip, bahkan berpotensi pelanggaran pidana.
Sebagai gambaran, semua penguasaan lahan kawasan hutan di
semua fungsi hutan, termasuk hutan lindung dan konservasi, akan diakomodasi
dalam bentuk penegasan hak dan pengakuan hak atas tanah, ataupun pemberian
program pemberdayaan masyarakat di dalam/di sekitar kawasan hutan (Bab III Pasal
8) dengan syarat relatif ringan. Prosedur pelepasan kawasan hutan maupun alih
fungsi yang mestinya melibatkan DPR diabaikan.
Hal utama lain, perber ini melihat obyek hukum ”hutan”
yang dianggap sama saja dengan tanah lainnya, bukan ”hutan” yang memiliki
fungsi khusus, apalagi yang telah dikukuhkan.
Titik rawan
Perber 17 Oktober 2014 pada Bab II mengatur pelaksanaan
penyelesaian penguasaan tanah yang berada di kawasan hutan tersebut dimulai
dengan membentuk Tim IP4T (inventarisasi, penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah). Tim dipimpin kepala BPN setempat yang selama ini
diketahui sebagai pihak yang selalu ”berseteru” dengan pihak kehutanan.
Dalam pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah yang
berada di kawasan hutan secara terpadu tersebut, pihak kehutanan (Dirjen
Planologi Kehutanan) tampak berada pada posisi yang ”kalah” dan ”wajib”
menerima hasil Tim IP4T. Juga ”harus” memerintahkan pelaksanaan tata batas
kawasan hutan di lapangan dalam waktu 14 hari (Bab IV Pasal 12), sebagai dasar
penerbitan SK Perubahan Batas Kawasan Hutan. SK ini digunakan sebagai
landasan untuk diterbitkannya sertifikat hak atas tanah bagi masyarakat
terkait.
Titik-titik rawan dalam proses penyelesaian penguasaan
tanah di kawasan hutan tersebut dapat dirasakan pada Bab III Pasal 8 Ayat (1)
dan (2), bahwa seluruh tanah kawasan hutan yang ”dikuasai dan dimanfaatkan”
oleh masyarakat selama 20 tahun secara berturut-turut atau lebih (di dalam
peraturan BPN sendiri disebutkan 30 tahun), dan bahkan apabila kurang dari 20
tahun dalam rangka reforma agraria, dapat dilepaskan dari kawasan hutan
dengan syarat-syarat tertentu yang tidak sulit.
Dalam hal bidang tanah yang dikuasai tak memenuhi syarat/
kriteria di atas pun tetap diberi hak kelola melalui program/kegiatan pemberdayaan
masyarakat di dalam/di sekitar kawasan hutan. Artinya, seluruh masyarakat
yang telah melakukan aktivitas ”ilegal” sekalipun akan diakomodasi untuk
tetap berada di dalam dan menguasai/menggunakan kawasan hutan. Proses yang
diatur dalam Perber 17 Oktober tersebut juga memberikan peluang yang—setelah
penguasaan dan penggunaan lahan hutan mencapai lebih dari 20 tahun atau
kurang (melalui program reforma agraria)—otomatis dapat diajukan proses
pelepasan dan perolehan hak atas tanahnya.
Perber tersebut akan mengundang euforia perambahan baru
kawasan hutan, sebab pada saatnya nanti, sesuai Bab II Pasal 4, bisa diajukan
permohonan melalui IP4T untuk disahkan. Sebuah fenomena kebijakan politik
yang secara pasti mengancam rusaknya sumber daya hutan, mengundang bencana
alam, menghambat kemajuan ekonomi bangsa.
Praktik di lapangan
Di saat masyarakat masih terperangah oleh huru-hara
politik kenegaraan kini, dengan cepat Petunjuk Pelaksanaan IP4T sudah
diterbitkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN (ditandatangani Januari
2015). Namun, sampai tiga hari menjelang sosialisasi Juklak IP4T, 9 Februari
2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkesan belum tahu. Bahkan
ada informasi bahwa BPN telah menerbitkan 167 sertifikat tanah komunal, yang
diduga terkait Perber 17 Oktober 2014.
Sebagai gambaran, khusus di Kalimantan Tengah saja sedang
terjadi dorongan kepada masyarakat untuk mengukur tanah hutan masing-masing 5
hektar dalam proses pelaksanaan perber tersebut. Kepala demang yang merupakan
kepala adat tingkat kecamatan malah menyatakan akan menerbitkan surat
keterangan tanah adat bagi masyarakat.
Pemerintahan Joko Widodo harus segera mengambil langkah
pengamanan hutan dengan memperbaiki Perber 17 Oktober 2014 dengan
mencantumkan pembatasan yang tak mengabaikan fungsi pokok hutan dan
kehutanan. Penyelesaian masalah tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat
sosial lainnya yang berhak hutan patut tetap dijamin serta dilancarkan.
Masalah pembatasan proses pemberian hak atas tanah bagi
masyarakat dalam fungsi-fungsi hutan tertentu juga harus jelas mengatur
perlindungan terhadap kawasan hutan lindung dan konservasi, yang berfungsi
mengendalikan kerusakan alam, bencana lingkungan, perlindungan tata air,
pengendali erosi, banjir, dan kekeringan, konservasi biodiversitas,
perlindungan plasma nutfah serta pengendalian pemanasan global dan perubahan
iklim. Demikian pula terhadap lahan kawasan hutan yang memiliki ciri khas
tertentu, misalnya cagar budaya, cagar alam, suaka margasatwa, dan fungsi
konservasi lainnya yang seharusnya dilindungi sebagai kawasan hutan tetap.
Pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta
DPR layak cemas dengan terbitnya Perber 17 Oktober 2014 tersebut. KPK juga
memiliki beban moril untuk bersama-sama ikut mendorong penyelamatan fungsi
hutan sebagai inti lingkungan hidup dengan mendorong merevisi perber
tersebut.
Terkait penghargaan terhadap hak masyarakat atas
kehidupannya dari tanah hutan, bukankah pemerintah dalam pelaksanaan tata
batas untuk pengukuhan kawasan hutan selalu diikuti dengan menetapkan adanya
enklave lahan/permukiman masyarakat, yang sebelumnya telah diidentifikasi
menggunakan dasar Peraturan Menhut No P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan
Kawasan Hutan. Di sisi lain, pemerintah juga telah berjanji akan memberikan
lahan kawasan hutan seluas 12,7 juta hektar kepada rakyat, di samping
ketentuan kepada pemegang hak izin usaha kehutanan untuk memberikan minimal
20 persen lahan usaha bagi kepentingan usaha rakyat, juga kegiatan hutan
kemasyarakatan yang kini baru terealisasi sekitar 600.000 hektar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar