Risiko Pengelolaan Dana Desa
Sumaryoto Padmodiningrat ; Mantan Anggota DPR,
Ketua Dewan Pembina Persatuan
Perangkat Desa Republik Indonesia (PPD RI)
|
SUARA
MERDEKA, 23 Februari 2015
“Seyogyanya pemerintah melakukan pendampingan terhadap para kades
dalam mengelola dana desa”
IBARAT buah simalakama. Begitulah
dana desa yang dikucurkan ke tiap desa pada April 2015. APBNP 2015
menganggarkan dana desa Rp 20 triliun atau meningkat dari APBN 2015 sebesar
Rp 9,1 triliun. Tiap desa rata-rata mendapat Rp 750 juta. Anggaran ini
berasal dari pemerintah pusat (APBN) yang disalurkan melalui dana desa dan
Alokasi Dana Desa (ADD) rutin dari APBD provinsi dan kabupaten/kota.
Pembagian dana desa juga tidak
dipukul rata mengingat mendasarkan empat kriteria, yaitu jumlah penduduk,
luas wilayah, tingkat kemiskinan, dan letak geografis yang terpencil atau
tidak. Mengapa bak buah simalakama? Pasalnya di satu sisi bisa menjadi berkah
bila pengelolaannya benar dan bisa dipertanggungjawabkan, namun di sisi lain
bisa menjadi musibah andai diselewengkan.
Data di Kejati Jateng menyebutkan,
sepanjang 2014 sedikitnya 30 kades di Jateng tersangkut korupsi. Sebagian
sudah diputus perkaranya, dan beberapa lainnya masih dalam persidangan. Di
provinsi lain juga demikian. Di Kabupaten Malang Jatim misalnya, puluhan
kades diduga menyalahgunakan dana desa. Tahun 2014 ada 75 atau 20% dari 378
kades diperiksa inspektorat kabupaten.
Dengan alokasi dana desa yang
lebih besar, dikhawatirkan jumlah kades yang menyelewengkan dana desa lebih
besar pula. Bukan hanya karena ada niat dan kesempatan untuk korupsi,
kesalahan administrasi saja bisa menyeret mereka ke meja hijau.
Apalagi hingga kini pembagian
tugas dan wewenang pengelolaan dana desa belum jelas, antara Kemendagri dan
Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi. Meski dalam perubahan nomenklatur
telah diputuskan bahwa Ditjen Pemberdayaan Masyarakat Desa, yang sebelumnya
di bawah Kemendagri, dipindahkan ke Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi,
faktanya hingga kini belum terealisasi.
Kepala desa menjadi kuasa pengguna
anggaran langsung atas dana ini sehingga bila ada penyelewengan, merekalah
yang bertanggung jawab. Mereka juga akan diaudit langsung oleh BPK.
Penyaluran dana desa juga dikhawatirkan salah sasaran karena tak semua desa memiliki
kreativitas dan inovasi yang baik demi dapat mengelola anggaran tersebut.
Saat berkampanye, Jokowi mengusung
9 program prioritas yang dirumuskan dalam Nawa Cita, dan Poin ke-3
menyatakan, ’’Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah
dan desa dalam kerangka negara kesatuan’’. Lebih khusus lagi Poin ke-3 Angka
(4) yang menyatakan implementasi UU Desa. Jokowi juga berkomitmen
meningkatkan kesejahteraan perangkat desa, dan tidak tertutup kemungkinan
mengangkat mereka menjadi PNS.
Melarang Pemekaran
Akankah semua itu terwujud? Hingga
lebih dari setahun UU Desa disahkan pada 18 Desember 2013, yang meletakkan
dasar-dasar perubahan bagi terwujudnya desa mandiri, sejahtera, dan
demokratis, serta lebih dari 100 hari Jokowi memerintah dengan Nawa Cita,
yang mengkhawatirkan justru bakal bertambah banyaknya kades yang masuk
penjara. Hal itu terkait dana desa yang akan naik secara gradual, yakni Rp 44
triliun (2016), Rp 74 triliun (2017), Rp 88,6 triliun (2018), dan Rp 103,7
triliun (2019).
Apalagi road map, regulasi
turunan, instrumentasi kebijakan, dan persiapan operasional atas semua aturan
yang sudah disebutkan itu belum sepenuhnya siap memulai fase pelaksanaan
optimal.
Di sisi lain, ada kekhawatiran
kemerebakan konflik horizontal setelah pencabutan moratorium atau penundaan pemekaran
desa/kecamatan. Begitu ada kabar desa bakal mendapat dana besar dari APBN,
dan menjelang Pemilu 2014, banyak desa/kecamatan ingin memekarkan diri,
dengan motif untuk mendapatkan dana tersebut serta demi kepentingan
konstituen para politikus.
Mendagri kemudian mengeluarkan
surat Nomor 138/1056/SJ yang melarang pemekaran desa/kecamatan. Moratorium
dimaksudkan untuk memudahkan menyusun daftar lokasi TPS dan mengetahui
kebutuhan petugas pengawas tingkat kecamatan dan desa. Setelah pemilu, daerah
meminta moratorium itu dicabut, dan setelah dicabut, permintaan pemekaran itu
membeludak.
Permendagri Nomor 39 Tahun 2015
tentang Jumlah Desa mencatat, jumlah desa pada awal 2013 hanya 72.944, namun
melonjak drastis tahun 2015 hingga menjadi 74.093. Adapun jumlah kelurahan
pada 2013 hanya 8.309 dan pada 2015 naik jadi 8.412.
Seyogyanya pemerintah melakukan
pendampingan bagi para kepala desa dalam mengelola dana desa, dan tenaga
pendamping itu bisa diambil dari BPK, BPKP, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI),
perguruan tinggi, atau organisasi kemasyarakatan yang memiliki kompetensi di
bidangnya, semisal Persatuan Perangkat Desa Republik Indonesia (PPD RI).
Sekali lagi, dana desa itu bisa
menjadi buah simalakama. Menjadi berkah bila dikelola dengan benar dan
akuntabel sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Tapi menjadi
musibah bila diselewengkan sehingga pelakunya bisa diseret ke pengadilan.
Bila musibah yang terjadi maka Nawa Cita pun berubah menjadi dukacita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar