Problem
Agenda Anti Korupsi Sekarang
Muhammad Ridha ; Mahasiswa di Murdoch
University, Australia;
Anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)
|
INDOPROGRESS,
20 Februari 2015
JOKOWI telah menetapkan pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang baru dan membatalkan untuk melantik Budi Gunawan sebagai
Kapolri. Beberapa kalangan menganggap Keputusan ini diambil Jokowi untuk
menyelesaikan masalah perseteruan antar lembaga Negara terkait dengan
penetapan calon Kapolri. Tidak heran jika bagi orang kebanyakan, langkah yang
ditempuh Jokowi merupakan langkah yang tepat untuk menyelesaikan konflik
antara KPK melawan Polri, sekaligus untuk menyukseskan agenda anti korupsi di
era pemerintahan Jokowi.
Akan tetapi kita perlu mengajukan satu pertanyaan
sederhana namun mendasar, apakah langkah ini akan mampu memberikan fondasi
yang diperlukan untuk menyelesaikan penyakit korupsi di negara ini?
Di sini kita perlu lebih kritis dalam melihat konteks
politik kelembagaan yang ada sekaligus hubungannya dengan antusiasme spontan
masyarakat yang bergerak dalam isu anti korupsi itu sendiri. Momen konflik
antar lembaga Negara yang menganggap dirinya memiliki agenda anti korupsi
yang sama, bukanlah sesuatu yang baru. Masih belum hilang dari ingatan kita
dimana pada masa pemerintahan SBY, konflik KPK-Polri, “Cicak vs Buaya”,
terjadi kerena benturan kepentingan antar pimpinan institusi Negara.
Walau kita dapat menemukan beberapa detail perbedaan dari
konflik KPK-Polri di masa SBY dan Jokowi, namun semuanya berakar dari problem
politik kelembagaan yang sama: bahwasanya institusi anti-korupsi yang ada
bukanlah entitas yang sepenuhnya bebas dari kepentingan tertentu. Terdapat
relasi kekuasasan yang ikut membentuk operasi kerja institusi tersebut.
Konflik kepentingan antara KPK-Polri memang sangat kentara.
Kepentingan-kepentingan inilah yang kemudian mendefinisikan pada bagaimana
agenda anti korupsi itu dijalankan.
Bagi beberapa kalangan ‘ahli’ yang biasa muncul di media
arus-utama, pembacaan ini bukanlah sesuatu yang dominan. Dengan berangkat
dari asumsi ‘seharusnya’, orang-orang yang mengelola institusi harus selalu
diandaikan memiliki kapasitas moral tertentu. Di sini, moral kemudian dinilai
dengan timbangan baik buruknya. Implikasinya, upaya untuk memahami konflik
didegradasi pada bagaimana kita memahami baik-buruk moral aktor-aktor yang
ada dalam institusi. Mereka yang dianggap baik dipandang harus dibela dan
sebaliknya, yang bermoral buruk menjadi musuh bersama.
Tidak heran jika pembacaan ini mengondisikan produksi
serta reproduksi informasi besar-besaran yang sebatas untuk menjelaskan dan
mengajukan argumen mengenai siapa pihak yang dianggap sebagai figur baik yang
dengan demikian perlu didukung dalam agenda politik anti korupsi. Akan
tetapi, sebagaimana kita ketahuai, kategori moral adalah kategori yang
sifatnya relatif-kontekstual. Disinilah akhirnya alih-alih menjadi jangkar
penegetahuan yang dibutuhkan dalam memahami konflik seputaran anti korupsi,
moralisme justru selalu berujung pada kegagalan untuk membaca secara serius konflik
yang terjadi. Banjir Informasi yang tadinya diharapkan menjadi pegangan untuk
membangun agenda anti korupsi, justru menjadi alat distraksi serta
disorientasi massal.
Kebingungan massal ini menyebabkan hukum formal dianggap
sebagai satu-satunya hal yang dapat dipegang karena karakter kepastian
positivistik-nya. Disinilah kita menemukan bagaimana argumen moralis menemui
ujung implikasinya pada terjadinya formalisme hukum dalam agenda anti
korupsi. Mungkin ada kesan ‘beradab’ dari kanalisasi konflik melalui hukum
karena dianggap konflik yang ada dapat dinilai dari aturan main yang sah.
Tapi pandangan ini adalah sebuah jebakan. Karena apa yang terjadi adalah
kebalikannya; hukum yang telah tersedia dapat dibengkokan sedemikian rupa
oleh mereka yang memiliki kepentingan dalam konflik itu sendiri. Disinilah
terjadi hal yang paling absurd namun berlaku umum dalam masyarakat kita,
aturan hukum dapat dipermainkan seenaknya.
Formalisme agenda anti korupsi memiliki konsekuensi lebih
jauh dari sebatas pembengkokan aturan. Ia membatasi (atau bahkan menghalangi)
mereka yang paling punya kepentingan dari anti korupsi itu sendiri, yakni
kalangan publik luas. Jika korupsi secara minimal dapat didefinisikan sebagai
penyalahgunaan wewenang yang diberikan rakyat demi kepentingan pribadi, maka
agenda anti korupsi adalah pada dasarnya agenda politik rakyat. Namun dalam
formalisme hukum, kepentingan rakyat seakan direduksi pada sebatas penonton
saja dalam perjuangan anti korupsi, karena mau tidak mau rakyat harus
menunggu proses hukum yang sedang terjadi.
Yang perlu diperiksa lebih jauh dari kondisi ini adalah
mengapa situasinya begitu tidak terelakkan? Kembali ke gagasan awal saya
mengenai pentingnya melihat dinamika relasi kuasa dalam agenda anti korupsi,
setidaknya ada dua argumen yang penting untuk dimunculkan guna keluar dari
kebuntuan yang ada. Yang pertama, dan terus menerus dikemukakan oleh banyak
penulis di IndoPROGRESS, adalah mengenai pengaruh oligarki dalam agenda anti
korupsi itu sendiri. Dominasi jejaring kekuasaan oligarki mampu untuk
mensubordinasi agenda anti korupsi dalam kerangka kepentingan mereka. Apa
yang dikenal sebagai ‘masyarakat sipil’ dengan agenda anti korupsi, bukanlah
wadah yang kosong dari kepentingan. Ia justru menjadi ruang bagi kontestasi
kepentingan oligarki itu sendiri dan dengannya agenda anti korupsi versi
oligarki dapat dibangun. Yang kedua adalah dengan melihat penetrasi ideologi
neoliberalisme yang secara terus menerus mengintrusi agenda anti korupsi itu
sendiri. Pada sebatas memahami anti-korupsi sebagai bagian dari diskursus
‘good governance’, neoliberalisme justru telah mengorupsi agenda anti-korupsi
itu sendiri. Korupsi neoliberalisme terhadap agenda anti-korupsi terjadi
dalam dua tingkatan; pada tingkatan pertama, pemberantasan korupsi
dilokalisir pada sebatas pengelolaan kelembagaan yang baik (yang dengannya
formalisme hukum menjadi narasi utamanya); di tingkatan yang kedua,
neoliberalisme menghilangkan politisasi rakyat yang diperlukan untuk berperan
aktif dalam agenda anti-korupsi itu sendiri. Bukan sebagai komentator aktif,
tapi juga sebagai pencipta agenda anti korupsi sendiri.
Pada tingkatan praktis, kelit-kelindan antara oligarki dan
neoliberalisme inilah yang menyebabkan terjadinya tebang pilih dalam
penyelesaian kasus korupsi di Indonesia. Mengapa satu kasus korupsi lebih
dipilih untuk dibuka dibandingkan dengan yang lain. Mengapa kasus korupsi
bupati di daerah-daerah lebih dominan dibandingkan kemungkinan kasus korupsi
yang melibatkan korporasi tambang dan juga perusahaan-perusahaan penyedia
layanan outsourcing? Mengapa kasus mega korupsi seperti BLBI tidak pernah
diangkat sampai sekarang? Saya tidak mengatakan bahwa satu kasus lebih
penting dibanding yang lain. Yang ingin ditekankan di sini justru yang
membangun agenda anti korupsi itu bukanlah rakyat yang selama ini menjadi
korban dari tindakan korup elit-elitnya. Rakyat tidak berdaya karena tidak
memiliki kapasitas politik yang diperlukan untuk membangun agenda politik
anti-korupsinya sendiri.
Tawaran Irwansyah (2015) mengenai perlunya cara bergerak
alternatif merupakan posisi yang perlu ditindaklanjuti. Operasi nyata
kekuasaan oligarki serta penetrasi halus neoliberalisme adalah problem
mendasarnya, sehingga itu gerakan rakyat perlu mengevaluasi cara bergerak
mereka dalam mendorong agenda anti korupsi. Gerakan anti korupsi yang
sporadik-moralis tidak lagi mencukupi. Diperlukan pembangunan kekuatan rakyat
yang nyata, yang mendasarkan dirinya untuk menentang secara strategis
dominasi oligarki beserta ilusi neoliberalisme yang menyertainya. Hanya
dengan inilah kita dapat keluar dari gejala kebuntuan akut agenda anti
korupsi yang tengah terjadi sekarang ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar