Menanti “Bom Waktu” Krisis Guru Besar
W Riawan Tjandra ; Pengajar pada Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KOMPAS,
27 Februari 2015
Kebijakan
pengetatan syarat kenaikan kepangkatan dosen dari lektor kepala menjadi guru
besar yang sempat dicanangkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di era
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh segera akan menuai hasilnya.
Syarat
itu berupa ketentuan dalam Peraturan Mendikbud Nomor 92 Tahun 2014 yang
merupakan pengetatan syarat bagi calon guru besar yang melanjutkan pengaturan
dari Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Nomor 17 Tahun 2013 mengenai keharusan bagi para calon guru besar untuk
memiliki—meminjam terminologi kedua peraturan menteri itu— jurnal internasional
”bereputasi”.
Hal
yang perlu diberi catatan di sini bukan urgensi syarat tersebut ditinjau dari
ambisi Dirjen Dikti di era sebelumnya untuk mendorong internasionalisasi,
melainkan problematika seputar ketidaktaatan asas dalam pengaturan terkait dasar
hukumnya, disparitas dalam penerapan ketentuan tersebut dan implikasi sosial
yang sepertinya luput dari kajian dampak (impact
analysis) terkait kebijakan tersebut.
Terkait
anomali dasar hukum pengaturan syarat tersebut sangat kentara
dilatarbelakangi motif bukan sekadar memperketat, melainkan menghambat para
calon guru besar baru yang justru karena komplikasi kerumitan kebijakan
anggaran di APBN tak akan memadai untuk menanggung dana sertifikasi dosen
bagi para guru besar baru, jika tidak dibuat pengetatan syarat yang
mempersulit pencapaian kepangkatan guru besar.
Definisi
Dikti
lupa bahwa definisi syarat karya ilmiah dalam UU Guru dan Dosen serta UU
Perguruan Tinggi yang menjadi syarat bagi para calon guru besar baru muncul
dalam Permendikbud No 92/2014 dan sama sekali tak pernah dijelaskan maknanya
dalam kedua undang-undang tersebut. Hal inilah yang dalam teori
perundang-undangan disebut ”gerilya peraturan pelaksanaan” (clandestine wetgeving) karena
peraturan pelaksanaan suatu undang-undang justru mengatur norma yang harusnya
muncul dalam undang-undangnya.
Alhasil,
berbagai peraturan pelaksanaan dan peraturan kebijaksanaan (policy rule) yang dikeluarkan menteri
ramai-ramai membentuk norma baru yang tak jarang bertabrakan satu sama lain
dan menafsirkan muatan norma undang-undang menurut selera sesaat atau
kepentingan terselubung otoritas penguasa.
Penerapan
ketentuan itu dalam realitas ternyata justru menimbulkan disparitas antara
apa yang diharapkan dan realitanya. Baik Permendikbud No 92/2014 maupun
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor
17 Tahun 2013 tak dilaksanakan secara konsisten. Kedua ketentuan itu alpa
memperhatikan kriteria bagi penilai calon guru besar.
Akibatnya,
hal tersebut ditafsirkan bermacam-macam dalam praktik. Misalnya, seorang guru
besar lama yang tak membuat jurnal nasional, buku, atau jurnal internasional
bisa duduk sebagai penilai bagi calon guru besar baru; senat akademik yang
belum memiliki guru besar memadai dan hanya memiliki sejumlah master bisa
turut menilai kelayakan calon guru besar, tak jelasnya kriteria jurnal
internasional, dan sejenisnya. Jika diukur dengan UU Administrasi
Pemerintahan saat ini, penerapan kedua peraturan menteri tersebut bisa
dinilai melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, berupa larangan
diskriminatif, kecermatan dan proporsionalitas.
Maka,
yang terlihat dari kedua ketentuan itu justru motif tersembunyi untuk
mengamputasi semangat menjadi seorang guru besar bagi para doktor baru yang
sudah memenuhi berbagai unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi, dengan membawa ke
perdebatan seputar kriteria kelayakan jurnal internasional. Celakanya, Dikti
pun tak terlihat sukses dalam memfasilitasi berbagai perguruan tinggi di
Indonesia agar mampu membuat jurnal internasional seperti yang diidealkan
kedua peraturan menteri. Di tengah rumitnya persyaratan menjadi guru besar,
beberapa pejabat tinggi yang bukan dosen bisa nyelonong mendapat anugerah
gelar profesor dari perguruan tinggi.
Jurnal internasional
Syarat
jurnal internasional tersebut kini bukan menjadi pemacu semangat untuk meraih
prestasi para calon guru besar, melainkan sering dituduh menjadi instrumen
untuk mengamputasi yang menghanguskan berbagai syarat Tri Dharma. Bahkan,
jurnal nasional yang diakreditasi Dikti dianggap tidak layak menggantikan
secara proporsional syarat jurnal internasional versi Dikti. Apakah dengan
demikian Dikti menilai lebih rendah kualitas jurnal nasional yang
diakreditasinya dan lebih memercayai jurnal internasional sebagai ”harga
mati” bagi para calon guru besar?
Implikasi
sosial yang sepertinya luput dikaji secara serius oleh Dikti adalah potensi
krisis jumlah guru besar per bidang keilmuan yang sudah di ambang mata. Guru
besar yang ada saat ini sangat sedikit yang dihasilkan dari kriteria kedua
peraturan menteri tersebut. Yang ada adalah guru besar lama menjadi sulit
mendapatkan regenerasi karena terganjal momok persyaratan jurnal
internasional. Bahkan, Dikti kini juga memperketat syarat kriteria untuk
promotor bagi calon doktor di perguruan tinggi yang juga disandera dengan
syarat jurnal internasional versi Dikti.
Pada
saatnya, krisis doktor segera menyusul. Di era revolusi mental ini, kiranya
beberapa kontroversi sebagai dampak kebijakan pada masa lalu mendapat
perhatian serius dari Kementerian Ristek dan Dikti serta Kementerian PAN dan
RB jika tak ingin menuai buah kebijakan berupa krisis guru besar per bidang
keilmuan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar