Fenomena Begal
TB Tonny Rachman Nitibaskara ; Guru Besar Kriminologi
Pascasarjana UI; Ketua Program Kajian Strategi Ketahanan Nasional
Pascasarjana UI
|
KOMPAS,
28 Februari 2015
Memasuki
tahun 2015, masyarakat dikejutkan dengan makin maraknya tindak kejahatan
perampasan kendaraan bermotor roda dua, yang diistilahkan sebagai begal. Dalam
situs resminya, 26 Februari 2015, Kompas merilis tulisan ”Catatan Aksi Begal sepanjang Januari 2015” yang menyebutkan
Polda Metro Jaya mencatat ada 80 kasus pembegalan sepanjang Januari 2015 di
wilayah hukumnya. Kasus itu tersebar di sejumlah wilayah di Jakarta dan
daerah-daerah penyangga, yaitu Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Bahkan,
dalam salah satu kasus di Depok, seorang perempuan pedagang sayuran sempat
dilempar pelaku ke dalam kali ketika mereka merampas sepeda motornya. Untung
saja ia selamat sehingga dapat langsung melaporkan peristiwa itu kepada
polisi. Kejadian di atas menunjukkan bahwa pelaku tidak pandang bulu dalam
mencari mangsa, mulai dari anak muda, dewasa, hingga perempuan menjadi
incaran.
Mencermati
keadaan memprihatinkan ini, Polri dengan sigap langsung mengupayakan segala
daya dan upaya untuk membekuk para ”begal” itu. Sebagian besar pelaku
tertangkap dan diamankan, kendati ada di antara mereka yang harus menghadapi
pengadilan ”jalanan”, yaitu dibakar hidup-hidup oleh massa yang sudah habis
kesabarannya.
Kekerasan dan kemiskinan
Literatur
kriminologi telah lama mengidentifikasikan di antara masyarakat ada golongan
yang kerap berpikir ”bunuh dulu, urusan belakangan”. Dalam buku saya Catatan
Kriminalitas (1999) telah dikemukakan panjang lebar mengenai perilaku sosok
yang mengedepankan kekerasan itu dalam perspektif classical bahwa di
masyarakat terdapat sejumlah orang yang tak merasa takut terhadap sanksi,
baik sanksi sosial maupun hukum. Dalam keadaan frustrasi, mereka tak segan
menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan dan kepentingan yang
bermacam-macam.
Akibatnya,
perilaku yang mengedepankan moto membunuh dulu, sedangkan akibatnya
dipikirkan belakangan, akan tumbuh subur dalam perspektif struktur sosial,
yaitu bahwa ketegangan dan frustrasi yang dialami seseorang yang tinggal atau
hidup di daerah kumuh kelas bawah menyebabkan mereka mudah berperilaku
menyimpang. Sebagaimana diketahui, nilai-nilai kelas bawah menekankan pada
kekerasan (violence) dan kekuatan (power), yang mengakibatkan mereka
sering berurusan dengan penegak hukum.
Di
samping itu, perspektif lainnya mengacu pada proses sosial. Di dalam
masyarakat terdapat sejumlah orang yang tak punya kesempatan menikmati
institusi konvensional, seperti sekolah, pekerjaan dan keluarga. Kondisi ini
menimbulkan keresahan. Mereka pada umumnya bereaksi keras terhadap tekanan
hidup sehari-hari. Termasuk ke dalam golongan ini adalah orang-orang yang tak
memiliki kepandaian atau keterampilan seperti dimiliki orang lain. Semakin
besar jumlah mereka, semakin tinggi keresahan, hingga menimbulkan ketegangan social
(social unrest) di masyarakat.
Von
Mayr, dikutip dalam Mannhein (1965), Bonger (1916), Thomas (1925) dan
Radzinowics (1925), berpuluh-puluh tahun silam telah membuktikan adanya
hubungan antara pencurian dan fluktuasi harga gandum, yang dapat dianalogikan
dengan kebutuhan pangan. Sementara Bonger pernah membahas hubungan antara
kemiskinan, pengangguran, dan kejahatan. Shaw dan Mckey (dalam Gordon 1967),
telah mengemukakan tingginya tingkat kejahatan dalam komunitas miskin. Pakar
lainnya dalam studi di Houston, AS, menemukan tingginya korelasi kejahatan
kekerasan dan kemiskinan. Hal di atas diamini Schwartz (1984) dalam teori
perbedaan struktur, yang menemukan fakta bahwa perbedaan sosial ekonomi akan
menjadi sumber kejahatan.
Hubungan
antara pelaku, kemiskinan, dan kejahatan, terungkap dalam penelitian James F
Short, Jr (1997) bahwa meningkatnya konsentrasi kemiskinan secara signifikan
wilayah perkotaan serta jurang pemisah yang melebar antara si kaya dan
miskin, akan menumbuhkan budaya kekerasan pada kaum yang tergolong miskin.
Perasaan ”senasib” sebagai pihak yang lemah kerap membuat mereka merasa
terikat satu sama lainnya untuk kemudian mencari solusi yang sangat jauh dari
apa yang berlaku dalam norma masyarakat.
Pembegalan
yang akhir-akhir ini marak terjadi dilakukan lebih dari satu orang, atau
berkelompok. Modusnya, memepet korban dengan dua sepeda motor yang dikendarai
empat pelaku bersenjata tajam atau bersenjata api, dengan tujuan mengambil
sepeda motor korban. Mereka tak segan-segan berperilaku sadis atau bahkan
membunuh untuk mendapatkan keinginan mereka.
Organisasi kejahatan
Sifat
kejahatan mereka seperti terorganisasi walaupun mereka bukan organisasi
kejahatan. Terdapat perbedaan antara kejahatan terorganisasi (organized crime) dan organisasi
kejahatan (crime organization).
Setiap kejahatan yang dilakukan organisasi kejahatan tentu saja
terorganisasi. Namun, tidak semua kejahatan terorganisasi dilakukan oleh
organisasi kejahatan. Hal itu dapat dilihat dalam peristiwa pembegalan yang
terjadi selama ini.
Beberapa
alasan yang patut diperhatikan dalam pembegalan di atas adalah, pertama,
pembegalan lebih dipandang sebagai cara melakukan tindak kejahatan daripada
sebagai organisasi. Kedua, sistem kerja sama dalam pembegalan ditopang keanggotaan
yang sangat cair, artinya bergabungnya mereka tidak bersifat permanen.
Ketiga, mereka tidak memiliki aturan dan kode etik yang bersifat tetap.
Keempat, mereka tidak memiliki tujuan jangka panjang dan tahapan-tahapan
pencapaiannya melainkan hanya obyek, yaitu sepeda motor.
Di
samping itu, patut diingat bahwa setiap peristiwa kejahatan kerap terkait
dengan imitation crime model. Kisah sukses mereka yang melakukan kejahatan
seperti pembegalan yang dimuat di media massa, mengundang orang lain untuk
mengikuti dan meniru model serta teknik-teknik yang dipandang ampuh dan
mumpuni. Kegagalan seseorang melakukan kejahatan juga kerap dijadikan
pegangan bagi mereka agar tidak bernasib serupa.
Keterampilan
sebagai begal tidak dimiliki secara tiba-tiba, tetapi melalui suatu proses
pembelajaran terlebih dahulu, melalui berbagai sumber, termasuk media.
Perihal ”mempelajari kejahatan” ini, Sutherland (1947) memiliki beberapa
pemikiran menarik antara lain, pertama, perilaku kejahatan itu dipelajari.
Kedua, perilaku itu dipelajari dari orang lain dalam suatu interaksi. Ketiga,
bagian terpenting dari perilaku jahat yang dipelajari diperoleh dari kelompok
pergaulan yang akrab. Keempat, apabila tingkah laku itu dipelajari, yang
dipelajari adalah cara melakukan kejahatan dan bimbingan yang bersifat khusus
mengenai motif, rasionalisasi, dan sikap.
Dengan
demikian, mustahil memberantas semua fenomena kejahatan yang terjadi di muka
bumi termasuk begal di atas. Penumpasan hanya berlaku sesaat, untuk kemudian
muncul lagi di kemudian hari. Karena kita hanya mampu meminimalkan
faktor-faktor pencetus kejahatan tersebut dan menyingkirkan sebab-sebab yang
mendorong tingginya tindak kejahatan pembegalan selama ini. Kemiskinan,
pengangguran, jurang pemisah yang dalam antara yang mampu dan tidak mampu,
lemahnya pengawasan terhadap peredaran senjata tajam dan senjata api,
merupakan masalah yang patut mendapat perhatian serius. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar