Kompromi Penyelamatan KPK
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum
Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 28 Februari 2015
Setelah
membaca dan mendengar suara rakyat melalui media massa serta berdiskusi
dengan berbagai kalangan, terasalah sekarang ini muncul kecemasan atas masa
depan pemberantasan korupsi.
Di
kalangan gerakan prodemokrasi dan pegiat antikorupsi banyak yang cemas,
pascaperistiwa cicak vs buaya jilid 3, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
akan lumpuh. Padahal KPK selama ini telah menunjukkan prestasi hebatnya dalam
perang melawan korupsi.
KPK
bisa memutus rantai penghalang pemberantasan korupsi yang selama puluhan
tahun terajut begitu kokoh. KPK bisa mengantarkan ke penjara orang-orang kuat
dipolitik dan pemerintahan: pentolan parpol, menteri aktif, dan ketua lembaga
negara. Selain itu pengusaha hitam, dan pelaku berbagai mafia.
Dalam
prestasinya itu, yang paling mengesankan, KPK tak pernah gagal membuktikan
dakwaannya ketika seseorang sudah diajukan ke pengadilan sebagai terdakwa.
Semua pesakitan KPK yang diajukan ke pengadilan 100% bisa dikirim ke penjara
karena terbukti korupsi.
Pernah
ada ”satu saja” kasus yang lolos di pengadilan tingkat pertama, yakni kasus
pimpinan BUMN PT Merpati, tetapi pada akhirnya tendangan KPK digolkan oleh
Mahkamah Agung di tingkat kasasi: terdakwa dijatuhi hukuman juga. Semua yang
naik banding dan kasasi pasti ditolak dan pengadilan banding maupun kasasi
selalu memenangkan KPK, bahkan menaikkan hukumannya.
Dengan
melihat catatan bahwa KPK tak pernah gagal membuktikan dakwaannya yang diuji
oleh pengadilan secara bertingkat, dapat diartikan bahwa KPK sudah
profesional. Itulah sebabnya KPK sejak zaman Taufiequrachman Ruki sangat
disegani. Ruki telah berhasil meletakkan dasar-dasar profesionalisme dan
kegagahan sepak terjang KPK.
Tapi,
sekarang ini, pascakonflik orang-orang KPK dan orangorang Polri yang berimbas
pada keterlibatan institusi, KPK menghadapi ancaman kelumpuhan. Banyak yang
merasa bahwa sekarang ini sedang terjadi kriminalisasi (meski istilah ini
bisa diperdebatkan) terhadap orang-orang KPK dan para pendukungnya dan
terjadi proses pelumpuhan terhadap KPK sebagai lembaga penegak hukum.
Ini
sungguh mengkhawatirkan karena KPK merupakan anak kandung reformasi yang
dalam perjalanannya paling berhasil memerangi korupsi. Tapi kalau mau
berintrospeksi dalam kasus yang terakhir, kasus cicak vs buaya jilid 3, ini
KPK telah bertindak agak ceroboh dan terasa berbau politis.
Ada
gejala pelanggaran etis dan kecerobohan dalam prosedur hukum yang harus
dibayar mahal sekarang. Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka yang
bersambungan dengan pengusulannya sebagai calon kapolri telah menimbulkan
kesan kuat adanya unsur politis.
Apalagi
kemudian disusul dengan terkuaknya fakta bahwa Ketua KPK Abraham Samad telah
melakukan pertemuan-pertemuan politik yang terkait dengan dirinya menjelang
Pilpres 2014. Ini adalah pelanggaran serius, bukan pelanggaran pidana, tetapi
pelanggaran etika yang menodai KPK dan merusak semua reputasinya yang
membanggakan.
Terlebih
lagi ternyata di dalam sidang praperadilan KPK tidak mau (atau tidak bisa)
menunjukkan adanya dua alat bukti permulaan yang sah saat menjadikan Budi
Gunawan sebagai tersangka. Kekalahan KPK di sidang praperadilan telah
menggegerkan dunia hukum dan mengacaukan prosedur umum penegakan hukum
pidana. Ia membuka peluang, orang-orang yang dijadikan tersangka mengajukan
gugatan praperadilan.
Bukan
hanya dalam pidana korupsi, tetapi dalam semua kasus pidana; bukan hanya di
Jakarta, tetapi juga di semua daerah di seluruh Indonesia. Materi gugatan
praperadilan pun sudah menyentuh soalsoal di luar prosedur, tetapi menyangkut
yang seharusnya disampaikan pada sidang peradilan yang sesungguhnya, bukan di
praperadilannya.
Yang
sangat mengkhawatirkan, KPK sendiri terancam lumpuh dan tidak lagi bisa terus
eksis. Langkah-langkah Polri sekarang yang mudah memproses laporan-laporan
atas orang-orang atau pendukung KPK merupakan perkembangan yang tidak
menggembirakan. Semua musuh KPK, yang putih dan yang hitam, sekarang punya
momentum bersatu menyerang KPK.
Masa
depan pemberantasan korupsi tentu sangat suram jika tidak ada langkah-langkah
penyelamatan atasnya. Menurut saya, maaf kalau
ada yang tak setuju, untuk menyelamatkan KPK saat ini kita perlu berkompromi
dengan keadaan, yakni melepas kasus-kasus tertentu dulu untuk tidak ditangani
KPK sampai tercapai saling pengertian dalam penanganan kasus-kasus tertentu.
Penanganan kasus rekening gendut yang selalu menjadi isu
selama bertahun-tahun, misalnya, bisa dilepas dulu dan dicarikan penyaluran
penanganan di luar KPK. Begitu juga perlu dipertimbangkan, KPK tidak
menangani dulu kasus kakap yang bersumber dari kebijakan yang sah, sebab
kebijakan itu tak bisa dipidanakan kecuali nyata-nyata ada tindak pidana
dalam pembuatannya.
Kasus BLBI dan Bank Century, misalnya, tak bisa diarahkan pada
kebijakan atau pembuat kebijakannya yang sudah sah. Penanganannya cukup
difokuskan pada implementasinya yang ternyata diboncengi oleh tindak pidana
korupsi. Jadi harus ada garis yang tegas antara pembuatan kebijakan yang sah
dengan implementasinya yang koruptif.
Kita tidak boleh berkompromi dengan korupsi karena korupsi adalah kanker pencabut nyawa negara. Tapi
sah saja kita berkompromi dengan keadaan daripada KPK-nya menjadi lumpuh bahkan mati
sebagai risiko atas kecerobohan KPK sendiri.
Kalau
KPK lumpuh karena tak mau berkompromi dengan keadaan, ada sentra-sentra
korupsi yang tak terawasi dan bisa terlepas secara liar, misalnya
kementerian-kementerian, lembaga-lembaga negara, pemerintah daerah, DPRD.
Sungguh mengerikan kalau hal itu terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar