Menebak Arah BI Rate
Paul Sutaryono ; Pengamat Perbankan dan
Mantan Assistant Vice President BNI
|
KORAN
SINDO, 26 Februari 2015
Pada
17 Februari 2015, Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan 25 basis
point (BP) atau 0,25% dari 7,75% menjadi 7,50%. Nah, ketika kelak suku bunga
acuan Amerika Serikat (The Fed Funds
Rate) jadi naik dari 0,25% menjadi minimal 1–2%, apakah BI Rate bakal
kembali naik? Selama ini, inflasi menjadi salah satu faktor yang mendorong BI
untuk mengubah BI Rate. Ini buktinya. BI Rate mulai mendaki dari 7,25% per
Oktober 2013 menjadi 7,50% per November 2013 pada saat inflasi 8,37%.
Level
BI Rate itu bertahan selama 13 bulan hingga November 2014. Padahal, inflasi
telah menipis hingga menyentuh level terendah 3,99% per Agustus 2014.
Sebaliknya, BI Rate justru mendaki lagi menjadi 7,75% pada 18 November 2014
segera setelah pemerintah mengumumkan kenaikan BBM bersubsidi. Kenaikan itu
sempat membuat pelaku bisnis dan perbankan terpana.
Meskipun
jauh sebelumnya BI sudah memberikan sinyal kenaikan BI Rate mengingat inflasi
bakal mencapai kisaran 7,7% pada akhir Desember 2014. Eh, inflasi malah lebih
tinggi lagi mencapai 8,36%. Apakah penurunan BI Rate itu dan ketika inflasi
menjinak menjadi 6,96% per Januari 2015 akan menyetrum suku bunga kredit
untuk ikut menurun? Jawabannya amat mudah: tidak secepat seperti yang
diharapkan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Formulanya,
ketika BI Rate naik, suku bunga deposito akan segera naik pula. Namun
sebaliknya, tatkala BI Rate turun, suku bunga deposito tidak akan otomatis
segera turun. Mengapa? Lantaran sebelumnya bank nasional telah mengeluarkan
biaya lebih besar berupa kenaikan suku bunga deposito yang lebih tinggi
daripada biasanya.
Dengan
bahasa lebih lugas, suku bunga deposito akan menurun pelan-pelan (gradually). Nah, manakala suku bunga
deposito mulai menguncup, maka suku bunga kredit akan mengempis pelan-pelan
pula. Sejauh mana tingkat suku bunga rata-rata kredit bank umum? Statistik
Perbankan Indonesia, November 2014 yang terbit medio Januari 2015 menunjukkan
suku bunga ratarata (dalam rupiah) untuk kredit modal kerja mekar 2 BP
(0,02%) dari 12,83% per Oktober 2014 menjadi 12,85% per November 2014.
Suku
bunga rata-rata kredit konsumsi juga tumbuh mekar 10 BP (0,10%) dari 13,43%
menjadi 13,53%. Sebaliknya, suku bunga rata-rata kredit investasi justru
menipis 2 BP (0,02%) dari 12,40% menjadi 12,38% pada periode yang sama.
Opsi Utama
Pertanyaan
berikutnya, apakah BI Rate bakal melonjak lagi pascakenaikan suku bunga The
Fed minimal menjadi 1–2% yang diprediksi pada semester I/2015? Ada dua opsi
utama yang dapat dipertimbangkan. Pertama, BI Rate akan naik minimal 25 BP
(0,25%) kembali menjadi 7,75%.
Kalau
BI memilih opsi ini, perang suku bunga deposito akan pecah lagi. Untunglah,
OJK sudah menetapkan batas atas suku bunga deposito di atas Rp2 miliar
efektif 1 Oktober 2014. Namun, intervensi itu tetap tak mampu menahan
kenaikan suku bunga kredit karena kenaikan suku bunga deposito berarti
kenaikan pula biaya dana (cost of fund).
Likuiditas akan kian ketat.
Ujungnya,
tingkat efisiensi yang tecermin pada rasio beban operasional terhadap
pendapatan operasional (BOPO) akan menebal. Lirik saja, BOPO bank umum yang
merupakan representasi enam kelompok bank sudah mendaki dari 73,95% per
November 2013 menjadi 76,16% per November 2014. Bagaimana bank nasional mampu
bersaing dengan bank negara ASEAN dengan BOPO 40–60%? Daya saing bank
nasional menjadi kian rendah.
Padahal
peningkatan daya saing itu amat dibutuhkan dalam era Masyarakat Ekonomi
ASEAN. Kedua, apakah BI perlu menahan BI Rate sebesar 7,50%? Ya! Mengapa?
Karena level itu masih cukup memadai dalam mencegah pelarian dana (capital
flight). Coba bandingkan dengan suku bunga acuan negara ASEAN seperti
Singapura 0,39%, Thailand 2%, Malaysia 3,25%, Filipina 4%, dan Vietnam 6,50%.
Sementara suku bunga acuan negara berkembang (emerging markets) lainnya,
Korea Selatan 2%, Meksiko 3%, Cile 3%, dan Afrika Selatan 5,75%.
Dengan
bahasa lebih bening, BI Rate masih memadai untuk menarik minat investor asing
agar tidak lari ke lain hati. Apalagi, Fitch Rating menyatakan sovereign
Indonesia BBB––dengan prospek stabil. Tegasnya, peringkat layak investasi (investment grade) Indonesia sejak 2011
masih tetap tidak berubah. Tegasnya, Indonesia tetap menjadi salah satu
tujuan investasi asing yang menarik lagi aman.
Sebelum
menanamkan investasi, investor asing pasti akan mencermati risiko negara (country risk) suatu negara misalnya
Indonesia. Country risk adalah
suatu cara pengukuran mengenai tingkat ketidakpastian politik dan ekonomi
dalam suatu negara yang dapat berdampak pada nilai pinjaman dan investasi di
negara tersebut (Alan C Shapiro, 1998).
Salah
satu lembaga pemeringkat country risk yang terkemuka adalah The PRS Group
yang menerbitkan International Country
Risk Guide (ICRG), yang memuat country
risk semua negara. ICRG mengelompokkan komponen risiko negara ke dalam
tiga risiko politik, ekonomi dan finansial. Tingkat risiko negara meliputi
risiko amat rendah, rendah, moderat, tinggi dan amat tinggi.
Kini
Indonesia berisiko negara moderat (moderate
country risk). Hal ini menjadi pertimbangan investor dalam berinvestasi.
Maka, pemerintahan Joko Widodo wajib menggenjot tingkat risiko Indonesia
menjadi risiko rendah (low risk)
seperti Singapura dan Malaysia. Ingat, kian rendah risiko suatu negara, akan
kian tinggi investasi sebagai salah satu tulang punggung dalam menyuburkan
pertumbuhan ekonomi nasional yang ditargetkan 5,7% pada 2015.
Saat
ini defisit transaksi berjalan mencapai 2,81% terhadap produk domestik bruto
(PDB) pada triwulan IV/2014. Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan
periode yang sama pada 2013 sebesar 2,50%. Oleh karena itu, di sisi fiskal,
pemerintah perlu menjaga tingkat defisit transaksi berjalan serendah mungkin.
Lantaran
makin rendah defisit transaksi berjalan, makin rendah pula kebutuhan dolar AS
bagi para importir untuk melakukan transaksi impor. Hal ini tentu saja akan
mendorong penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ringkas tutur,
hendaknya BI Rate bukan satu-satunya alat moneter dalam menanggapi kenaikan The Fed Funds Rate. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar