Istana
Rajawali atau Istana Kampret?
Bambang Soesatyo ; Sekretaris Fraksi Partai
Golkar dan Anggota Komisi III DPR RI; Presidium Nasional KAHMI; Wakil Ketua
Umum Kadin Indonesia
|
KORAN
SINDO, 23 Februari 2015
Tidak seperti biasa, guru bangsa Buya
Syafii Ma’arif melontarkan pernyataan pedas terhadap Presiden Jokowi atas pencalonan kapolri yang
terkesan gamang. Buya gusar karena Jokowi terkesan maju mundur dan gamang.
Buya mendesak agar Jokowi segera mengambil keputusan. “Kalau mau jadi burung rajawali, jadilah burung rajawali yang kuat
dan tegas. Kalau tidak, ya jadilah burung kalelawar (kampret),” kata
Buya.
Nah, ketika akhirnya Jokowi mengambil keputusan
membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai kapolri dan mengajukan nama baru
calon kapolri ke DPR, apakah dia telah menjadi seekor rajawali atau tetap
menjadi seekor burung kampret, wallahu awallahu alam. Yang pasti, Presiden
Joko Widodo masih jauh dari zona nyaman. Bahkan, Presiden kemungkinan akan
menghadapi tsunami politik.
Kebijakan menyudahi kisruh KPK-Polri ternyata justru
melahirkan masalah baru. Kini Presiden bahkan harus menghadapi kemarahan
partai politik pendukungnya dan juga kemarahan sebagian anggota DPR. Wacana
tentang penggunaan Hak Angket DPR segera mengemuka sebagai respons atas
keputusan Presiden membatalkan pelantikan Komisaris Jenderal Polisi Budi
Gunawan sebagai kepala Polri (kapolri) serta mengajukan Komisaris Jenderal
Badrodin Haiti sebagai calon kapolri.
Tekanan terbaru ini mungkin dirasakan sangat keras oleh
Presiden karena wacana hak angket kali ini justru diprakarsai oleh kekuatan
politik yang mendukungnya, utamanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP). Adalah Junimart Girsang, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP yang
pertama kali dan secara terbuka mewacanakan penggunaan hak angket itu. Dia
terang-terangan menyatakan kecewa karena Presiden membatalkan pelantikan
Budi.
Menurut dia, Presiden tidak bisa menolak apa yang sudah
diputuskan sidang paripurna DPR. Wacana yang diembuskan Junimart tampaknya
bukan sesuatu yang tiba-tiba atau atas nama pribadi. Kuat dugaan, wacana ini
merupakan produk dari pertemuan beberapa kader PDIP dengan Ketua Umum PDIP
Mewawati Soekarnoputri, Rabu (18/2). Mereka yang bertemu Megawati hari itu
antara lain Wasekjen PDIP Ahmad Basarah dan anggota DPR dari Fraksi PDIP
Herman Hery.
Segera setelah pertemuan di rumah Megawati itu
dilaksanakan, beredar sebuah draf hak angket dan atau hak interpelasi. Karena
DPR sudah memasuki masa reses, draf hak angket dan hak interpelasi DPR itu
diedarkan ke rumah masing-masing anggota DPR. Draf itu merefleksikan
kemarahan sebagian anggota DPR. Mereka menilai Presiden tidak menghormati
institusi DPR dengan cara mencampakkan kesepakatan pemerintah dan DPR perihal
calon kapolri.
Padahal, mayoritas fraksi di DPR sudah sepakat dengan
Presiden untuk memberhentikan Jenderal Sutarman sebagai kapolri dan mengangkat
Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kapolri yang baru. Proses pencalonan yang
akan dijalani Badrodin Haiti pun belum tentu mulus. Dinamika politik selama
masa reses DPR menjadi faktor yang sangat menentukan. Apalagi alasan
pencalonan Badroedin pun dinilai tidak jelas.
Surat Presiden Jokowi ke DPR terdiri atas dua lembar,
disertai lampiran biodata Komjen Badrodin Haiti. Lembar lainnya mencantumkan
alasan Presiden.
Di antaranya, “Berhubung
Komisaris Jenderal Polisi Drs Budi Gunawan, S.H, M.Si., ketika itu sedang
menjalani proses hukum sebagai tersangka pada Komisi Pemberantasan Korupsi
berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik- 03/01/01/2015,
tanggal 12 Januari 2015, dipandang perlu untuk menunda pengangkatan yang
bersangkutan sebagai Kapolri sebagaimana dipertimbangkan Presiden dalam
Keputusan Presiden Nomor 04/POLRI/TAHUN 2015 tentang penugasan Wakil Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Untuk Melaksanakan Tugas, Wewenang, dan
Tanggung Jawab Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia .”
Lalu, kalimat dalam paragraf berikutnya: “Mengingat bahwa pencalonan Komisaris
Jenderal Polisi Drs. Budi Gunawan S.H, M.S- sebagai Kapolri telah menimbulkan
perdebatan di masyarakat dan dalam rangka untuk menciptakan ketenangan di
masyarakat serta memperhatikan kebutuhan Kepolisian Negara Republik Indonesia
untuk segera dipimpin oleh seorang Kapolri yang definitif, kami mengusulkan
calon baru yaitu Komisaris Jenderal Polisi Drs Badrodin Haiti untuk mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Sebagai Kapolri.“
Jokowi mengirimkan surat itu pada hari terakhir masa
persidangan DPR, Rabu, 18 Februari 2015. Surat Presiden itu akan dibacakan di
sidang paripurna DPR pada 23 Maret 2015. DPR memiliki waktu 20 hari untuk
membahasnya.
Tsunami Politik
Kendati DPR menjalani masa reses, wacana tentang
penggunaan hak angket atau hak interpelasi DPR akan membuat suasana tetap
bising. Berarti badai kegaduhan di ruang publik belum berlalu. Bahkan,
kegaduhan itu akan bisa tereskalasi nantinya jika semua fraksi di DPR solid
untuk menggunakan salah satu dari dua hak itu.
Dan manakala penggunaan hak itu terlaksana, itulah saatnya
pemerintahan Presiden Jokowi Widodo diterjang tsunami politik. Patut
diibaratkan sebagai tsunami politik karena ketika hal itu benar-benar
terjadi, Presiden kemungkinan dibiarkan sendirian menghadapi DPR. Tidak ada
kekuatan politik di DPR yang akan pasang badan membela Presiden. Sebab wacana
penggunaan hak-hak itu sepertinya sudah mendapatkan dukungan awal dari
beberapa komponen KIH.
Tsunami politik bisa menerjang Presiden karena beberapa
kebijakan atau keputusan Presiden terbaru tidak dipersiapkan dan
dipertimbangkan dengan matang. Presiden bahkan cenderung meremehkan DPR.
Selain kasus pembatalan pelantikan Budi Gunawan, Presiden juga diduga kuat
melanggar UU ketika memperpanjang kontrak Freeport dan ketika menggagas Kartu
Indonesia Sehat serta Kartu Indonesia Pintar.
Untuk anggaran program Kartu Indonesia Sehat dan kartu
pintar ini, pemerintah belum pernah membahasnya bersama DPR. Adapun dalam
kasus batalnya pelantikan Budi Gunawan, wajar jika sebagian anggota DPR dan
PDIP marah karena merasa telahdibohongi Presiden Jokowi. Sebelumnya, selama
lebih dari satu bulan masyarakat dipaksa menerima kegaduhan sambil menunggu
Presiden menunjukkan sikap tegas dan mandiri dalam menggunakan hak
prerogatif.
Alih-alih konsisten dengan pilihannya terhadap Budi
Gunawann sebagai calon tunggal kapolri, Presiden Joko Widodo justru memaksa
dirinya sendiri berbohong kepada rakyat demi menyudahi kisruh Polri versus
KPK. Jokowi jelas telah membohongi publik, termasuk DPR dan PDIP.
Sebab, pada jumpa pers Jumat (16/1) malam di Istana
Merdeka, Jokowi dengan nada sangat tegas menjelaskan bahwa Budi Gunawan masih
berstatus calon tunggal kapolri meski sudah berstatus tersangka. Bahkan,
Jokowi juga menegaskan tidak membatalkan pelantikan BG sambil memberi
penekanan khusus pada kata penundaan. “Jadi menunda, bukan membatalkan. Ini
yang perlu digarisbawahi,” kata Jokowi saat itu.
Kini, faktanya sudah sangat jelas. Apalagi Jokowi pun
telah siap mengajukan Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai calon tunggal
kapolri. Sebelumnya, Jokowi setidaknya sudah tiga kali inkonsisten atau
ingkar janji. Pertama, janji membangun koalisi ramping. Janji ini tak
terpenuhi karena sejak sebelum dilantik menjadi Presiden, Jokowi masih
berharap tambahan anggota koalisi agar bisa menggenggam kekuatan dominan di
DPR. Janji kedua adalah koalisi partai politik (parpol) tanpa syarat.
Di kemudian hari, janji ini jadi bahan olok-olok lawan
politiknya karena Jokowi mengalokasikan 16 jabatan menteri untuk kader partai
pendukungnya. Janji ketiga adalah membentuk kabinet ramping. Janji yang satu
ini pun gagal dipenuhi Jokowi karena nomenklatur Kabinet Kerja justru
mengikuti postur Kabinet Indonesia Bersatu-II yang gendut.
Akhirnya bila kelak situasi mereda, Jokowi harus dapat
mengambil pelajaran penting dari apa yang terjadi dari kasus pencalonan
kapolri yang telah merusak hubungan antarlembaga tinggi negara, khususnya
dengan DPR dan kisruh KPK-Polri ini. Mengelola negara bukanlah sesederhana
mengelola sebuah kota yang hanya terdiri atas beberapa kecamatan. Selain
dibutuhkan sikap kenegarawanan, seorang presiden jugaharusterbebasdari
berbagai tekanan.
Baik dari parpol pendukung maupun dari kepentingan
kelompok LSM dan relawan. Presiden Jokowi masih memiliki banyak waktu untuk
memperbaiki keadaan. Khususnya dalam hal pengelolaan negara. Kita berharap,
ke depan Jokowi dapat menjaga agar Istana Presiden tetap menjadi istana
rajawali yang berwibawa dan menghadirkan solusi. Bukan sebaliknya, menjadi
istana kampret yang menjadi sumber masalah bagi bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar