Menegaskan
Kembali Politik Kebinekaan
Ahmad Fuad Fanani ; Direktur
Riset MAARIF Institute for Culture and Humanity;
Pengajar FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KORAN
SINDO, 03 Februari 2015
Akhir-akhir ini banyak peristiwa kekerasan di dunia yang
mengoyak perhatian dan rasa kemanusiaan kita. Kita menyaksikan kebrutalan
orang-orang yang melakukan penyerangan dan penghilangan nyawa secara paksa
terhadap orang-orang yang berbeda sikap.
Kondisi itu menunjukkan bahwa penghargaan terhadap
keberagaman atau kebinekaan belum menjadi sikap hidup pada sebagian orang.
Banyak yang menyelesaikan perbedaan pendapat, perbedaan paham, dan perbedaan
golongan dengan cara kekerasan, bahkan pembunuhan.
Kebinekaan yang merupakan sunnatullah belum menjadi jati
diri dan sikap hidup banyak orang. Yang lebih ironis, sikap hidup yang
menjunjung sektarianisme dan intoleransi justru banyak dijadikan acuan dan
pegangan. Klaim tunggal kebenaran dan keinginan untuk memaksa orang lain
mengikuti pendapatnya, sekalipun itu dengan paksaan, masih mendominasi wajah
sosial, budaya, dan politik banyak orang di dunia.
Tantangan Nyata
Di tanah air, prinsip kebinekaan yang sejatinya sudah
dicanangkan oleh the founding fathers
and mothers bangsa ini dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, juga masih
menyisakan banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Warisan pada masa
lalu tentang bagaimana sikap negara yang belum tegas terhadap kelompok
minoritas, kelompok yang berbeda dengan mainstream,
dan kelompok yang terpinggirkan yang hingga hari ini belum terselesaikan.
Kelompok-kelompok itu masih mengalami kesulitan dalam
mengekspresikan keyakinan dan prinsip keagamaannya. Tak jarang mereka juga
menerima kekerasan, baik verbal maupun nonverbal. Padahal, konstitusi
Indonesia secara jelas menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama
dan berkeyakinan pada seluruh warganya.
Dalam konstitusi, Negara Indonesia berprinsip melindungi
segenap warga negaranya. Dari prinsip itu, tidak ada kategori the first class citizenship ataupun the second citizenship. Semua setara
dan harus mendapatkan hak yang sama. Negara yang mestinya bersikap imparsial
dan melindungi kelompok minoritas, tampaknya masih enggan untuk menyelesaikan
masalah-masalah tersebut secara cepat dan tepat.
Hingga hari ini, kita sepertinya belum pernah mendengar
pernyataan resmi dari Presiden Jokowi tentang Ahmadiyah, Syiah, dan kelompok
minoritas (Alamsyah M. Djafar, 2015). Tentu hal itu menjadi tantangan bagi
politik kebhinnekaan di negeri ini. Dengan track record dan legitimasi politik yang dimilikinya, Jokowi
semestinya bisa membuat langkah-langkah serius untuk menegakkan politik
kebinekaan di negeri ini.
Tentu saja politik kebinekaan yang tidak hanya melihat
soal minoritas dari sudut pandang kuantitas atau numerikal, tapi juga politik
kebinekaan yang berkeadilan. Tantangan politik kebinekaan itu pada dasarnya
tidak hanya datang dari negara, namun juga dari masyarakat. Dalam beberapa
riset yang dimuat pada Jurnal MAARIF Vol. 9. No. 2, Desember 2014 dengan tema
”Politik Kebhinnekaan di Indonesia:
Tantangan dan Harapan”, terlihat masih banyak masyarakat yang berperilaku
intoleran dan menyalahkan kelompok lain seperti Ahmadiyah, Syiah, dan
kelompok minoritas agama lokal. Sebagian masyarakat, misalnya, belum bisa
menerima pemimpin dari kelompok minoritas, meskipun hal itu dijamin oleh
konstitusi.
Penolakan terhadap pemimpin dari kelompok minoritas dengan
legitimasi agama, masih menjadi pemandangan yang biasa. Ada sebagian yang
memilih melalu jalur informal, dibandingkan jalur konstitusional. Secara
garis besar, tantangan politik kebinekaan di Indonesia tampak pada dua hal:
tantangan sosiokultural dan tantangan struktural.
Tantangan sosiokultural itu terlihat pada sikap sebagian
masyarakat yang intoleran, memilih paham sektarianisme, dan menjadi pengikut
fanatik yang antikritik. Selain itu, banyak kelompok (un)civil society yang berperan menjadi paramiliter dan melakukan
aksi-aksi kekerasan baik verbal maupun nonverbal, terhadap kelompok yang
berbeda (Verena Beittinger-Lee,
(Un)Civil Soceity and Political Change in Indonesia: A contested arena, 2009).
Tantangan strukturalnya adalah aparat yang tidak tegas dan
masih banyaknya produk hukum yang diskriminatif. Pemerintah yang mestinya
imparsial dan menjadi penentu di masyarakat sering terlihat gamang dalam
menentukan kebijakan dan sikap ketegasan.
Perlunya Optimisme
Meskipun politik kebinekaan Indonesia masih menghadapi
banyak tantangan di masa depan, kita seyogianya tetap optimistis dan menjaga
harapan. Kultur masyarakat Indonesia yang bisa hidup rukun dan damai bersama
kelompok lain adalah modal sosial yang tinggi bagi terciptanya politik
kebinekaan.
Model Islam Indonesia yang moderat dan sejuk yang berbeda
dengan Islam ala Arab, juga merupakan modal besar bagi Indonesia untuk
menyemai politik kebinekaan. Harapan itu juga tampak dari visimisi pemerintahan
Jokowi-JK yang menempatkan intoleransi sebagai agenda pokok bangsa.
Visi-misi itu menyatakan bahwa konflik sektarian dan
berbagai bentuk intoleransi menyebabkan jati diri bangsa ini terkoyak.
Visi-misi itu harus segera diturunkan menjadi kebijakan dan sikap para
aparatur negara. Jika berhenti di sini, tentu akan menjadi visi-misi yang
miskin aksi dan hanya menjadi slogan kampanye saja.
Langkah proaktif menteri agama yang sering berdialog
dengan tokoh agama dan kelompok minoritas untuk mencari solusi terhadap
berbagai permasalahan sosial keagamaan, juga menambah harapan baru. Terlebih,
Kementerian Agama juga sedang menyiapkan UU perlindungan umat beragama.
Harapan masa depan politik kebinekaan juga terlihat dari
banyaknya individu- individu dan institusi-institusi di negeri ini yang masih
percaya bahwa kebinekaan adalah berkah dan nilai kebaikan untuk membangun
Indonesia yang lebih maju. Kerja sama antarinstitusi untuk memperkuat
kebinekaan dan kerjakerja untuk menanamkan kesadaran itu secara lebih masif
ke masyarakat, tentu harus terus konsisten diagendakan.
Yang juga penting adalah perlunya merumuskan model politik
kebinekaan yang lebih pas untuk konteks Indonesia. Sebagaimana dicatat oleh
Will Kymlicka (2002), multikulturalisme telah menjadi gerakan sosial dan
gerakan politik identitas untuk memperjuangkan kehidupan masyarakat yang
selama ini termarjinalisasi oleh kekuatan rezim atau paham keagamaan.
Politik kebinekaan
di Indonesia seyogianya bisa menjadi gerakan sosial yang progresif, yaitu
gerakan yang memperjuangkan tegaknya supremasi sipil dan membentuk warga
negara yang kritis; jadi bukan hanya menjadi partisipan pasar yang baik.
Sebagai gerakan sosial, politik kebinekaan jangan hanya berhenti sebagai
politik identitas, tapi juga sebagai kebijakan publik yang bersifat aktif dan
mengandung komitmen untuk melakukan perubahan sosial agar keadilan sosial dan
ekonomi bisa benar-benar terjadi.
Dalam agenda perjuangan untuk melakukan redistribusi
sosial itu, politik kebinekaan seharusnya bukan hanya menyentuh soal agama,
etnis, budaya saja; namun juga hak-hak orang yang terpinggirkan oleh rezim
kekuasaan. Mungkin model politik kebinekaan yang seperti bisa diterapkan di
Indonesia yang selain menghadapi banyak persoalan agama dan budaya, juga masih
banyak persoalan ekonomi dan pemerataan pembangunan yang juga patut
diperhatikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar