Memartabatkan KPK
Hifdzil Alim ; Dosen Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum
(FSH)
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 24 Februari 2015
PRESIDEN Joko Widodo telah
mengambil kebijakan terkait dengan kriminalisasi KPK. Tiga orang ditunjuk
mengisi kursi pimpinan yang kosong si komisi antirasuah itu.
Taufiequrachman Ruki diangkat
sebagai ketua sementara menggantikan Abraham Samad, sedangkan Johan Budi
Sapto Prabowo menggantikan sementara Bambang Widjojanto. Adapun Indiryanto
Seno Adji mengisi tempat Busyro Muqoddas, yang memang sudah berakhir masa
baktinya. Harapannya, tiga orang pilihan Presiden itu mampu menjaga martabat
atau marwah KPK sebagai pemberantas korupsi.
Namun yang mengagetkan, setelah
pelantikan, Ruki mengeluarkan pendapat bahwa bisa saja kasus Komjen Budi
Gunawan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Kenapa mengagetkan? Karena komisi
antikorupsi itu tak biasa, atau bahkan belum pernah, mengambil opsi itu.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur lembaga antikorupsi
itu berwenang melakukan koordinasi dan supervisi.
Jadi, komisi itu berhak
mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Adapun berkait
supervisi, komisi tersebut berhak mengawasi, meneliti, atau menelaah instansi
yang menjalankan tugas pemberantasan korupsi atau pelayanan publik. Artinya,
hukum memberikan ruang kepada KPK untuk mengomandoi pencegahan dan
pemberantasan korupsi.
Sampai tahap ketika kepolisian dan
kejaksaan tak sanggup menangani kasus korupsi yang melibatkan penegak hukum, penyelenggara
negara, atau orang yang berkait dua kelompok itu, meresahkan masyarakat,
dan/atau dengan kerugian di atas Rp 1 miliar maka KPK dapat mengambil alih.
Pasal 8 Ayat (3) UU KPK menyatakan,
’’Dalam hal KPK mengambil alih
penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan
tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang
diperlukan dalam waktu 14 hari, terhitung sejak tanggal diterimanya
permintaan KPK’’. Pasal ini menunjukkan alur supervisi dari kepolisian dan
kejaksaan ke KPK, bukan sebaliknya: dari KPK ke kepolisian dan kejaksaan.
KPK-lah yang mengambil penyidikan
dan penuntutan kasus dari kepolisian dan kejaksaan (top-down), dan bukannya
kepolisian dan kejaksaan yang mengambil penyidikan dan penuntutan dari KPK
(bottom- up). Mengapa demikian? Pasalnya hal ini berkaitan dengan martabat
KPK yang menjadi pemimpin utama penanganan korupsi.
Bila KPK benar-benar melimpahkan
penyidikan kasus Budi ke Kejagung maka sangat menggelikan dan bisa jadi
bertentangan dengan undangundang. Andai pelimpahan kasus setelah penyidikan
tidak diperbolehkan, bolehkah dilakukan sebelum penyidikan? Hukum hanya
mewanti-wanti pascapenyidikan dan pascapenuntutan.
Logikanya, prapenyidikan dan
prapenuntutan dugaan kasus yang mampir ke KPK boleh diteruskan ke eksternal.
Ketentuan pada bagian sidik sangat berkait Pasal 40 UU Nomor 30 Tahun 2002:
’’KPK tak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan
penuntutan.”
Jika misalnya, KPK melimpahkan
kasus Budi ke Kejagung maka tersangka dan semua dokumen yang berkait pun
harus diserahkan. Lalu apa baju hukum administratif yang dipakai sebagai
dasar hukum pelimpahannya. Apakah SP3? Padahal, SP3 KPK dilarang oleh
undang-undang. Maknanya, selain penyidikan dan penuntutan, KPK bisa
meneruskan dugaan kasus ke instansi lain.
Kurang Tepat
Contoh, laporan tahunan KPK 2013
memaparkan, ada 2.119 laporan yang ditindaklanjuti ke pihak eksternal. BPK
menerima 26 laporan, dan berturut-turut BPKP (4), Bawasda (1), Itjen dan LPND
(50), Kejaksaan (63), Kepolisian (34), MA (65) lainnya (3), serta tanggapan
atas pengaduan 1.873 laporan.
Penerusan laporan yang belum
sampai tahap sidik dan tuntut juga menjadi bagian dari fungsi KPK sebagai trigger mechanism, mendorong penegak
hukum lain untuk juga aktif dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Pendek kata, KPK kurang tepat melimpahkan kasus Komjen Budi ke Kejagung.
Lalu, bagaimana memeriksa kasus
jenderal bintang tiga itu ketika sidang praperadilan yang diputus Hakim
Sarpin Rizaldi di PN Jakarta Selatan (16/2/15) menyatakan penetapan tersangka
oleh KPK tidak sah? Komisi antikorupsi itu harus mengambil upaya hukum biasa
atau luar biasa yang disediakan oleh undang-undang.
Kabarnya KPK sudah
mengajukan kasasi atas putusan praperadilan Budi. Hal ini bisa mengacu Pasal 10
Ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berarti MA harus
memeriksa permohonan kasasi dari KPK.
Atau misalnya, KPK juga dapat
menempuh upaya hukum luar biasa, berupa peninjauan kembali (PK). Rapat kamar
pidana MA tanggal 19-20 Desember 2013 memutuskan bahwa PK untuk putusan
praperadilan diperbolehkan bila ditemukan indikasi penyelundupan hukum.
Ini adalah upaya hukum yang
dilindungi undang-undang untuk menjaga marwah KPK sebagai pemberantas korupsi.
Apakah kasasi atau PK KPK akan diterima? Biarlah itu menjadi domain
pengadilan yang bertugas memutus perkara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar