Percepat
Penuntasan Kasus BLBI
M Bashori Muchsin ; Guru
Besar;
Direktur Program Pascasarjana dan Plt Rektor Universitas
Islam Malang
|
KORAN
JAKARTA, 03 Februari 2015
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mengapresiasi
pihak yang kooperatif memberi keterangan dalam kasus dugaan kejahatan
pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI). KPK juga harus tegas terhadap pejabat yang bersaksi palsu atau
berusaha memutarbalikkan fakta megaskandal BLBI guna menutupi kejahatan
perbankan tersebut.
Direktur Eksekutif Indonesian
Resources Studies (Iress), Marwan Batubara, minta KPK fokus mengungkap
ketidakadilan selama 16 tahun penanganan BLBI. KPK tidak perlu peduli dengan
beragam upaya menghalang-halangi penuntasan kasus tersebut, termasuk isu
Cicak vs Buaya, jilid baru. KPK harus fokus mencari pelaku utama kasus BLBI (Koran Jakarta, 31 Januari 2015).
KPK harus menjaga bangsa Indonesia jangan sampai masuk ke
jurang bencana yang mengerikan akibat beban utang warisan pengemplang atau
“pencoleng” BLBI. Untuk itu, KPK harus bergerak cepat dengan meningkatkan
status dari penyelidikan perkara pemberian surat keterangan lunas (SKL) BLBI
kepada 10 obligor nakal menjadi penyidikan.
Peningkatan status akan membuat bangsa memunyai harapan
baru mengurangi beban berat utang. Ekspektasi rakyat terhadap KPK dalam
membongkar megakejahatan itu sangat tinggi. Rakyat ingin Indonesia ke depan
berubah menjadi lebih sejahtera. Bongkar BLBI secara ujur, transparan,
egaliter, dan profesional.
KPK diingatkan, juga mesti memahami bahwa selama 16 tahun
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terkuras untuk membayar
kewajiban pengemplang BLBI melalui pos belanja pembayaran obligasi rekap.
Padahal, anggaran yang didapat dari pajak rakyat itu seharusnya bisa
digunakan untuk program peningkatan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan
kemandirian pangan.
Selain itu, KPK harus mencari dan mendalami proses yang
diduga kuat telah terjadi rekayasa pencatatan buku keuangan dengan label
reprofiling atau penyebaran beban utang secara merata sampai tahun 2043 utang
BLBI. Reprofiling utang pengemplang BLBI ini sinonim dengan manipulasi. Ini
jelas harus diusut dan diperkarakan sebagai kriminal serius (exstra
ordinary crime).
Indikasi adanya praktik manipulasi data atau penyesatan
berbagai informasi, yang membuat mantan Presiden Megawati dan Susilo Bambang
Yudoyono, patuh untuk membayar utang, haruslah dijadikan prioritas
investigasinya oleh KPK.
Itu menunjukkan bahwa utang menjadi masalah terbesar.
Nasib jutaan rakyat digadaikan demi kepentingan 10 obligor terbesar BLBI.
Padahal, BLBI sejatinya wujud exstra ordinary crime akibat kepiawaian 10
obligator dalam mengelabuhi pemerintah.
Tokoh-tokoh reformasi yang lesu darah dalam memperjuangkan
terbongkarnya kasus BLBI, tidak boleh diikuti KPK. Sebagai lembaga yudisial
khusus, KPK harus menunjukkan kapabilitas istimewanya untuk melakukan
terobosan yang spektakuler dalam membongkar obligator nakal. KPK sudah
berkali-kali diingatkan menjadi satu-satunya harapan untuk menyelesaikan
skandal BLBI. Dengan kekuasaan yang begitu besar, KPK semestinya bisa
secepatnya menuntaskan kasus BLBI.
Dari versi umum, badan evaluasi independen dalam tubuh IMF
(Independent Evaluation Office)
mengakui bahwa IMF telah melakukan banyak kesalahan di Indonesia. Yang paling
mencolok ialah penutupan 16 bank tanpa persiapan matang sehingga melahirkan
BLBI sebesar 144 triliun rupiah dari BI ditambah Obligasi Rekapitalisasi
Perbankan sebesar 430 triliun. Kemudian, kewajiban pembayaran bunga 600 triliun.
Totalnya, 1.174 triliun rupiah.
Prioritaskan
Skandal BLBI yang penyelesaiannya dimanipulasi menjadi
utang negara melalui penerbitan obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI
itu disebut-sebut menjadi biang dari membengkaknya utang pemerintah. Anggaran
negara tiap tahun makin minim alokasi untuk pembangunan karena tersedot guna
membayar utang obligor pengemplang BLBI. Intinya, sebagian besar rakyat
sengsara akibat utang, sementara segelintir manusia lain ongkang-ongkang,
duduk di atas penderitaan orang banyak (Ubaidillah,
2015).
Berdasarkan penghitungan rasional, pemerintah masih
memiliki hak tagih sedikitnya 800 triliun rupiah yang bisa digunakan untuk
menambah dana pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan 250 juta rakyat.
Dalam ranah itu, KPK memunyai peran melicinkan jalan kepada pemerintah untuk
menggunakan hak tagihnya. Sebab KPK dapat membongkar mekanisme yang diduga
tidak sehat atau hanya menguntungkan obligator.
Ketika mekanisme yang diduga cacat itu dibongkar, besar
peluang bagi pemerintah untuk mengembalikan hak rakyat yang dijarah obligator
hitam. KPK sedapat mungkin harus mengamankan kekayaan rakyat yang dicuri para
koruptor itu.
KPK akan dikenang bangsa sebagai pahlawan jika mampu
melaksanakan hak tagih terhadap obligor BLBI yang enggan melunasi utangnya
itu, meski obligator nakal menganggap sudah lunas.
Utang-utang yang dicicil pemerintah selama ini, menurut
Rafick, dalam Catatan Hitam 5 Presiden Indonesia (halaman 38) tidak ubahnya
sebagai bentuk pengalokasian upeti triliunan rupiah untuk membayar cicilan
utang luar negeri, plus bunga. Ditambah lagi utang dalam negeri hasil sulapan
IMF dan bunganya
Negara hanya dijadikan permainan para penjarah uang
rakyat. Negara bisa dibilang sudah menderita kekalahan minimal 16 tahun. Ini
semua diindikasikan kuat akibat dukungan tangan-tangan gaib (the invisible
hands) yang memproteksi BLBI.
Selama ini, sudah berkali-kali pimpinan KPK berjanji
mengungkap skandal BLBI dalam waktu cepat. Sisa waktu 11 bulan KPK harus
memprioritaskan penyelesaian skandal BLBI. Keberhasilan menjerat 10 besar
obligor BLBI menjadi pertaruhan KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar