MEDIA
INDONESIA, 27 Februari 2015
Bukan (Hukum) Thaghut
Hasibullah Satrawi ; Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida)
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Februari 2015
ENTAH sampai
kapan negeri ini akan terbebas dari kegaduhan hukum yang melibatkan para ahli
hukum dan eliteelite bangsa. Sangat miris. Apalagi di era keterbukaan media
seperti sekarang, kegaduhan hukum yang terjadi acap berlangsung secara
langsung (live) dan ditonton bebas
oleh masyarakat luas.
Ibarat dalam
kehidupan keluarga, sejatinya para elite bangsa dan para penegak hukum menjadi
orangtua yang memberikan keteladanan bagi anak-anak terkait dengan halhal
baik yang harus dilakukan dan hal-hal buruk yang harus ditinggalkan. Namun,
`para orangtua bangsa' itu justru acap bertengkar dan saling serang secara
terbuka di hadapan anak-anak bangsa ini.Bahkan dalam kegaduhan hukum mutakhir
KPK versus Polri, tontonan buruk itu berlangsung selama kurang lebih 864 jam
(dari 9 Januari-18 Februari).
Perilaku thaghut
Hal yang
harus diingat para elite bangsa dan para ahli hukum ialah bahwa ada kelompok-kelompok
yang selama ini anti terhadap NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Alih-alih
menerima, kelompok anti-NKRI justru kerap berjuang untuk segera mengakhiri
era NKRI untuk kemudian diganti dengan sistem kenegaraan lain yang mereka
imani.
Perjuangan
yang dilakukan kelompok-kelompok anti-NKRI beraneka ragam, sesuai dengan
garis perjuangan masing-masing. Mulai perjuangan-perjuangan keras bercorak
konfrontasi langsung seperti kerap dilakukan kelompok teroris (belakangan
juga ISIS) hingga perjuangan lembut tapi sangat mematikan seperti dilakukan
gerakan khilafah. Semua gerakan seperti itu bersifat anti terhadap NKRI,
walaupun ada perbedaan antara satu kelompok dan kelompok lain terkait dengan
hal-hal yang bersifat teknis dan strategis.
Salah satu
alasan utama kelompok-kelompok seperti itu dalam menolak NKRI ialah sistem
kenegaraan dan hukum yang digunakan tidak berasal dari Allah.
Kelompok-kelompok seperti itu kerap menyebut sistem kenegaraan dan hukum yang
berlaku di Indonesia dengan istilah hukum thaghut.
Thaghut merupakan bahasa Arab yang di
dalam Alquran kerap digunakan sebagai bahasa simbol atas sebuah keburukan,
baik keburukan yang berbentuk sistem (seperti syaitan) ataupun keburukan yang
bersifat personal (seperti Firaun di Mesir yang dikenal lalim dan tiran).
Perlu
ditegaskan, yang menjadi ukuran dari keburukan bukan sumber ataupun asalnya,
Melainkan objek dari sebuah perbuatan. Apa pun bentuknya, keburukan ialah
keburukan, tak peduli siapa yang melakukan, dari mana sumbernya atau asalnya,
atau apa pun atas namanya.
Namun, di
kalangan kelompok anti-NKRI, yang menjadi perhatian utama justru sumber dan
asal, khususnya terkait dengan sistem kenegaraan. Dalam pola pikir seperti
itu, kelompok anti-NKRI menolak sistem yang ada karena dianggap tidak berasal
dan tidak bersumber dari Allah sebagai puncak dari segala sumber. Kelompok
itu pun menyebut sistem hukum dan kenegaraan yang berlaku di Indonesia dengan
istilah hukum thaghut.
Pandangan
seperti itu tentu tidak dapat dibenarkan. Sebagaimana telah disampaikan,
label thaghut lebih terkait dengan perbuatan, bukan dengan sebuah peraturan,
apalagi asal muasal dari peraturan tersebut. Sadisme dan kekejaman seperti
kerap dilakukan ISIS dan kelompok teroris-anarkistis selama ini ialah perilaku
thaghut, walaupun kekejaman
tersebut kerap dilakukan atas nama agama bahkan Allah. Sangat ironis,
sebagian elite dan penegak hukum di Republik ini belakangan justru terjebak
dalam perilaku thaghut. Bila kelompok teroris kerap melakukan keburukan-keburukan
thaghut atas nama agama, sebagian
elite dan penegak hukum kita justru melakukannya atas nama sistem hukum dan
kenegaraan yang berlaku di Indonesia dan selama ini kerap dilabeli thaghut oleh kelompok antiNKRI.
Dalam konteks
seperti itu, kegaduhan politik dan hukum seperti terjadi belakangan ini
justru menguntungkan kelompok anti-NKRI. Di satu sisi mereka diuntungkan
karena NKRI yang sangat mereka benci perlahan terus bergoyang akibat ulah
dari para elitenya sendiri. Di sisi lain, pelbagai macam kegaduhan politik
dan hukum yang ada justru semakin membuat kelompok anti-NKRI bertambah mantap
dan kuat atas keyakinan yang mereka yakini selama ini, terkait dengan sistem
hukum dan kenegaraan sebagaimana telah disampaikan di atas.
Pembuktian
Oleh karena
itu, sejatinya para pejabat negara, para ahli hukum beserta penegak hukum,
dan segenap elite bangsa ini sejatinya menggunakan amanah yang ada untuk
membuktikan kebenaran dari sistem hukum dan kenegaraan yang ada. Bukan justru
terjebak dalam perilaku thaghut
yang sewenang-wenang, otoriter, dan mengabaikan kepentingan umum hanya demi
kepentingan baik individu tertentu maupun kelompok.
Semua pihak
harus membuktikan bahwa walaupun tidak mengatasnamakan agama, sistem hukum
dan kenegaraan yang digunakan di Indonesia memperhatikan nilai-nilai luhur
agama dan bahwa sistem hukum dan kenegaraan yang ada menjunjung tinggi
keadilan, kebenaran, dan kesetaraan yang dijunjung tinggi oleh agama-agama.
Pembuktian
itu menjadi sangat penting untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa
yang menjadi citacita bersama dalam berbangsa dan bernegara. Masyarakat tidak
bisa selamanya hanya `dijanjikan' kesejahteraan dan kemajuan oleh rezim demi
rezim, sedangkan kenyataan hidup mereka selalu jauh dari kesejahteraan dan
kemajuan.
Di samping
itu, pembuktian ini juga dalam rangka menampakkan kebenaran ijtihad politik
yang telah ditetapkan para pendiri bangsa ini. Secara historis, pilihan NKRI
sebagai sistem berbangsa dan bernegara bukan tanpa risiko, terutama bagi para
tokoh agama dari banyak golongan.
Dikatakan
demikian karena di satu sisi, pada zaman prakemerdekaan semua sistem
kenegaraan mempunyai peluang kurang lebih sama untuk dipilih dan ditetapkan
dan di sisi lain karena kelompok-kelompok pejuang negara agama bahkan sudah
ada pada zaman kemerdekaan bangsa ini. Atas dasar kebangsaan yang melampaui
sekat-sekat agama dan suku, atas dasar nilai-nilai luhur agama yang melampaui
ritus-ritusnya sendiri, para tokoh agama bervisi kebangsaan memilih dan
menetapkan NKRI sebagai sistem negara bagi bangsa ini. Bahkan di kalangan
ormas keagamaan bervisi kebangsaan seperti NU, NKRI sudah final sejak
dilahirkan, pada saat dijalankan, dan akan tetap final pada masamasa yang
akan datang.
Sejauh ini,
ijtihad politik dari para pendiri bangsa semakin terbukti kebenarannya.Di
saat bangsa-bangsa berpenduduk mayoritas muslim terlibat dalam perang saudara
berkepanjangan seperti di negara-negara Timur Tengah, Indonesia tampak
semakin kukuoh menaungi segenap anak
bangsa dalam aneka ragam agama, aliran, pemahaman, dan kebudayaan.
Oleh karena
itu, pelbagai macam kegaduhan politik dan hukum harus segera diakhiri dan
tidak diulang kembali. Kegaduhan seperti itu bisa disebut sebagai perilaku thaghut, yakni sebuah perilaku atas
nama hukum yang dilakukan secara sewenang-wenang dan jauh dari rasa keadilan.
Sangat ironis karena hal itu justru dilakukan sebagian elite, penegak hukum,
dan mungkin juga ahli hukum.
Bila
kegaduhan politik dan hukum terus dilakukan seperti sekarang, hal itu sama
dengan menggali kuburan sendiri bangsa ini. Sebaliknya kelompok anti-NKRI
senantiasa siap siaga untuk benar-benar mengubur bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar