Misteri Mafia Beras
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat;
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia (AEPI);
Peminat Masalah Sosial-Ekonomi
Pertanian dan Globalisasi
|
KOMPAS,
28 Februari 2015
Reformasi
telah mengubah peran pemerintah di satu sisi serta peran swasta, warga sipil,
dan dunia internasional di sisi lain. Perubahan terjadi di level politik,
tetapi tidak pada sistem ekonomi. Ini ditandai dengan peran negara yang kian
ciut, sebaliknya swasta dan kaum kapitalis kian sulit diatur. Hasilnya,
kehadiran negara lewat pelbagai lembaga pengemban pelayanan publik kian
lumpuh. Hari-hari ini kita menjadi saksi negara yang lumpuh, tecermin dari
ketidakberdayaan dalam mengendalikan harga beras.
Mengapa
dari tahun ke tahun masalah ini tak pernah berubah? Di manakah kehadiran
negara? Konstitusi mengamanatkan agar negara selalu hadir dalam setiap
permasalahan warga. Dalam UU Nomor 18/2012 tentang Pangan dan UU Nomor 7/
2014 tentang Perdagangan diatur kewajiban negara untuk menjadi stabilisator
harga pangan.
Bahkan,
komitmen ”negara hadir” juga dituangkan dalam Nawacita Presiden Jokowi dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam butir 1 Nawacita ditegaskan: ”Menghadirkan
kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada
seluruh warga negara.... ” Adapun dalam butir 2: ”Membuat pemerintah tidak
absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif,
demokratis, dan tepercaya.... ”
Seperti
layang-layang putus, tiga minggu terakhir harga beras lepas tak terkendali.
Jika semula kenaikan harga beras hanya terjadi di Jakarta dan sekitarnya,
kini menular ke sejumlah daerah. Biasanya, saat musim paceklik terjadi
kenaikan harga 10%. Tapi kenaikan kali ini sudah mencapai 30%.
Menteri
Perdagangan Rachmat Gobel menuding ada mafia beras yang bermain mengeruk
keuntungan dari situasi ini. Ini bukan hal baru. Di pemerintahan lalu,
tudingan ada mafia beras berulang kali dilemparkan. Namun tak ada satu pun
yang bisa membuktikan. Juga tak ada satu pun yang diseret ke meja hijau.
Benarkah ada mafia beras?
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi IV, 2013), mafia dimaknai sebagai
”perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal)”. Merujuk
pada definisi itu, tidak tepat menyematkan kata ”mafia” pada beras. Lebih
tepat kata kartel. Barangkali ini yang dimaksud Menteri Gobel.
Kartel–
yang dimaknai sebagai kerja sama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk
mengoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan
harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat
keuntungan yang wajar–secara klasik dapat dilakukan melalui tiga hal, yakni
harga, produksi, dan wilayah pemasaran.
Mudah
didefinisikan, tetapi kartel tidaklah mudah dibuktikan. Apalagi sebagian
besar praktik kartel dilakukan secara diam-diam. Inilah yang membuat otoritas
pengawas sering kali kesulitan mendapatkan bukti-bukti sahih guna menyeret
pelaku kartel. Bahkan, sampai sekarang otoritas Komisi Pengawas Persaingan
Usaha belum berhasil mengendus pelaku kartel.
Menurut
Kadin dan Komite Ekonomi Nasional, nilai kartel pangan tahun 2013 mencapai
Rp11,3 triliun. Namun merujuk pada nilai impor pangan tahun 2013 sebesar
USD14,3 miliar, nilai kartel kemungkinan 2-3 kali dari perkiraan Kadin dan
KEN. Itu terjadi pada beras, kedelai, jagung, gula, susu, daging dan sapi
bakalan serta gandum.
Barangkali,
tudingan ”mafia beras” yang disampaikan Menteri Gobel sebagai bentuk warning
agar pedagang tidak mainmain dengan pemerintah. Menurut Menteri Gobel,
kenaikan harga beras saat ini tidak wajar. Kenaikan harga beras di Jakarta
dipicu motif bisnis. Para mafia memainkan harga beras agar pemerintah
terpaksa membuka keran impor sehingga bisa mengeruk untung besar.
Gobel
tentu punya alasan kuat karena bukan mustahil kenaikan harga sengaja dibuat
atau kelangkaan semua guna memburu rente. Sebab harga beras Thailand dan
Vietnam setara beras medium di pasar dunia hanya Rp4.000/ kg. Jika dijual di
dalam negeri Rp7.400/kg, untungnya luar biasa. Gobel juga mencium kejanggalan
dalam sistem distribusi beras di Jakarta.
Sejak
Desembe r 2014 hingga Januari 2015, Bulog menggelar operasi pasar 75.000 ton.
Beras digelontorkan ke pengelola Pasar Cipinang, PT Food Station, dengan
harga gudang Rp6.800. Seharusnya pedagang menjual kepada konsumen Rp7.400/kg.
Namun nyatanya tidak ada pedagang yang menjual beras sebesar itu. Padahal
dengan menjual Rp7.400/kg, pedagang sudah untung besar.
Gobel
menduga ada yang menimbun. Di sisi lain, menurut pedagang, kenaikan harga
yang anomali saat ini sesuatu yang wajar. Ini terjadi lantaran suplai
menyusut karena musim paceklik masih berlangsung. Jika iklim dan cuaca
normal, Februari mestinya mulai panen raya. Namun, karena hujan datang
terlambat 1-1,5 bulan, panen raya baru mulai akhir Maret.
Indikatornya
bisa dideteksi dari jumlah beras yang masuk ke Pasar Beras Induk Cipinang.
Dalam keadaan normal, beras yang masuk berjumlah 3.000 ton, saat ini menyusut
50% (1.500 ton). Karena itu, tidak benar kelangkaan akibat ulah mafia beras,
tapi karena pasokan menipis. Apa pun penyebabnya, tidak pada tempatnya terus
berwacana.
Negara
harus hadir untuk menstabilkan komoditas super penting itu. Ada dua hal yang
harus dilakukan. Pertama , jika jatah beras untuk warga miskin (raskin) bulan
Februari belum dibagikan, pemerintah mesti segera membagikannya. Bila harga
beras di pasaran masih ada tren naik, pemerintah harus memperbesar volume
raskin. Jatah raskin bulan-bulan berikutnya bisa dibagikan pada Februari ini.
Musim
paceklik merupakan saat tepat membagikan raskin. Jatah raskin 15 kg per
keluarga pada 15,5 juta keluarga akan mengurangi perburuan warga terhadap
beras. Berkurangnya perburuan beras akan menekan ekskalasi kenaikan harga.
Kedua, mengefektifkan operasi pasar. Caranya ada dua: menggandeng pedagang
dan menjual langsung di lokasi-lokasi sasaran.
Pedagang
perlu digandeng agar pasokan beras di pasar tetap terjaga. Agar tidak dioplos
dan dijual sesuai ketentuan, pedagang perlu diikat dengan perjanjian dan
diawasi ketat. Selain itu, Bulog bisa menggelar operasi pasar langsung di
kantong-kantong kemiskinan seperti pabrik dan permukiman kumuh.
Dengan
harga yang menarik bisa dipastikan operasi pasar akan menarik mereka untuk
membeli. Agar tidak jadi misteri, pemerintah dan aparat harus bekerja sama
menyeret mafia atau kartel beras ke meja hijau. UU Nomor 7/2014 tentang
Perdagangan memberikan wewenang penuh kepada pemerintah untuk menindak
perilaku culas seperti manipulasi informasi dan penimbunan persediaan bahan
pokok (Pasal 30 dan Pasal 29 ayat 1).
Bahkan
menghukum perilaku itu dengan pidana berat: penjara 5 tahun atau denda Rp50
miliar bagi penimbun dan penjara 4 tahun atau denda Rp10 miliar bagi pelaku manipulasi
data dan informasi persediaan bahan kebutuhan pokok.
Pada
UU Nomor 18/2012 tentang Pangan, sanksinya lebih keras: penimbun bisa
dipidana penjara 7 tahun atau denda Rp100 miliar (Pasal 133). Kalau mereka
bisa diseret ke meja hijau, mafia beras tak lagi misteri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar