Optimisme APBN Perubahan 2015
Anton Hendranata ; Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia
Tbk
|
KOMPAS,
28 Februari 2015
APBN
Perubahan 2015 sebagai APBN pertama pemerintahan Jokowi-JK merupakan titik
krusial dan fondasi awal pemerintah untuk mencapai Sembilan Agenda Prioritas
(Nawa Cita) yang diimpikan.
Dalam
Nawa Cita ada dua agenda prioritas yang kental nuansa ekonominya, yaitu (1)
meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional dan
(2) mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor
strategis ekonomi domestik.
Aura
optimisme APBN-P 2015 terlihat dari asumsi pertumbuhan ekonomi 5,7 persen di
2015, padahal prediksi para ekonom dan analis hanya 5,35 persen. Saya kira
wajar pemerintah harus optimistis, apalagi ada target sangat tinggi dari
pemerintahan Jokowi-JK untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 7 persen, hanya
dalam tempo tiga tahun.
Dalam
dua tahun terakhir, asumsi pertumbuhan pemerintah di APBN selalu tak
tercapai. Pertumbuhan aktual jauh lebih rendah dari target. Pertumbuhan
ekonomi 2013 hanya 5,6 persen, sedangkan di APBN, asumsi pertumbuhan 6,3
persen. Begitu pula tahun 2014, asumsi pertumbuhan 5,5 persen, tetapi
realisasinya hanya 5,0 persen.
Ruang fiskal
Dalam
APBN sebelumnya, ruang fiskal sangat sempit karena subsidi BBM sangat besar,
Rp 200 triliun-Rp 250 triliun. Tahun ini, ruang fiskal cukup besar karena
pemerintah berhasil mencabut subsidi bensin dan hanya memberikan subsidi
tetap untuk solar. Realokasi pengeluaran dana subsidi ini memberikan
kesempatan kepada pemerintah untuk menaikkan pengeluaran kapitalnya secara
signifikan guna mendorong perbaikan infrastruktur (jalan, jembatan, irigasi,
pelabuhan, dan lain-lain) sehingga mampu menyangga pertumbuhan yang
dicanangkan.
Agresivitas
pemerintahan Jokowi-JK juga terefleksi dari tingginya asumsi pertumbuhan
konsumsi pemerintah, 4,2 persen, hampir dua kali lipat dibanding 2014 yang
2,4 persen. Begitu juga pertumbuhan investasi 8,1 persen, dari 4,9 persen
2014. Dari sisi sektoral, yang mendapat perhatian khusus adalah (1) pengadaan
listrik dan gas, (2) pengadaan air, (3) transportasi dan pengangkutan, dan
(4) industri pengolahan.
Optimisme
pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi akan membuat segenap jajaran pemerintah
bekerja keras untuk mencapainya. Namun, ada yang harus diwaspadai ketika
target pertumbuhan tak tercapai. Pendapatan negara akan turun, terutama dari
penerimaan pajak.
Turunnya
pendapatan mengakibatkan belanja negara akan dikurangi. Pengurangan belanja
negara secara signifikan biasanya tak mudah, akibatnya defisit APBN bisa
bertambah. Berdasarkan analisis sensitivitas RAPBN-P 2015, ketika pertumbuhan
ekonomi turun 0,1 persen, maka defisit akan naik sekitar Rp 0,95 triliun. Ini
berarti, jika pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,7 persen dan
ternyata realisasinya hanya sekitar 5,3 persen, maka defisit akan naik
sekitar Rp 3,8 triliun.
Dari
sisi inflasi, asumsi pemerintah lebih pesimistis dibandingkan prediksi para
ekonom dan analis. Pemerintah memperkirakan 5 persen pada 2015, sedangkan
pelaku pasar 3,5-4,5 persen. Tingginya inflasi pemerintah disebabkan oleh
beberapa kemungkinan risiko, yaitu kenaikan harga minyak dunia di atas 60
dollar AS/barrel (saat ini berkisar 50 dollar AS/barrel). Hal ini berarti ada
kemungkinan harga BBM akan naik yang akan mendorong kenaikan inflasi.
Selain
itu, melihat keberanian pemerintah menghapus subsidi bensin, ada peluang
pemerintah terus berupaya mengurangi subsidi listrik untuk RT 3.500 VA ke
bawah dan subsidi elpiji 3 kilogram. Sebenarnya, kenaikan tarif listrik untuk
1.300 VA dan 2.200 VA pernah diusulkan kenaikannya per 1 Januari 2015, tetapi
ditunda pelaksanaannya. Jika hal ini berjalan mulus dan tak menimbulkan
kegaduhan politik dan sosial, maka akan ada tambahan dana lagi dari
pengurangan subsidi listrik dan elpiji.
Oleh
karena itu, ruang fiskal pemerintah makin besar lagi, di mana sebelumnya
sudah ada tabungan dari pencabutan subsidi bensin dan subsidi tetap untuk
solar. Namun, menurut perkiraan kami, agaknya skenario ini sulit dilakukan tahun
ini (terutama untuk elpiji 3 kilogram), karena sangat rentan terhadap
penolakan dari masyarakat. Kondisi ekonomi kita pun (terutama pasar finansial
dan valas) sangat rentan dengan kondisi global yang masih tak menentu.
Pertumbuhan
ekonomi global cenderung direvisi ke bawah, kecuali AS. Hanya AS yang
diharapkan jadi motor pemulihan ekonomi global, dimana pemulihannya belum
terlalu solid. Data ekonomi AS cenderung belum stabil, terutama inflasi yang
menurun di bawah 1 persen (target The Fed 2 persen). Kondisi ini meningkatkan
ketidakpastian, kapan dan berapa besar AS akan menaikkan suku bunganya tahun
ini? Akibatnya, pasar finansial dan valas menjadi sangat rentan bergejolak,
termasuk rupiah.
Pemerintah
tampaknya sudah mengantisipasi ini. Hal ini terlihat dari asumsi nilai tukar
rupiah yang lebih lemah menjadi Rp 12.500 dari Rp 12.200 (asumsi sebelumnya
Rp 11.900) per dollar AS. Menarik untuk disimak, dalam analisis sensitivitas,
ternyata pelemahan rupiah berdampak positif ke anggaran (tambahan surplus).
Kelihatannya ini tidak masuk akal dan sulit dimengerti. Dalam APBN beberapa
tahun sebelumnya, ketika rupiah melemah, defisit anggaran pemerintah
membengkak. Penyebab utamanya adalah pembengkakan subsidi BBM karena
Indonesia importir neto minyak.
Di
era pemerintahan Jokowi-JK, pelemahan rupiah tak menyebabkan subsidi BBM
meningkat tajam karena hanya solar yang diberikan subsidi tetap. Oleh karena
itu, wajar ketika rupiah melemah, pendapatan pemerintah naik lebih tinggi
dibandingkan pengeluarannya dan bisa menaikkan surplus anggaran Rp 2,0
triliun-Rp 2,7 triliun untuk setiap pelemahan rupiah sebesar Rp 100 per
dollar AS.
Kekhawatiran
pemerintah akan kenaikan suku bunga acuan AS pada tahun ini terlihat dari
tingginya asumsi suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan sebesar
6,2 persen. Tampaknya, asumsi ini terlalu tinggi mengingat imbal hasil
obligasi pemerintah 10 tahun sudah berada di bawah 7 persen. Perkiraan kami,
untuk obligasi pemerintah 10 tahun bisa berada di kisaran 6,75-7,25 persen.
Ini artinya, suku bunga SPN 3 bulan bisa lebih rendah dari 6,2 persen.
Tingginya asumsi suku bunga SPN 3 bulan seharusnya tak menjadi masalah dari
sisi pengeluaran negara. Ada potensi suku bunga SPN 3 bulan lebih rendah 6,2
persen dan ini artinya pengeluaran pemerintah untuk membayar bunga menjadi
berkurang.
Masih
ada tiga asumsi yang tak kalah penting, yaitu (1) harga minyak mentah
Indonesia (ICP), (2) lifting minyak bumi, dan (3) lifting gas bumi. Ketiga
asumsi ini berkaitan erat dengan pendapatan negara bukan pajak (PNBP),
terutama pendapatan sumber daya alam terutama migas bumi.
Perlu kerja keras
Seiring
pemulihan ekonomi global yang relatif lambat, wajar kalau tren harga minyak
dunia mengalami penurunan. Dan ini berakibat harga ICP pun turun drastis.
Oleh karena itu, pemerintah pun menurunkan asumsi harga ICP menjadi 60 dollar
AS dari 70 dollar AS/barrel (bahkan sebelumnya pernah diusulkan 105 dollar
AS/barrel). Angka ini cukup realistis mengingat harga minyak dunia di bawah
50 dollar AS/barrel diperkirakan tak akan berlangsung lama.
Berkaitan
dengan lifting minyak, setelah mengalami peningkatan selama periode
2009-2010, lifting mengalami penurunan selama periode 2011-2014. Salah satu
faktor penyebabnya, penurunan produksi secara alamiah, dan lapangan minyak
baru seperti Blok Cepu belum berproduksi maksimal. Dengan tren penurunan
lifting yang terus berlanjut, wajar pemerintah menurunkan asumsi lifting
minyak bumi menjadi 825.000 barrel per hari (bph) dari 849.000 bph.
Asumsi
lifting di APBN-P 2015 ini jauh lebih realistis dibandingkan asumsi APBN
beberapa tahun sebelumnya. Pada APBN 2014, selalu saja asumsi lifting minyak
terlalu tinggi dan akhirnya tak pernah tercapai. Untuk lifting gas bumi,
pemerintah lebih optimistis dengan menaikkan asumsi lifting menjadi 1.221
ribu barrel setara minyak dari 1.177 barrel setara minyak per hari.
Secara
keseluruhan, asumsi makro APBN-P 2015 cukup realistis, hanya target
pertumbuhan ekonomi sangat optimistis. Pemerintah harus bekerja ekstra keras
untuk mewujudkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar