Kamis, 10 November 2016

Memikirkan Kembali Masalah SARA

Memikirkan Kembali Masalah SARA
Bambang Setiaji  ;   Rektor Universitas Muhammadiyah Solo (UMS)
                                                REPUBLIKA, 08 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Entah dari mana asalnya adanya semacam konsensus atau ideologi informal agar kita tidak menyinggung masalah SARA. Semula gagasan ini supaya masyarakat tidak menjadikan perbedaan SARA untuk menghancurkan NKRI.

Sampai pada titik ini gagasan tersebut benar, tetapi ketika gagasan ini dipakai untuk tidak memasukkan SARA dalam membagi kue ekonomi dan politik, maka masalah mulai datang.

Demonstrasi masalah Basuki Tjahaja Purnama yang hampir mengulang tragedi 1998 adalah buah dari gagasan tidak memasukkan SARA dalam membagi kue ekonomi dan politik tersebut. Menempatkan Basuki Tjahaja Purnama dengan dua masalah SARA yang melekat pada diri beliau di DKI Jakarta merupakan contoh yang nyata. Bahkan, dalam analisis ilmiah hampir tidak ada studi yang memasukkan variabel SARA di Indonesia.

Di Barat, masalah SARA merupakan variabel penting dalam analisis bidang ekonomi dan kebijakan. Studi mengenai upah (salah satu variabel ekonomi yang penting) dan jabatan (salah satu variabel politik yang penting) selalu memikirkan masalah SARA.

Beberapa analisis berbasis SARA, misalnya, bertopik "Abad Baru, dengan Disparitas Lama: Gap Upah berbasis Gender dan Etnik di Amerika Latin", oleh Juan Atal, Nopo, dan Winder (IDB Working Paper, 2009). Analisis lainnya oleh George J Borjas, dengan judul "Etnisiti dan Sekitarnya" serta "Eksternalitas Modal Manusia" dipublikasian oleh American Economic Review, 1995.

Terdapat ribuan jurnal ilmiah lain yang menganilis dengan terbuka dalam membagi kue ekonomi (upah) dan jabatan (kue politik) di negara maju.

Kekonyolan kita adalah tidak ingin muncul masalah SARA, tetapi tidak memasukkan variabel SARA dalam membagi kue ekonomi dan politik yang justru menimbulkan masalah SARA yang sangat serius. Mengapa Basuki begitu menyerap energi masyarakat dengan intensitas ketegangan yang jauh lebih besar dari masalah pilkada yang lain, tidak lain bersumber dari hilangnya analisis SARA.

Kita hampir tidak memiliki data jelas berbasis etnisiti sehingga kita juga tidak bisa melakukan kebijakan apa pun untuk mendekati pemecahan masalah berbasis SARA. Hasilnya, gejolak sosial berbasis SARA selalu berulang menjadi siklus yang sungguh sangat menyedihkan.

Ketimpangan berbasis SARA menggelinding menjadi isu kebencian dan bukan menjadi isu jernih dalam analisis kebijakan. Absennya kebijakan dalam menangani isu ini justru menimbulkan masalah SARA yang riil dan mendalam berbentuk diskriminasi pendapatan dan jabatan di industri.

Diskriminasi semacam ini melanggar hukum di negara negara beradab. Kita perlu menyusun UU antidiskriminasi. Bila terbukti seseorang disingkirkan dari jabatan dan implikasinya karena perbedaan SARA, pemangku perusahaan dapat dibawa ke pengadilan.

Menghilangkan SARA di berbagai perusahaan dan pemerintahan akan sangat membantu menghilangkan sentimen SARA, seperti terjadi dalam demo 4 November 2016. Mengapa masyarakat akan terbiasa atau percaya bahwa pembagian pendapatan dan jabatan sudah mempertimbangkan variabel SARA.

Isu bahwa etnik tertentu menguasai aset tetap berupa tanah dan aset tidak bergerak menjadi isu liar. Pemerintah juga tidak terbiasa memiliki kebijakan berbasis etnisiti ini.

Pemerintah perlu membagi kue dengan baik dan memikirkan jangka panjang, proyek transportasi yang besar bisa berpaling ke Jerman, misalnya, dengan menggunakan Prof Habibie yang juga presiden ke-3. Hal ini akan mengurangi isu liar seperti masuknya tenaga asing pada level bawah.

Tenaga asing boleh masuk pada level manajerial skill yang mengikuti penanam modal, tetapi bukan pada level unskilled atau pada jenis pekerjaan yang SDM domestik bisa melakukan. Pengangguran terbuka kita lebih 10 juta orang dan pengangguran tersembunyi yang siap beralih kerja yang lebih baik dua kali lipatnya. Pemerintah sama sekali tidak peka dalam hal semacam ini.

Mengapa Papua, isu Indonesia barat dan Indonesia timur bisa begitu tertinggal dan memicu isu pelepasan diri karena pemerintah sejak lama tidak bisa bertindak berbasis SARA. Untuk masalah Papua yang merupakan masa depan Indonesia perlu kebijakan berani untuk menyelesaikannya.

Tidak cukup dengan membangun infrastruktur yang akan lengang tanpa orang yang lewat. Daya beli perlu dibawa ke timur, misalnya, menempatkan beberapa kEmenterian di sana supaya menjadi motor perkembangan ekonomi.

Demikianlah sekelumit masalah SARA yang kita takuti, tetapi tidak pernah menjadi variabel kebijakan yang serius. Semoga demonstrasi berbasis SARA kemarin menjadi yang terakhir karena perbaikan kebijakan kita ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar